Pendekar Sanggana
Lelaki tua berpakaian compang-camping itu terus tertawa terkekeh. Rantai besi yang melilit tubuh, tangan dan kakinya, tidak membuatnya sengsara sedikit pun. Terlihat rambut panjangnya yang putih kusut tidak beraturan. Tawanya yang berkesinambungan seolah menunjukkan bahwa ia tidak sadar sedang digiring menuju ke gerbang kematian.
Lelaki tua itu dikawal oleh serombongan lelaki bersenjata yang dipimpin oleh Sujibak Lugang, seorang lelaki separuh baya yang membawa sebilah pedang tanpa sarung. Lelaki berkumis itu mengenakan pakaian warna biru. Dialah tangan kanan penguasa daerah itu, Demang Rubagaya. Kehebatannya yang seperti seekor kucing, membuatnya dijuluki Pendekar Kucing Demang.
Berbeda dengan Sujibak Lugang yang bersenjata pedang, para anak buahnya justru bersenjata pisau-pisau terbang. Mereka terus bersiaga menjaga keadaan dan menyeret si lelaki tua yang tertawa terus tanpa ada insiden lucu.
Sementara para penduduk yang berbaris menyaksikan iring-iringan itu, tidak henti-hentinya berbisik heboh. Sesekali teriakan dari penduduk terdengar kasar. Sebagian menunjukkan wajah kegembiraan melihat si kakek dekil kotor itu telah ditangkap dan akan dieksekusi di alun-alun.
“Bunuh saja, biar kapok!” teriak seorang warga pria tua sambil melempar daun sirih yang dipegangnya. Daun sirih itu hanya terlempar setengah jarak dari si kakek terantai.
“Kalau mati mana bisa kapok toh, Pak,” kata istrinya sambil menepuk bahu suaminya.
“Oh, iyaya.”
“Lebih baik dijadikan boneka di alun-alun!” teriak yang lain.
“Enaknya dipanggang saja untuk santap malam!” teriak lelaki yang berbadan gemuk, seolah tubuhnya itu menandakan bahwa ia doyan makan.
“Mana enak, Gendut!” timpal warga yang bertubuh kurus.
“Hehehe!” sementara si kakek kumal masih saja terkekeh, seolah senang diperlakukan demikian.
“Bagaimana perasaanmu mau mati hari ini, Kek?” tanya pengawal yang berjalan di sisi kanan kakek kumal.
“Siapa takut, hehehe!” jawab si kakek kumal.
Tak berapa lama, mereka pun tiba di alun-alun. Warga yang tadi dilewati, turut mengiringi sampai ke alun-alun. Semua pekerjaan mereka tinggalkan. Mereka ingin melihat akhir dari episode kakek kumal di hari itu. Mereka masing-masing mengambil tempat di pinggiran alun-alun agar bisa melihat dengan leluasa si kakek kumal.
Si kakek kumal diseret ke sebuah tiang kayu besar yang menancap gagah di tengah-tengah lahan kosong itu.
“Salahnya apa toh, sampai mau dihukum mati seperti itu?” tanya seorang wanita kepada wanita tetangganya yang lebih tua beberapa hari saja. Namanya Mak Lujias.
“Seperti ini ceritanya,” kata wanita yang lebih tua, lalu diam.
“Oh.” Mak Lujias manggut-manggut tanda mengerti, ia diam mendengarkan dengan kusyuk, seolah tetangganya sedang bercerita panjang lebar. Ia lalu geleng-geleng. “Sungguh kejam itu si Demang.”
Melihat Mak Lujias geleng-geleng, tetangganya juga jadi heran, lalu bertanya pula, “Kenapa kejam, Mak Lujias?”
“Ah, kau ini!” sentak Mak Lujias sambil menepuk tetangganya. “Sekejam itu Demang menggagahi ayahnya sendiri kau sebut terpuji? Ke mana pikiran manusiamu, Tuminah?”
“Dasar Mak Lujias, telinga tidak pernah diobati. Aku bertanya ini, dia dengar yang itu!” gerutuh Tuminah sambil meninggalkan Mak Lujias yang memang memiliki masalah pendengaran.
Wanita yang lain hanya tertawa-tawa melihat Tuminah pergi ke sisi lain alun-alun seraya tersungut-sungut.
“Dasar Tuminah, diluruskan malah katanya cinta mati sama orang kumal itu. Ih geli!” rutuk Mak Lujias pula.
Di tengah alun-alun, si kakek kumal sudah disatukan bersama tiang kayu dengan rantai.
“Apa permintaan terakhirmu, Orang Tua?” tanya Sujibak Lugang.
“Aku minta dilepaskan hidup-hidup, hehehe,” jawab si kakek kumal.
“Simpan saja permintaanmu itu!” bentak Sujibak.
“Katakan kepada Demang, Pengemis Maling tidak akan mudah dibunuh seperti ini, hehehe!” kata si kakek kumal.
Mendengar nama Pengemis Maling disebut, Sujibak jadi agak terkejut. Namun, kemudian ia meludah ke tanah dengan marah.
“Jangan coba-coba mengaku-aku sebagai orang yang sudah mati. Pengemis Maling sudah mati beberapa tahun yang lalu. Aku menyaksikan sendiri Pengemis Maling mati!” tandas Sujibak di depan wajah si kakek kumal.
“Hehehe, buktinya aku masih menikmati hidupku,” kata si kakek kumal.
“Diam kau, Tua!” bentak Sujibak. Ia lalu melangkah menjauhi si kakek.
Empat tombak di depan si kakek ternyata sudah berdiri lima orang anak buah Sujibak Lugang yang sudah siap dengan pisau-pisau terbangnya. Mereka akan membidik tubuh si kakek. Kondisi itu membuat suara riuh penduduk desa seketika lenyap, mereka berubah tegang. Terlebih ketika Sujibak Lugang mulai meneriakkan aba-aba.
“Tarik napas!” teriak Sujibak lalu diam.
Kelima anak buah Sujibak lalu menarik napas dalam-dalam sehingga terlihat jelas dada-dada mereka mengembang terisi oksigen.
“Tahaaan!” teriak Sujibak lagi yang dituruti oleh kelima anak buahnya dengan menahan napas yang sudah tersedot banyak.
Suasana kian tegang, karena semua tahu, setelah aba-aba “tahan” adalah aba-aba perintah eksekusi. Sujibak juga ikut-ikutan tegang. Pandangannya untuk sementara memandang wajah-wajah penduduk dengan memutar, seolah mencari tanda-tanda keberadaan seseorang. Sementara itu, kelima wajah anak buahnya mulai memerah karena agak lama menahan napas.
“Bidik!” teriak Sujibak Lugang akhirnya.
Seseset...!
Seiring leganya kelima anak buah Sujibak Lugang karena bisa bernapas lagi, mereka juga melesatkan pisau-pisau terbangnya yang sudah terpasang di jari-jari tangan. Bukan hanya satu pisau yang mereka lesatkan, tapi satu lemparan sekaligus tiga pisau terbang. Lima belas pisau terbang melesat berjemaah ke arah tubuh tua kakek kumal yang mengaku sebagai Pengemis Maling.
Dak!
Seiring itu, dari luar alun-alun berkelebat sesosok tubuh berpakaian serba hitam. Satu kakinya sempat menginjak satu kepala warga sebagai tolakan sambil melesatkan sebuah perisai yang dibawanya.
“Anak kurang ajar!” maki wanita tua yang kepalanya disalahgunakan oleh orang tertiba-tiba itu.
Trantang! Tatang!
Perisai yang terbuat dari logam berbentuk seperti penggorengan tanpa kuping itu, melesat cepat menghalau semua pisau terbang di tengah jalan.
Sujibak Lugang terkejut, anak-anak buahnya terkejut, dan para warga pun terkejut dengan kemunculan sosok hitam bertopeng kain hitam. Sementara perisai terus melesat menyasar Sujibak Lugang. Buru-buru Pendekar Kucing Demang itu melompat bersalto di udara mengelaki serangan perisai. Anehnya, perisai itu bisa berbelok arah, kali ini mengarah langsung kepada sosok Pengemis Maling.
“Wah! Mati dia!” teriak seorang warga dengan histeris.
Ctrak!
Hebatnya lagi, sisi tipis perisai itu hanya menggesek rantai yang melilit tubuh si Pengemis Maling tanpa melukai baju atau kulit tuanya. Sosok berpakaian hitam kembali berkelebat di udara menyambut perisainya.
“Hehehe!” kekeh Pengemis Maling melihat kemunculan sosok serba hitam itu.
Sosok berpakaian serba hitam itu kini berdiri di tengah alun-alun, tidak jauh dari Pengemis Maling yang sedang melucuti lilitan rantai yang tersisa. Hanya sepasang mata saja yang tampak dari orang berpakaian hitam. Pakaiannya yang tebal dan longgar, membuatnya sulit ditebak apakah dia laki-laki atau perempuan.
“Kau lagi, Tikus Langit!” hardik Sujibak murka. “Apa hubunganmu dengan orang tua itu sehingga kau turun tangan menolongnya?”
“Hehehe, apakah seorang cucu tidak boleh menolong kakeknya sendiri? Hehehe!” Yang berkata justru Pengemis Maling.
“Kau bisa lolos beberapa kali, Tikus Langit. Namun kali ini, tidak akan aku biarkan kau lolos lagi, juga kakek gila itu!” teriak Sujibak Lugang, tampaknya ia serius dengan perkataannya.
“Kau dan para anak buahmu tidak akan mampu mencegahku datang pergi begitu saja,” kata orang bertopeng itu dengan suara berjenis perempuan.
“Seraaang!” teriak Sujibak Lugang berkomando.
Blass!
Beberapa anak buah Sujibak Lugang yang hendak menyerang Pengemis Maling, jadi urungkan niat. Sebab, kakek kumal itu tiba-tiba lenyap dengan hanya meninggalkan kepulan asap tebal.
Tring!
Sementara itu, dengan menggunakan perisainya, wanita misterius yang berjuluk Pendekar Tikus Langit mementahkan sekelompok pisau terbang yang menyerangnya.
Selanjutnya, pengeroyokan terjadi. Semua serangan tangan kosong dan pisau diarahkan kepada Pendekar Tikus Langit. Namun, terlihat bahwa serangan-serangan itu begitu mudah bagi Tikus Langit. Meski tidak memilih menyerang balik terhadap para pengeroyoknya, tapi keberadaan perisai yang cukup besar membuat anak-anak buah Sujibak kerepotan.
Pada satu kesempatan, wanita bertopeng itu melesat ke udara untuk pergi. Sujibak yang sejak tadi mengamati untuk mencari celah, segera melompat menyerang dengan pedangnya.
Wuss!
Namun, sebelum serangan sampai, Pendekar Tikus Langit lebih dulu mengibaskan perisainya yang menciptakan serangkum angin keras menderu. Sujibak tidak dapat menghindar, sehingga tubuhnya terhempas menjauh, tapi ia masih bisa mendarat di tanah dengan baik.
Selanjutnya, tubuh Pendekar Tikus Langit telah melesat di udara laksana lesatan anak panah meninggalkan alun-alun. Sejumlah lesatan pisau terbang pun tidak sanggup mengejar tubuhnya.
“Kejaaar!” teriak Sujibak Lugang panjang.
Para anak buah Sujibak segera berkelebatan untuk mengejar ke arah pelarian Pendekar Tikus Langit. Namun, secepat apa pun orang-orang itu mengejar, mereka tidak akan mampu bisa mengejar Tikus Langit yang memiliki kelihaian di udara. Pada akhirnya, Sujibak dan anak buahnya kehilangan buruan.
Sudah beberapa kali Pendekar Tikus Langit bermasalah dengan penguasa daerah itu, tapi ia seperti hantu yang datang semaunya dan pergi tanpa hambatan berarti. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 413 Episodes
Comments
🐼𝓐𝓡 -𝓡𝓾𝓶𝓲
Tikus Langit Vs Pendekar Kucing Demang 😂
berasa liat tom & jerry versi sanggana 🤣🤣
2024-05-25
1
🐼𝓐𝓡 -𝓡𝓾𝓶𝓲
ha ha.. bolot versi perempuan ini mah ceritanya 😂
2024-05-25
1
🐼𝓐𝓡 -𝓡𝓾𝓶𝓲
untung dia berkumis bukan bergincu tebal, kalo iya bukan lelaki tu namanya tapi Lekong 😂😂😂
2024-05-25
1