*Episode 04*

 “Ya, ma… Ibu Raisya up adalah seorang singel parent…” tambah Arya, membuat orang tuanya terlihat terkejut.

“Singel parent? Dan ibumu membesarkanmu seorang diri nak?” tanya Ibu Lina dan di jawab dengan anggukan oleh Raisya.

“Raisya, mungkin ini terasa sedikit lancang. Tapi, bolehkah kami mengetahui kehidupan kalian? ehm maksud tante bagaimana ibumu membesarkanmu seorang diri??" tanya ibu Lina dengan sangat hati-hati.

Arya memandang Raisya tak kalah penasaran. Dulu, hal ini adalah topik yang tidak terlalu menarik perhatiannya. Namun setelah beberapa saat bersama gadis itu, tak dapat ia pungkiri bahwa perlahan ia mulai tertarik terhadap kehidupan Raisya.

Raisya melirik Arya, menunggu instruksinya.

“Jangan sungkan, Sya… Kami akan mendengarkanmu dengan senang hati…” ujar Ibu Lina, disertai anggukan suaminya.

Arya mengangguk, mengisyaratkan Raisya untuk bercerita. Raisya menghela nafas pelan.

“Sebenarnya, ayah saya telah meninggal ketika saya SMA. Beliau meninggal karena sakit asma yang di deritanya sejak lama.

Sejak itu, ibu membesarkan kami, saya dan adik perempuan saya Nadia seorang diri. Beliau mencari nafkah dengan berjualan sayuran matang keliling , untuk menghidupi kami semua…” Raisya menghentikan ceritanya sejenak, dan melihat reaksi keluarga Wijaya.

Mereka terlihat antusias mendengar ceritanya.

“Kamu memiliki adik perempuan? Lalu bagaimana dengan sekolahmu? Sekolah kalian? Sampai kamu bisa menjadi sarjana?” tanya Ibu Lina.

“Ya, adik saya saat ini duduk di bangku kelas 4 SD.

Untuk biaya sekolahnya, sekarang saya yang membiayainya, sedangkan biaya sekolah saya dulu saya ambil kerja sambilan setelah jam sekolah… kemudian Saya mendapat beasiswa di kampus dan bekerja paruh waktu sehabis pulang kuliah…” jelas Raisya.

Pak Ridwan tersenyum, sedangkan Ibu Lina mengangguk dan ikut tersenyum. Entahlah, Raisya tidak memiliki kata yang tepat untuk menggambarkannya.

“Wah, kalian orang yang hebat. Aku kagum pada keluargamu, Raisya ,terutama, pada ibumu, dan tentu saja padamu. Jika aku berada di posisi ibumu, belum tentu aku bisa sekuat itu membesarkan anak-anakku seorang diri. Dan kamu…” Ibu Lina meraih tangan Raisya dan membelainya lembut.

“Kamu adalah wanita muda yang hebat. Kamu bisa berjuang untuk masa depanmu, dan keluargamu. Dan tentu saja, kamu wanita yang cerdas. Aku sendiri tau, tidak sembarang orang bisa mendapatkan beasiswa di perguruan tinggi, dan kamu bisa mempertahankannya walaupun kamu juga harus bekerja. Aku bangga padamu, Nak!” ujar Ibu Lina dengan mata yang berkaca-kaca. Raisya tersenyum kaku, tidak tau bagaimana harus meresponnya.

“Ehem!” Arya berdeham, memecahkan suasana melankolis di antara mereka.

“Ayo kita makan!” lanjutnya.

...****************...

 “Raisya, seringlah datang kemari! Jika Arya terlalu sibuk untuk mengajakmu ke sini, kamu bisa meneleponku. Aku akan menjemputmu, atau mengirim sopir untuk menjemputmu…” ujar ibu Lina ketika mereka berjalan menuju teras depan, mengantar anak dan calon menantunya yang akan pulang.

“ma… Jangan membuatnya takut!” Arya memperingatkan ibunya dengan nada protektif.

“Astaga! mama tidak bermaksud begitu. mama memang akan sangat senang jika Raisya mau sering berkunjung ke sini, menemani mama… lagi pula mama sering sendiri di sini,  apalagi sejak kamu pindah ke apartemen mu. Lagipula, Raisya tidak akan keberatan. Benarkan, Sayang?” Raisya menjawab dengan senyuman.

“Terserah kalian sajalah!” Arya mengalah.

“oya Raisya, tolong berikan ini pada ibumu, dan sampaikan salam kami padanya…” ujar Ibu Lina, seraya memberikan sebuah kotak berukuran sedang yang beberapa saat lalu diantarkan salah seorang pelayannya.

"iya! Terima kasih banyak, tante ,,om!”

“baiklah, kalau begitu kami pamit dulu,” ujar Arya, lalu memeluk dan mencium pipi ibunya, kemudian memeluk ayahnya.

Ibu Lina juga membuka tangannya mengundang Raisya sang calon menantu ke dalam pelukannya. Raisya pun menyambutnya.

“Seringlah kemari, ya!” bisik Ibu Lina.

Raisya mengangguk, lalu melepas pelukannya.Dan ketika pak Ridwan akan memeluk calon menantunya juga, seketika itu Arya menarik lengan Raisya hingga gadis itu berada tepat di sisinya.. dan tidak jadi berpelukan dengan papanya.

Raisya terperangah, tidak menyangka atasannya akan bertindak kurang sopan seperti itu pada ayahnya.

“Not for you, Dad!” ujar Arya lalu menggerakkan sebelah alisnya dan tersenyum tipis.

Pak Ridwan tertawa dan menggelengkan kepala menanggapi ulah sang anak.

“Baiklah, kami pergi dulu!”

“ya, hati-hati! Raisya, jika Arya menyetir dengan tidak hati hati, pukuli saja dia!” tukas Ibu Lina

“mama, jika dia memukuliku, maka aku semakin tidak bisa menyetir. Lagipula, aku sadar bahwa aku bersamanya, dan aku bertanggung jawab atas keselamatannya,” bela Arya, lalu mengedipkan sebelah matanya.

“uh, dasar!” cibir ibu Lina..

...****************...

 “Bagaimana keluargaku?” tanya Arya memecah keheningan yang menyelimuti mereka sejak beberapa saat lalu mobil mereka melaju keluar dari kompleks rumah keluarganya, dan  kini sedang berhenti karena lampu merah.

“Apa mereka membuatmu takut?” lanjutnya.

“Tidak, pak. orang tua bapak sangat baik,” jawab Raisya, seraya menoleh pada Arya. Dan Arya mengangguk.

“Bapak terlihat sangat dekat dengan mereka,” lanjut Raisya.

“benarkah?!” jawab Arya, seraya kembali fokus ke jalan di depannya.

“iya,” Raisya menjawab singkat. Untuk beberapa saat kemudian, mereka kembali tenggelam dalam suasana sunyi, tidak memiliki bahan obrolan.

Arya berkonsentrasi mengemudikan mobilnya, sedangkan Raisya tenggelam dalam pemikirannya sendiri.

Pemikiran mengenai pria yang ada di sampingnya,Arya Wijaya.

Bertemu dengan keluarga Wijaya tadi memberikan kesan tersendiri baginya, terutama mengenai atasannya yang dingin, keras, tegas, kaku, suka memerintah, dan mengintimidasi adalah kesan yang terbentuk dalam benaknya sejak pertama kali ia bertemu dan bekerja dengan pria itu, sampai beberapa saat sebelum ia bertemu dengan orang tuanya. Namun, semuanya berbalik 180 derajat ketika ia melihat pria itu bersama keluarganya tadi,pria itu terlihat ceria, hangat, dan penyayang. Ya, dari cara bosnya berkomunikasi dengan orang tuanya, sangat jelas terlihat bahwa ia sangat menyayangi orang tuanya, begitu pun sebaliknya.

Jika boleh jujur, Raisya penasaran mengapa bosnya itu bisa bersikap sangat berbeda ketika berada di kantor.

“Pak, seharusnya kita berhenti di halte tadi,” ujar Raisya refleks ketika Arya melajukan mobilnya terus, bukannya berhenti di halte tempat mereka bertemu tadi.

“saya akan mengantarmu ke rumah sakit,” jawab Arya, datar.

“Apa?”

“Kamu akan ke rumah sakit, bukan? saya akan mengantarmu ke sana, jadi kamu tidak perlu menunggu bis. Lagipula saya ingin bertemu ibu dan adikmu,”

“Apa? Ber… bertemu ibu?”

“Ya. Kenapa? Kamu tidak mau?”

“Bukan begitu pak… Tapi…”

“Tenang saja, Raisya! saya tidak akan berbuat macam-macam. Saya hanya ingin memperkenalkan diri padanya,” Tidak, bukan perilaku atasannya itu yang membuatnya takut, tetapi reaksi ibunya jika saja mereka bertemu.

“ya pak, saya mengerti. Tetapi…”

“Apa ibumu tau tentang perjanjian kita?” Raisya tersentak. Mengapa Arya seakan bisa membaca pikirannya?

“Tidak… Ibu saya tidak tau…”Raisya berbohong. Ia takut dengan reaksi lelaki itu jika Raisya menjawab jujur, bahwa ibunya sudah mengetahui perjanjian mereka.

“Bagus! Jadi kita bisa ke sana sekarang!”ujar Arya, tegas, tidak ingin dibantah. Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan? Mengapa sifatnya yang suka memerintah harus kambuh saat ini?.

Raisya menghembuskan nafas pasrah. Bagaimana caranya ia memberitahu ibunya bahwa Arya akan datang? Bagaimana ia meminta ibunya untuk tidak bertindak macam-macam?

Raisya tidak bisa mengirim pesan, penglihatan ibunya yang kurang baik untuk membaca teks yang kecil di ponsel, sehingga ia harus meminta Nadia untuk membacakannya setiap ada pesan masuk. Sedangkan Nadia tidak boleh tau masalah perjanjian itu. Lalu telfon?lebih tidak mungkin lagi!

Mana mungkin ia menelfon ibunya tentang kunjungan atasannya sedangkan sang tokoh utama berada di sampingnya?

...****************...

 

Raisya memegang handle pintu ruang rawat Nadia. Lututnya terasa lemas membayangkan reaksi ibunya ketika bertemu Arya.

Raisya menoleh pada Arya,

Arya mengernyit, tidak mengerti dengan sikap Raisya..

"ada apa?”  tanya Arya, pelan.Raisya menggeleng, lalu membuka pintu perlahan.

Setelah pintu terbuka, ia melihat ibunya sedang menyuapi Nadia.

Raisya menarik nafas lalu melangkah masuk, dan Arya mengikuti di belakangnya.

“ibu.. Nadia…” panggil Raisya. Serentak, mereka menoleh. Pandangan mereka terpaku pada sosok pria tampan dan gagah yang berdiri di belakang Raisya.

" oh ya perkenalkan, ini direkturku, Pak Arya,” ibu Widya sang ibu terhenyak mendengar kalimat Raisya.

Pandangannya beralih pada Raisya, lalu menatapnya tajam. Raisya tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala, mengisyaratkan ibunya untuk tidak bertindak macam-macam.

“apa kabar tante saya Arya atasan Raisya di kantor sekaligus teman Raisya” ujar Raisya mengenalkan dirinya dengan sopan.

Mereka saling memperkenalkan diri satu sama lain.Tak ketinggalan Nadia juga ikut memperkenalkan diri.

Arya tersenyum. “Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanyanya, pada Nadia.

“sudah agak baikan kak.., Nadia senang sekali ada teman mbk Raisya yang datang kemari. ” Nadia menjawab panjang lebar, dan berhasil mendapat tatapan tajam dari ibunya.

“Nadia, yang sopan ! Dia atasan  

kakakmu, !” ujar ibu widya dingin. Arya sedikit kaget mendengar ibu Widya berbicara demikian pada anaknya.

“Bu.. aku membawa oleh-oleh dari… mamanya pak Arya” sela Raisya, bermaksud menurunkan ketegangan ibunya. Namun sepertinya ia salah. Ibunya malah menatapnya tajam ketika ia menyebutkan oleh-oleh dari mamanya Arya.

“Dari mamanya pak Arya? Apa maksudmu?

“Maaf tante sebenarnya, saya bukan hanya atasan Raisya di kantor tetapi…”

Tok-tok-tok.

Kalimat Arya terhenti begitu mereka mendengar suara ketukan pintu. Beberapa saat kemudian, seorang dokter lelaki muda dan perawat masuk.

“Selamat sore!” ujar dokter itu dengan sopan.

“Selamat sore!” jawab seisi ruangan itu hampir bersamaan.

Dokter itu tersenyum seraya memandangi wajah mereka satu persatu. Namun pandangannya berhenti pada Raisya.

Arya mengernyit melihat senyuman berbeda yang ditunjukkan dokter muda itu pada Raisya.

Hal itu tak urung membuat Arya terus memperhatikan setiap gerak-gerik dokter muda itu, baik ketika melakukan pemeriksaan, maupun ketika berbicara dengan anggota keluarga ibu Widya termasuk pada Raisya.

Jika boleh dibilang, dokter itu memiliki penampilan fisik yang cukup lumayan.

Usianya mungkin sedikit lebih muda darinya. Tubuhnya tinggi tegap, walaupun tidak setinggi Arya, dan memiliki wajah yang bersih dan tentu saja selalu menunjukkan senyuman ramah.Arya tersenyum tipis, menurutnya senyuman yang ditunjukkan dokter muda itu palsu.

“Untuk saat ini, kondisinya baik. Jika Nadia selalu menjalani cuci darah dengan teratur, tentu kondisinya pun akan semakin membaik,dan tentu saja, kami masih mengharapkan transplantasi ginjal untuknya,” jelas sang dokter.

“tolong lakukan saja yang terbaik untuk Nadia dokter” ujar Raisya pelan.

“Tentu saja, ! Kami akan berusaha,” jawab dokter muda itu seraya tersenyum lalu mengedipkan mata, seolah mengisyaratkan Raisya untuk tenang. Arya memutar mata ia merasa jengah.

“Benar, lakukan yang terbaik untuknya, termasuk memberikan perawatan terbaik!” sela Arya. Refleks, Raisya pun menoleh pada Arya.

“Maaf, saya baru melihat Anda di sini. Saya belum pernah melihat Anda sebelumnya..apakah anda masih ada ikatan keluarga dengan pasien,?”

“Benar, saya baru pertama kali ke sini. Perkenalkan saya Arya Wijaya,” Arya mengenalkan diri dengan gayanya yang khas. Gaya seorang pengusaha muda yang berwibawa, yang mampu mengintimidasi lawan bicaranya hanya dengan keberadaannya.

Dokter muda itu seakan berpikir dan mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian, sikap menjengkelkan dokter itu, yang seolah-olah mengabaikan Arya, hilang seketika.

“oh ya. Maaf, kalau boleh tau, ada hubungan apa Anda dengan Raisya? Apakah Anda temannya?” Arya tersenyum.

“Bukan, saya adalah calon suaminya,” jawab Arya, singkat.

Alhasil seluruh mata yang berada di ruangan itu mengarah padanya.

Ibu Widya menatapnya tajam, namun Arya tidak menyadarinya.

“Benarkah? Wah selamat kalau begitu,” ujar dokter muda itu dengan wajah merah padam. Ia harus menanggung malu, ketahuan menggoda calon istri orang di depan orang itu sendiri, ditambah lagi orang itu adalah Arya Wijaya.

“Baik, kalau begitu, kami mohon pamit.

Nadia jaga kondisimu, minum obat dan cuci darah sesuai jadwal,” ujar dokter itu lalu melangkah keluar, diikuti sang perawat.

“Ehem” Ibu Widya berdeham, ketika dokter itu sudah pergi dari ruangan mereka, dan berhasil menarik perhatian Arya dan Raisya.

“Jadi, bisakah kalian menjelaskan apa yang terjadi?’ ujar Ibu Widya.

“Mohon maaf, tante!  Mungkin saat ini bukan saat yang tepat untuk membahas masalah ini.

Tetapi saya adalah teman dekat Raisya, dan kami bermaksud untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Saya telah mengenalkan Raisya pada orang tua saya, dan orang tua saya menyetujuinya. Jadi saya bermaksud untuk…”

“Jadi begini cara Anda melamar seorang gadis?” sela Ibu Widya dengan nada dingin. Arya terperangah. Belum pernah ada yang berani menyela pembicaraannya, kecuali kedua orang tuanya.

“Menurut tata krama, mestinya Anda membawa orang tua Anda untuk melamar seorang gadis,” lanjut Ibu Widya singkat.

Arya mengangguk.

“Mohon maaf untuk itu. Sebenarnya saya datang kesini juga bermaksud untuk membicarakan masalah pertemuan resmi antar keluarga,”Ibu Widya menghela nafas, mengendalikan emosinya. Jika saja ia tidak tahu masalah perjanjian itu, jika saja Arya benar-benar adalah calon suami anaknya, alias calon menantunya..pasti banyak yang akan ia bicarakan, yang akan ia tanyakan, seperti mengapa ia menjalin hubungan dengan Raisya, bagaimana awal perkenalan mereka, bagaimana perasaannya kepada Raisya, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Beragam pertanyaan yang nantinya pun tidak akan mempengaruhi keputusannya menerima Arya sebagai menantunya. Ya, orang tua mana yang akan menolak calon menantu seperti Arya Wijaya? Namun apa daya, ini semua hanyalah sandiwara. Ya, sandiwara.

“Semua terserah pada Raisya..Dia yang akan menjalaninya…” jawab ibu Widya pelan.

Dalam waktu yang bersamaan, mereka menoleh pada Raisya.

Raisya yang tadinya larut pada pikirannya sendiri, pikiran mengenai sisi lain Arya yang baru pertama kali dilihatnya, sebuah sisi yang lembut dan sabar dalam menghadapi orang lain, yaitu ibunya, mengerjap kaget menyadari tatapan mereka.

“Bagaimana, Sya ?” tanya ibu Widya

“apa?” ujar Raisya

“Kamu mau menerimanya?” Raisya menoleh pada Arya, lalu kembali pada ibunya.

“Semua terserah padamu. ibu hanya mengharapkan yang terbaik untukmu.” ujar ibu Widya dengan suara serak dan mata berkaca-kaca.

“Terima kasih, bu.” ujar Raisya lalu menghambur ke dalam pelukan ibunya.

“Yeee!!! Selamat mbak.. Kakak ipar, selamat!!!” teriak Nadia, disertai tepuk tangan takjub melihat adegan yang baru saja mereka alami.

...****************...

Tok tok tok

“Masuk!” ujar Arya setelah mendengar suara ketukan pintu. Beberapa saat kemudian, Raisya masuk. Arya mengerutkan kening melihat kekhawatiran di raut wajahnya.

“Apa yang terjadi?”

“Pak… apakah saya bisa izin pulang lebih dulu. Seluruh pekerjaan untuk hari ini sudah saya selesaikan.” ujar Raisya, dengan nada tergesa.

“Kenapa? Apa yang terjadi? Katakan padaku!” tanya Arya.

“Saya… saya akan menjalani tes ginjal untuk menjadi donor Nadia…” jawab Raisya pelan.

“KAMU SUDAH TIDAK WARAS?” sentak Arya, refleks, dan sontak membuat Raisya kaget.

“Tidak! Kamu tidak boleh menjadi donor ginjal! Kamu bisa mencari donor ginjal yang lain!” Ujar Arya tegas.

“Tapi pak, menurut dokter yang paling berpeluang besar untuk menjadi donor ginjal adalah saudara kandung, karena kemungkinan kecocokannya sangat besar. Lagipula, sangat susah mencari donor ginjal dalam waktu secepat ini…” jelas Raisya dengan suara bergetar.

“Tidak Raisya! Kamu tidak boleh menjadi donor! Kita akan mendapatkan donor itu. Jika perlu, kita akan membawa Nadia berobat ke luar negeri!”

“Tapi pak…”

“Sekali saya mengatakan tidak, tetap tidak!”

“Tapi kenapa, pak? Jika kita harus berobat ke luar negeri, biayanya akan semakin mahal dan…”

“Biarkan saja! saya tidak ingin terjadi sesuatu pada calon istriku… maksudnya saya tidak mau nantinya setelah kita menikah, kamu sakit-sakitan. saya tidak mau disalahkan karena hal itu!”

“Tetapi pak… saya tidak mungkin menikah sebelum Nadia dioperasi…”

"Apa?”

to be continued👉👉👉👉👉

Terpopuler

Comments

Saja Ah

Saja Ah

lanjut author

2021-07-22

1

HePi_Alwy's😍😘

HePi_Alwy's😍😘

oooooow,,,,seruuuuuuu

2021-04-01

2

@✿€𝙈ᴀᴋ hiat dulu⦅🏚€ᵐᵃᵏ⦆🎯™

@✿€𝙈ᴀᴋ hiat dulu⦅🏚€ᵐᵃᵏ⦆🎯™

mari saling mendukung

2020-11-22

3

lihat semua
Episodes
1 *Episode 01*
2 *Episode 02*
3 *Episode 03*
4 *Episode 04*
5 *Episode 05*
6 *Episode 06*
7 *Episode 07*
8 *Episode 08*
9 *Episode.09*
10 *Episode 10*
11 Episode 11*
12 *Episode 12*
13 *Episode 13*
14 *Episode 14*
15 *Episode 15*
16 *Episode 16*
17 *Episode 17*
18 *Episode18*
19 *Episode 19*
20 *Episode 20*
21 *Episode 21*
22 *Episode 22*
23 *Episode 23*
24 *Episode 24*
25 *Episode 25*
26 * Episode 26 *
27 * Episode 27 *
28 * Episode 28 *
29 *Episode 29*
30 "Episode 30*
31 *Episode 31*
32 *Episode 32*
33 *Episode 33**
34 *Episode 34*
35 *Episode 35*
36 *Episode 36*
37 *Episode 37*
38 *Episode 38*
39 *Episode 39*
40 *Episode 40*
41 *Episode 41*
42 *Episode 42*
43 *Episode 43*
44 *Episode 44*
45 *Episode 45*
46 *Episode 46*
47 *Episode 47*
48 *Episode 48*
49 *Episode 49*
50 *Episode 50*
51 *Episode 51*
52 *Episode 52*
53 *Episode 53*
54 *Episode 54*
55 *Episode 55*
56 *Episode 56*
57 *Episode 57*
58 *Episode 58*
59 *Episode 59*
60 *Episode 60*
61 *Episode 61*
62 *Episode 62*
63 *Episode 63*
64 Episode 64*
65 Episode 65*
66 Episode 66*
67 Episode 67*
68 Episode.68*
69 Episode 69*
70 Episode 70*
71 Episode 71*
72 Episode 72*
73 Episode 73*
74 Episode 74*
75 Episode 75*
76 Episode 76*
77 Episode 77*
78 Episode 78*
79 Episode 79*
80 Episode 80*
81 Episode 81
82 Episode 82*
83 Episode 83
84 Episode 84*
85 Episode 85*
86 Episode 86*
87 Episode 87*
88 Episode 88*
89 Episode 89*
90 Episode 90*
91 Episode 91*
92 Episode 92*
93 Episode 93*
94 Episode 94*
Episodes

Updated 94 Episodes

1
*Episode 01*
2
*Episode 02*
3
*Episode 03*
4
*Episode 04*
5
*Episode 05*
6
*Episode 06*
7
*Episode 07*
8
*Episode 08*
9
*Episode.09*
10
*Episode 10*
11
Episode 11*
12
*Episode 12*
13
*Episode 13*
14
*Episode 14*
15
*Episode 15*
16
*Episode 16*
17
*Episode 17*
18
*Episode18*
19
*Episode 19*
20
*Episode 20*
21
*Episode 21*
22
*Episode 22*
23
*Episode 23*
24
*Episode 24*
25
*Episode 25*
26
* Episode 26 *
27
* Episode 27 *
28
* Episode 28 *
29
*Episode 29*
30
"Episode 30*
31
*Episode 31*
32
*Episode 32*
33
*Episode 33**
34
*Episode 34*
35
*Episode 35*
36
*Episode 36*
37
*Episode 37*
38
*Episode 38*
39
*Episode 39*
40
*Episode 40*
41
*Episode 41*
42
*Episode 42*
43
*Episode 43*
44
*Episode 44*
45
*Episode 45*
46
*Episode 46*
47
*Episode 47*
48
*Episode 48*
49
*Episode 49*
50
*Episode 50*
51
*Episode 51*
52
*Episode 52*
53
*Episode 53*
54
*Episode 54*
55
*Episode 55*
56
*Episode 56*
57
*Episode 57*
58
*Episode 58*
59
*Episode 59*
60
*Episode 60*
61
*Episode 61*
62
*Episode 62*
63
*Episode 63*
64
Episode 64*
65
Episode 65*
66
Episode 66*
67
Episode 67*
68
Episode.68*
69
Episode 69*
70
Episode 70*
71
Episode 71*
72
Episode 72*
73
Episode 73*
74
Episode 74*
75
Episode 75*
76
Episode 76*
77
Episode 77*
78
Episode 78*
79
Episode 79*
80
Episode 80*
81
Episode 81
82
Episode 82*
83
Episode 83
84
Episode 84*
85
Episode 85*
86
Episode 86*
87
Episode 87*
88
Episode 88*
89
Episode 89*
90
Episode 90*
91
Episode 91*
92
Episode 92*
93
Episode 93*
94
Episode 94*

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!