“Duduklah!” Arya yang kaget atas kedatangan Raisya dan terlalu fokus pada penampilan kacaunya sampai lupa untuk mempersilakan gadis itu duduk.
Raisya menggeleng.
“Saya hanya ingin mengatakan…” Raisya menghentikan kalimatnya. Arya mengangkat sebelah alisnya menanti kelanjutan kalimat gadis yang kini ada di hadapannya.
“Saya ingin mengatakan bahwa saya…” kalimat Raisya kembali tersendat.
“…Saya menerima tawaran Anda…”
...****************...
Arya mengerutkan keningnya mendengar pernyataan Raisya.
“Kamu yakin?” tanya Arya, memastikan.
“Ya…” jawab Raisya, singkat. Seulas senyum kemenangan terbentuk di bibir Arya.
Saya sudah menyangka, kamu tidak akan menolaknya Raisya.. batin Arya penuh kemenangan.
“Baiklah kalau begitu. Saya sudah menyiapkan berkas untukmu. Duduklah!” kali ini Raisya menurut. Ia menarik kursi di depan atasannya lalu duduk. Sementara itu, Arya mengambil sebuah map merah di lacinya.
“Ini surat perjanjiannya. Isinya sama dengan yang aku kirim tempo hari. Tapi, kamu bisa membacanya dulu,” jelas Arya, seraya menyerahkan map tersebut kepada Raisya. Raisya menerima map itu lalu meraih pena di samping tangannya, pena yang memang disediakan untuk tamu atau klien.
“Kamu tidak membacanya dulu?”
“Tidak usah, pak,” Raisya buru-buru menandatangani berkas tersebut. Bukannya ia tidak ingin membaca baik-baik berkas itu, bukannya ia tidak tau bahwa membaca berkas perjanjian sebelum menandatanganinya adalah hal yang wajib, tetapi ia takut berubah pikiran. Jadi, sebelum pikiran warasnya pulih, ia harus menandatanganinya. Setelah itu ia menyerahkan map tersebut kepada atasannya.
Arya membuka dan meneliti setiap lembar yang memang harus gadis itu tanda tangani, lalu menutupnya setelah ia rasa sudah benar.
“Baik pak, kalau begitu, saya pamit dulu,” ujar Raisya seraya bangkit.
“Kamu pulang sendiri?”
“Ya.”
“Membawa mobil?” Raisya tersenyum tipis.
Yaa Tuhaan apa yang ada di pikiran atasannya itu Jika aku memiliki mobil, lebih baik aku menjualnya daripada harus terlunta-lunta mencari pinjaman seperti ini, keluh nya dalam hati. Namun ia masih memiliki kesadaran untuk tidak mengatakan hal itu kepada direkturnya.
“Tidak pak.. saya naik taksi,” Arya mengerutkan keningnya
“Kalau begitu, biar sopir saya mengantarmu.."Raisya terperangah mendengar ucapan bos nya
“Tapi pak, bukankah Anda akan pulang?”
“Ikuti saja, ini juga termasuk dalam perjanjian kita!” Perjanjian? ya benar di sana tertulis dirinya harus mengikuti semua keinginan Arya
“Baik, pak. Kalau begitu, saya pamit dulu. Terima kasih!” tanpa menunggu jawaban Arya, ia berbalik dan berjalan menuju pintu keluar.
“Tunggu!” Suara tegas Arya membuat nya menghentikan langkah dan berbalik. Ia melihat pria itu berjalan memutari meja dengan membawa jas kerjanya lalu berjalan mendekatinya.
Pria itu berhenti tepat di depannya, lalu menyelimutinya dengan jasnya, membuat Raisya terperangah.
“Jangan pernah berpenampilan seperti ini lagi di depan umum!” ujar Arya. Dan ia hanya bisa hanya mengangguk.
“Terima kasih, pak.” Ujar nya dengan suara pelan dan tercekat, lalu berbalik dan pergi meninggalkan ruangan itu.
...****************...
“Ruang VIP?” Ulang nya, tidak percaya atas keterangan dari perawat yang ia tanya perihal ranjang adiknya yang kosong. Ya, dia sangat terkejut mendapati ranjang adiknya kosong begitu ia datang dari kantor Arya, setelah menandatangani perjanjian itu.
“Ya mbak, adik Anda sudah di pindah ke ruang VIP, di kamar 12”
“Baiklah, terima kasih Suster!” Raisya mengalah dan memutuskan untuk mengecek sendiri kebenarannya. Jujur, jiwa dan pikirannya masih melayang-layang seharian ini.
Raisya berjalan menyusuri koridor-koridor rumah sakit sampai menemukan kamar yang ditunjuk suster tadi. Ia membuka pintu. Ia takjub dengan interior ruang rawat tersebut. Ruangan itu benar-benar mewah, berbanding terbalik dengan tempat tinggalnya. Ia tidak bisa membayangkan berapa harga sewa ruangan ini.
Raisya menggelengkan kepala, mengusir pikiran-pikirannya yang melantur. Kemudian ia masuk ke ruangan itu perlahan. Di balik dinding berbentuk L, yang sepertinya dinding kamar mandi, ia menemukan adiknya sedang bersenda gurau dengan ibunya.
“mbak Raisya sudah pulang?” sapa Nadia dengan riang.
“Ya, sayang! Bagaimana keadaanmu, ?” tanyanya, seraya mendekat lalu membelai kepala adiknya.
“Aku sudah lebih baik, mbak apa mbak tau, aku seperti sedang bermimpi indah berada di kamar ini. Saat aku bangun tadi, aku kira aku masih bermimpi. ” cerita Nadia panjang lebar dengan nada yang ceria.
“Terima kasih mbak… mbak pasti sudah bekerja keras untuk aku… terima kasih…” lanjut Nadia lalu memeluk pinggang kakaknya. Raisya pun tersenyum ragu. Ya, ini karena Arya.. Pria itu pasti sudah melakukan sesuatu.
Raisya menoleh pada ibunya. Seperti yang sudah ia duga, ibunya tidak melihatnya, dan raut amarah terlihat jelas di wajahnya.
“Iya, sama-sama Sayang.” jawab nya dengan suara bergetar menahan tangis. Ia balas memeluk adiknya lalu mengecup puncak kepalanya.
“mbak Raisya, mbak menangis?” tanya Nadia seraya melepas pelukannya mendengar suara sang kakak yang bergetar.
“Tidak. mbak tidak menangis,” jawab nya dengan susah payah menahan air matanya.
“Nadia Sayang sekarang sudah malam, lebih baik kau istirahat.” sela sang ibu.
Nadia menggeleng.
“tapi ibu ingin berbicara dengan kakakmu sebentar,”
“Baik, bu.” sang ibu lalu bangkit dan berjalan ke arah sofa di dalam ruangan itu, tempat yang agak jauh dari ranjang Nadia.Dan Raisya mengikuti di belakangnya.
“Jelaskan pada ibu apa yang terjadi!” ujar sang ibu dengan pelan namun penuh penekanan.
“Aku.. aku.”
“ibu sudah menyangka! Kamu pasti sudah menyetujui perjanjian gila itu!"
”ibu aku bisa menjelaskannya…”
“Menjelaskan apalagi Raisya? Kamu sudah membantah ibumu…!”
“ibu...!” tiba-tiba suara jeritan Nadia mengalihkan perhatian mereka. sang ibu yang mendengar namanya di sebut langsung berlari ke ranjang Nadia diikuti Raisya.
“Ya Tuhan! sayang, kamu kenapa?”
“Sakit bu… sakiiit…” Nadia merintih kesakitan.
“Dokter… Raisya panggil dokter!” Raisya yang terdiam karena kaget langsung tersentak mendengar perintah ibunya. Ia memencet berkali-kali bel di samping ranjang adiknya dengan panik, ia juga berlari ke luar untuk memanggil dokter atau perawat.
...****************...
Kini suasana sunyi yang menyelimuti ruang rawat Nadia. Tidak ada satupun yang bersuara. Nadia sedang tidur. Sedangkan ibu dan kakaknya tidak ada yang mau bersuara.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan?” Raisya menoleh pada ibunya yang tiba-tiba bertanya padanya.
“Maksud ibu?”
“Perjanjian Mu,” Raisya terdiam.
“Maaf bu, aku hanya ingin menyelamatkan Nadia, dan ini adalah satu-satunya cara…” ibunya menunduk Air matanya tiba-tiba mengalir di pipinya.
“Maafkan ibu, Nak… Kamu tidak seharusnya menanggung ini semua. Seharusnya ibu yang bertanggung jawab atas kehidupan kalian. Maafkan ibu… ibu bahkan tidak bisa berbuat apa-apa…” Raisya meraih tangan ibunya dan menggenggamnya.
“Tidak bu… ini adalah tanggung jawabku. Aku adalah anak tertua, sekarang sudah waktunya aku berbakti pada ibu…”
“Tapi bukan seperti ini caranya, Sya… ibu tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu…”
“ibu tenang saja… Dia orang yang baik…”
sang ibu menggeleng. “Tidak Sya… Jika dia memang orang baik, dia tidak akan memanfaatkanmu.”
“bu… Dia pasti memiliki alasan khusus melakukan hal ini. Dia adalah orang baik. Percayalah! Dia bahkan menyuruh sopirnya untuk mengantarku kemari, padahal saat itu seharusnya sopirnya mengantarnya pulang. Dia juga meminjamkan jasnya padaku, karena aku tidak mengenakan jaket tadi…” sang ibu memandang Raisya sejenak.
“Benarkah?”
“Ya,” Jawab Raisya., paling tidak, apa yang dikatakannya benar. Untuk sifat atasannya yang lain, yang dingin dan suka memerintah, biarlah dia saja yang tau.
Ibunya menghela nafas. “Baiklah Sayang… ibu doakan semoga kamu baik-baik saja, dan semoga dia memperlakukanmu dengan baik.."Raisya mengangguk. “terima kasih, bu...!”
...****************...
Raisya duduk dengan gelisah di sebuah halte. Ia sedang menunggu jemputan Arya.. Ralat. Ia tidak tau apakah bos nya itu akan menjemputnya sendiri, atau menyuruh sopirnya. Hari ini pria itu mengajaknya makan siang di rumahnya, bersama keluarganya. Ya Tuhan!! Pria itu bertindak sangat cepat. Baru semalam ia menandatangani perjanjian itu, hari ini ia langsung mengenalkannya pada keluarganya. Parahnya lagi,ia tidak bisa menolak. Bagaimana tidak? pria itu langsung membiayai perawatan adiknya dan memindahkannya ke ruang VIP bahkan sebelum dia tiba di rumah sakit. Pria itu seakan memegang kendali dalam segala hal di tangannya.
Sebuah mobil sedan mewah warna putih tiba-tiba berhenti tepat di hadapannya.
Raisya menyipitkan mata, mencoba mengenali sosok yang berada di belakang kemudi. Namun ia tidak perlu menunggu lama. Sosok itu membuka pintu dan keluar. Astaga ! Raisya sedikit terperangah melihat sosok lelaki yang berjalan ke arahnya. Lelaki itu tidak lain adalah Arya Wijaya.
Berbeda dari penampilan sehari-hari yang dilihatnya di kantor, kali ini Pria itu terlihat lebih muda, segar, dan tampan.
Pria itu mengenakan celana jeans berwarna biru dan atasan kaos berwarna putih yang diselipkan dengan rapi ke dalam celananya.
“Pak Arya!” Raisya segera bangkit dan memberi salam hormat formal seperti biasanya ketika atasannya berada di depannya.
Pria itu memperhatikan penampilan Raisya.
Gadis itu mengenakan kemeja berkerah warna putih dengan lengan sepanjang siku, rok pensil selutut berwarna biru dengan hiasan beberapa rempel di depan yang menggantung lututnya. Rambut hitamnya tergerai,dengan hiasan bando berwarna putih.
Di sisi lain, Raisya merasa risih dan tidak nyaman, menyadari atasannya memperhatikannya. Ia takut penampilannya salah. Padahal ia sudah mengenakan pakaiannya yang paling bagus yang ia punya, dan berusaha tampil sebaik mungkin yang ia bisa.
“Maaf pak, apakah ada yang salah dengan penampilan Saya?” tanya Raisya dengan hati-hati. Arya menggeleng.
“Tidak..Tidak Ada yang salah?" Arya tidak bisa memungkirinya, ia malah puas melihat penampilan gadis itu sekarang.
Gadis itu terlihat polos, lugu, cantik, dan..yang paling membuat nya sedikit heran kenapa tanpa sengaja warna baju mereka juga sama padahal ga ada persiapan untuk hal itu…Dan hanya 1 kata yang sesungguhnya ingin di katakan Arya soal gadis itu..yakni *Sempurna*.
...****************...
Tanpa sadar, Raisya menganga takjub melihat kediaman keluarga Wijaya yang mewah dan megah identik dengan rumah rumah konglomerat yang sering ia liat di TV saat mobil yang mereka kendarai melewati gerbang masuk rumah keluarga Wijaya tersebut. Setelah melintasi sebuah taman indah yang luas, Arya menghentikan mobilnya di tempat parkir, beberapa meter dari pintu masuk utama rumah itu.
“Kita sudah sampai,” Raisya tersentak ketika suara atasannya memecah kesunyian di antara mereka yang tercipta sejak mereka berada di dalam mobil tadi.
“ya” Raisya menjawab sedikit kikuk. Dengan gugup ia membuka sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya.
“Ayo!” ajak Arya.
"iya pak..." duh Sial! Sabuk pengamannya malah macet dan Raisya tak bisa membukanya.
Dan kini atasannya sudah berdiri di sampingnya, setelah membukakan pintu untuk nya, sabuk pengaman itu masih belum berhasil terbuka.
“Kenapa? Kamu tidak bisa membukanya?” tanya Arya.
Raisya mengangguk pelan. Tanpa banyak kata, pria mendekat untuk membantu nya membuka sabuk pengamannya.
Arya menundukkan badan masuk ke dalam mobil, meraih kunci sabuk pengaman di sebelah Raisya, yang berada di bagian tengah.
Deg. Deg. Deg.
Raisya membeku di tempatnya dengan jantung yang berdebar. Tubuh pria itu sangat dekat dengannya, hanya berjarak beberapa inchi. Bahkan dari jarak sedekat ini ia bisa menghirup aroma tubuh Arya yang membuatnya bergetar.
klekk..
Bunyi kunci sabuk pengaman yang terlepas membuat Raisya tersentak. Ia menunduk menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas.
“Ayo!” Beruntung! Arya tidak menengok wajahnya. Pria itu langsung keluar dan berdiri tegak, menunggu Raisya turun. Begitu ia turun, Arya mengarahkan nya untuk berjalan di sampingnya, menuju rumahnya.
Dalam langkahnya, Arya memperhatikan gadis disampingnya yang terlihat gugup dan takut, tetapi ia hanya diam, tidak berkata apapun padanya.
Tiba-tiba Raisya berhenti. “Kenapa?” tanya Arya.
Tanpa menjawab, Raisya berbalik, namun pria itu menangkap pinggangnya. Alhasil, langkah nya terhenti, karena kini Arya berdiri di tepat didepannya, menahan pinggangnya.
“Kamu tidak bisa pergi, Raisya! Ingat Kamu sudah menandatangani perjanjian itu,” ujar Arya dengan tenang.
“Maaf… Maaf pak… Saya… Saya takut…” Jawab Raisya dengan jujur.
“Takut pada siapa? Tenanglah, keluargaku baik. Mereka juga akan bersikap baik padamu, percayalah!” gadis itu diam dan menunduk.
“Bagaimana jika mereka menanyakan berbagai hal padaku? Terutama tentang… hubungan kita?”
“Kamu tidak perlu khawatir. saya yang akan menangani semuanya! Ayo, mereka pasti sudah menunggu!” tanpa menunggu jawaban, pria itu menggenggam tangannya dan berjalan dengan tangan yang saling bertautan.
...****************...
“Kalian sudah datang!” ujar ibu Lina,mamanya Arya ketika melihat gadis yang berdiri di samping putranya.
Tak usah di tanya lagi, melihat tangan mereka yang saling bertautan, serta senyum sumringah Arya, dan senyum gugup gadis di sampingnya, ibu Lina sudah bisa menebak hubungan apa yang terjalin di antara mereka.
Sebentuk senyum bahagia terlukis jelas di wajah ibu Lina, karena bukan hanya menepati janji untuk mengenalkan kekasihnya, Sang putra juga membuatnya senang karena gadis yang dibawanya itu berparas cantik, anggun, dan sopan.
Hal itu terlihat dari bagaimana cara gadis itu mengenalkan diri dan berbicara dengan orang tua Arya.
Tak seperti yang Raisya pikirkan diawal. Setelah perkenalan singkat, bukannya menuju ruang makan, Ibu Lina malah membawa mereka ke taman belakang.
Ternyata Ibu Lina telah menyiapkan sebuah meja bundar besar dengan taplak berwarna putih di tengah-tengah taman dengan empat buah kursi melingkarinya.
Pak Ridwan wijaya dan istrinya ibu Lina berjalan di depan.
Ibu Lina juga menjelaskan berbagai koleksi tanaman anggreknya pada Raisya.
“mama.., jangan memberinya kuliah umum mengenai anggrek anggrek kesayangan mama. Dia tidak akan tertarik, itu bukan bidangnya…” Tegur Arya ketika mamanya sangat antusias menjelaskan salah satu koleksinya.
“Tidak Arya.. Dimana-mana, wanita pasti menyukai bunga dan tanaman hias. Benarkan, Raisya?”
“Ya, tante…” jawab Raisya, seraya tersenyum. Arya berdecak.
“Nah, duduklah!” seru Ibu Lina begitu mereka sampai di depan meja yang telah tersedia. Tepat sebelum Raisya duduk, ponsel Arya berdering. Pria itu mengambil ponselnya dengan tangan kanannya dan melihat id penelpon.
“Sebentar, aku menjawab telfon dulu,” pamitnya pada Raisya, seraya membelai lembut tangan kanan Raisya yang sedari tadi berada dalam genggamannya.
Raisya mengangguk pelan seraya tersenyum.
Ibu Lina melirik ke arah suaminya, pandangan mereka bertemu, lalu tersenyum penuh arti.
...****************...
“Jadi apa kesibukanmu sekarang?” tanya Ibu Lina seraya memasukkan potongan buah ke dalam mulutnya.
“Hanya bekerja, tante…”
“Oya? Apa pekerjaanmu?” Raisya sedikit membuka bibirnya.
“Saya… Saya…” ia menunduk dan melirik ke arah Arya, berharap pria melakukan sesuatu. Ia tidak tahu apakah ia harus mengatakan hal yang sejujurnya, bahwa dia adalah sekretaris Arya.
Dalam hati ia merutuk, mengapa ia tidak berbicara dengan bosnya dulu? Membuat kesepakatan mengenai apa yang harus mereka bicarakan kepada keluarga Wijaya?
“Dia sekretaris ku, ma…” Orang tua Arya terlihat sedikit terkejut.
“Sekretaris?” ulang Ibu Lina
“Ya tante…” jawab Raisya, gugup. Ibu Lina mengangguk pelan. Raut keraguan nampak jelas di wajahnya.
“Lalu pekerjaan orang tuamu?” tanya Ibu Lina kembali.
“Ayahnya sudah meninggal.
Dan Ibunya berjualan sayur keliling ma…” jelas Arya.
“Ber… Berjualan keliling?”
to be continued👉👉👉👉👉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Anhi Asriani
lanjut thor
2021-04-20
1