KENAYA (Ken Dan Aya)

KENAYA (Ken Dan Aya)

ONE

Seorang gadis protes, lengkap dengan bibir mayungnya. Matanya mendelik tidak suka kepada pria yang menggulung setengah lengan kemejanya.

“Lo itu kebangetan kalau ngasih tugas. Kayak enggak pernah kuliah saja,” cibirnya.

Pria di depannya menatap gadis yang tak lain adalah mahasiswa sekaligus sahabatnya dengan tatapan datar.

“Karena gua pernah kuliah, gua ngasih tugas buat lo. Otak lo, ‘kan lemot. Harus diasah,” jawabnya membuat cibir keras terlontar dari gadis itu.

“Pokoknya gue gak mau tahu, Ken. Lo harus ajarin gue. Titik, enggak pakai koma!” serunya.

“Otak lu cuma ada abs-abs opa-opa lo,” ujar Ken sambil menoyor kepala Aya.

“Oppa, Ken,” ralat Aya. Sahabatnya suka sekali menghina idolnya. Entah dikatain jeleklah, operasi plastiklah. Banyak sampai membuat kuping Aya panas sendiri.

“Terserah,” ujar Ken membuat Aya mengikuti Ken duduk di sofa.

Aya melihat Ken membuka tablet, “Lo gak makan siang, Ken?”

Ken menghela napas. Selain cerewet, sahabatnya ini doyang sekali makan. Ken yakin, Aya pasti buncit. Hanya saja karena kurus jadi tidak terlihat buncitnya.

“Lo mau makan?” tanya Kena diangguki cepat oleh Aya, “beli sana.”

“Ck, enggak enak, ya, punya sahabat yang lebih mentingin pekerjaannya daripada perut sahabatnya,” sindir Aya.

Ken menghela napas. Menyimpan tabletnya di atas meja. Tangannya merogoh sakunya dan mengeluarkan satu bungkus rokok.

Ia mengambil sebatang dan membakarnya. Asap putih menggembul keluar dari bibir Ken.

“Mau makan apa?” tanyanya. Ken pasti selalu menuruti kemauan Aya, tetapi pasti ada debat-debat kecil dulu.

“Pikir saja sendiri!” Aya sudah kesal. Moodnya hancur. Ia selalu cemburu kepada pekerjaan Ken. Terlalu mencintai pekerjaan sampai ia merasa dinomor duakan.

Memang, ya, wanita selalu mau dinomor satukan. Ken tahu jika Aya ngambek. Sudah hampir 20 tahun mereka bersahabat. Setiap kelakuan Aya sudah terekam di dalam otak Ken.

“Dih, ngambek,” goda Ken. Tangannya terulur menarik pipi bakpao Aya.

Aya menepis tangan Ken, “Enggak usah pegang-pegang. Itu tangan dijaga ya, Mas.”

“Sudah, ah, ngambeknya. Gua juga lapar.” Ken menarik Aya agar gadis itu menoleh kepadanya.

Wajah cantik Aya memerah. Merengut kesal dan siap memarahi akar dari moodnya yang hancur.

“Menurut lo, gue enggak lapar dari tadi? Lo menyita 3 jam untuk membahasa rumus-rumus yang gak ada masuk di otak gue. Sekarang lo baru bilang lapar. Gak nafsu!”

Ken menikmati wajah marah Aya. Selalu cantik dan bibir merah mudah yang selalu melaju bak kereta api.

Melihat Ken hanya diam saja. Aya merengek-rengek seperti anak kecil. Moodnya mudah berubah-ubah. Makanya Ken harus antisipasi dengan gadis satu ini.

“Makan apa?” tanya Ken kembali.

“Kenan Rahardian Dosen killer seantoro kampus, yang dinginnya ngalahin kutub utara, sahabatmu yang cantik dan imut ini mau makan bakso,” cerocos Aya.

“Aliya Atma Wijaya, bawelnya kebangetan. Enggak usah lebay kalau mau makan,” balas Ken membuat Aya merengut.

Ken segera keluar membeli pesanan Tuan Putri yang ketinggalan zaman sebelum marah-marah dan bawelnya naik level.

Aya sendiri langsung membaringkan dirinya di sofa panjang Ken. Jika Ken yang berbaring pasti tubuhnya tidak muat. Berbeda dengan Aya, tubuhnya mungil sehingga muat.

Ia membuka you tube. Mencari nama idolanya. Lalu, dia terkikik sendiri membuat Ken yang sudah kembali menggeleng melihat kelakuan Aya.

Kenan Rahardian adalah pria berusia 28 tahun, sedangkan Aliya Atma Wijaya 23 tahun. Perbedaan umur mereka tidak membuat keduanya renggang. Justru mereka bersahabat.

Kenan adalah CEO Rahardian group. Mengajar hanya menjadi hobi untuknya. Kenan memang terkenal killer di kampus. Bahkan ia tak segan bersikap dingin kepada semua orang. Hanya kepada Aya dan keluarganya, tingkahnya berubah 180 drajat.

“Bangun, katanya lapar,” ujar Ken sambil meletakkan pesanan Aya.

Aya bangkit dan menyimpan ponselnya di atas meja. Netra Ken melirik sekilas ponsel pink milik Aya. Bibirnya mendengus melihat gadis itu lagi-lagi membuka you tube untuk menonton video laki-laki kebanggaannya.

“Lo pakai wifi kampus buat streaming?” selidik Ken. Aya mengangguk polos.

“Kalau ada yang gratis, gue pakai. Ngapain pakai kouta sendiri,” cueknya dengan menikmati baksonya.

“Bikin bangkrut kampus. Itu buat cari bahan pelajaran,” cibir Ken.

“Suka-suka, dong. Lagian lo beneran kuno banget, ya. Lo tahu donatur-donatur di sini kaya raya. Lagian lo juga donatur di sini, terus masalahnya sama gue gunain wifi kampus apa?” Aya selalu bisa menjawab pertanyaan Ken kecuali mata pelajaran.

Ken memilih tidak meladeni Aya. Ia harus cepat menghabiskan makannya. Jam 2 siang nanti ia akan menghadiri rapat penting.

***

Pulang dari kampus Aya dilanda rasa bosan. Guling kanan dan kiri sejak tadi ia lakukan.

“Boring!” Ia bangkit dan mencari ponselnya. Lalu, mencari kontak yang bisa membuat rasa bosannya hilang.

“Halo,” sapa seorang di seberang sana.

“Kennnn,” rengeknya.

“Kenapa lagi, Aya. Gue lagi kerja, sibuk.” Bibir Aya melengkung ke bawah.

“Gu—“

“Sudah dulu. Bentar lagi gue mau rapat. Klik.”

Aya menatap dongkol hpnya yang menampilkan walpaper fotonya dan Ken dengan gaya selfi saling menekan pipi.

“Untung lo sahabat gue, Ken. Kalau bukan gue tendang lo ke rawa-rawa,” sungut Aya.

Dia bangkit dan berjalan ke dapur. Di sana ada Ibunya memasak. Hobi sekali wanita itu membuat masakan baru.

“Ma,” panggil Aya.

“Iya,” sahut Arin saat melihat putrinya datang. Terlihat kesal. Pasti kesalnya sama Ken.

“Ken nyebelin banget! Ingin Aya bakar semua berkas-berkasnya,” adu Aya dengan wajah seolah-olah dia benar melakukannya. Matanya sudah menusuk ke dalam dengan tangan mengepal.

“Kebiasaan kalau sebel sama Ken, mau bakar berkas-berkasnya. Gara-gara berkas itu juga yang buat Ken traktir kamu,” ujar Arin.

“Anak Mama siapa, sih? Aya atau Ken?” Aya mulai menarik baju Mamanya. Sikap Aya memang manja dan labil. Emosinya pun tidak menentu.

“Anak Mama, ya, kamulah,” jawab Arin. Ia memasukkan kuenya ke dalam oven.

Aya yang kesal pergi ke kulkas. Matanya seketika berbinar melihat es krim di sana.

“Aya ... jangan makan banyak. Kamu mudah sakit kalau makan es banyak. Kalau Ken tahu kamu kena marah,” kata Arin mengingatkan putrinya.

“Iya, ini makannya Cuma satu,” jawabnya. Ia terkikik, “Tapi, tambah satu dan satu lagi sampai balik satu lagi, hihihi.”

Ia mengambil es krim rasa stroberi dan coklat. Seketika Aya menghabiskan lima bungkus es krim.

“Eummm ....” Ia mengusap perutnya. Lalu, bibirnya tersenyum lebar.

Aya mengabaikan peringatan Arin. Seolah ia lupa amarah yang diluapkan Ken kepadanya tempo hari karena makan es krim banyak.

Tubuh Aya menegang kaku. Dengan radius satu meter dirinya. Ken berdiri dengan tatapan datarnya.

“Ken,” lirih Aya.

***

TBC.

Tinggalkan Vote dan komentar agar Author bisa up crazy. 😁❣️Jangan lupa follow❣️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!