12

#KENAYA (Ken dan Aya)

#Part12

Suasana tiba-tiba berubah menjadi canggung. Tidak bisa Ken membohongi perasaannya saat ini. Dia senang buka main. Seperti memenangkan tender saja.

Melihat istrinya salah tingkah sendiri. Aya bisa dikatakan makhluk langka bagi Ken. Pemikirannya tidak bisa ditebak. Ia harus melangkah dengan hati-hati.

“Kamu naiklah ke sini,” pinta Ken memintanya lebih dekat.

“Kamu serius mau bikin adek-adek?” tanya Ken. Aya mengangguk tanpa menatap Ken.

Tangan Ken memegang dagu istrinya. Mata mereka bertumpu. Senyum terukir di bibir Ken.

“Wudhu dulu, yuk,” ajaknya. Dia menahan hasratnya. Harus wudhu dulu dan shalat agar hanya dia menikmati istrinya tanpa campur tangan iblis.

“Bismillahirahmanirahim.” Terlihat Ken melafalkan doa dan mencium ubun-ubun Aya. Debar jantung Aya memacu.

“Ken,” cicitnya.

“Hm?” Ken pun sama seperti Aya. Perasaannya terasa membuncah dan mendebarkan.

“Aku tidak tahu caranya bikin adek-adek,” cicitnya. Ken tersenyum geli.

“Ini pertama buat kamu dan aku. Kita nikmati prosesnya.” Aya mengangguk dan membiarkan suaminya melakukannya.

Aya merasa senang karena menjadikan Ken sebagai laki-laki pertama yang menyentuhnya. Ia menjadi Nyonya Rahardian yang seutuhnya. Menyempurnakan ibadahnya.

Biarkan dia merasakan kenikmatan yang hanya suaminya dapat berikan dan biar bulan dan bintang menjadi saksi bisu atas dua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu.

“Terima kasih istriku. Aku mencintaimu,” bisik Ken. Aya tersenyum malu.

“Aya juga cinta Ken,” lirihnya.

“Kik bicin, sih. Ini gik jijikkan?” goda Ken meniru Aya saat mereka makan bakso. Aya tertawa dan memeluk guling bernyawanya erat.

“Ehehe enggak, dong.”

***

Ken POV

Akhirnya Nyonya Rahardian kita yang tercinta peka soal hak suami. Setelah penantian lamaku, akhirnya berakhir tadi malam dengan indah.

Tidak ada hal paling membahagiakan saat menjadi pertama untuknya. Apalagi saat membuka mata dan melihatnya terlelap damai tanpa busana.

Aku akan rajin-rajin mengajak istriku ibadah. Menebus satu bulan yang berlalu.

“Kamu sudah sembuh Ken?” tanya mama saat melihatku lebih segar daripada kemarin sore.

“Iya, Ma. Sudah mendingan,” ujarku. Aya memberiku sarapan. Ia duduk di sampingku.

“Memang cepat, ya, sembuh kalau ada istri yang ngurus,” goda mama membuatku hanya senyum-senyum tidak jelas. Bayangan semalam terus melintas.

“Makannya kenapa sedikit?” tanyaku kepada Aya. Mendadak istriku menjadi pendiam. Masih malu kali.

“Sedikit saja,” cicitnya. Aku menambahkan nasi di piring Aya.

“Makan yang banyak. Perut kamu ‘kan enggak bisa kalau sedikit,” kataku setelah memberinya nasi.

Setelah sarapan aku mengajaknya ke kamar. Dia berjalan lebih dulu. Senyumku semakin lebar melihat jalannya terasa berbeda.

“Masih sakit enggak?” tanyaku saat berbaring di sampingnya.

Pipinya kembali memerah malu, “Sedikit.”

Gemes banget kalau dia sudah malu-malu. Aku memberinya satu kecupan.

“Ken, kapan adeknya jadi?” tanyanya polos. Astaga Aya. Mana bisa jadi sekali jebol. Itu hanya ada di dunia novel.

“Belum, Sayang. Harus rajin-rajin bikin adek-adeknya,” jelasku. Dia mangut-mangut.

“Ya, padahal sudah tidak sabar,” desahnya. Ia mengelus perutnya. Lalu, tertawa sendiri.

“Kenapa?” tanyaku penasaran. Kira-kira otaknya memikirkan apa sampai tertawa sendiri.

“Aku bayangin kalau sudah hamil. Pasti lucu begitu perut aku bulat,” ujarnya.

Akhirnya kami mengobrol seputar bayi. Aku jelaskan banyak hal sama dia. Biar dia tidak salah paham terus. Bisa berabe jika orang tahu.

“Segalah masalah atau hal privasi kita jangan kamu umbar kepada orang lain. Suami-istri itu tentang bagaimana suami menjadi baju untuk istri dan begitu pun sebaliknya.” Dia menatapku begitu lekat.

“Maksudnya jadi baju?” tanyanya. Dengan sabar aku jelaskan.

“Apa pun kekurangan suami, istri hendaknya menutupnya dan apa pun kekurangan istri, suami hendak menutupnya,” paparku. Semoga saja dia mengerti maksudku.

“Iya, Ken. Aku akan jaga privasi kita,” patuhnya.

“Ya, sudah. Kita bikin adek-adek lagi, yuk?” ajakku. Dia mengangguk malu. Uh, istriku tercinta.

***

Sudah menjelang Sore, Aya masih di rumah suaminya. Ken masih tertidur.

“Eh, Aya,” sapa Ibu-Ibu, tetangga Ken. Dengan ramah Aya melempar senyum.

“Wah, Aya sudah isi belum?” tanya salah satu Ibu-Ibu yang Aya tidak tahu namanya.

Aya menjadi salah tingkah sendiri. “Alhamdulillah sudah isi, tetapi belum jadi. Kata Ken harus rajin-rajin bikin adek-adeknya,” ujarnya malu-malu.

Ibu-ibu mesem-mesem dibuatnya. Mereka terhibur dengan tingkah polos Aya.

“Semoga cepat jadi,” ujar mereka. Awalnya ia kira Aya hamil karena mengatakan sudah, ternyata wanita di depannya menangkap lain maksud mereka.

“Eh, Aya, dengar, ya. Suami kamu ‘kan tampan, keren, kaya pula. Awas loh sekarang rawan pelakor,” ujar Ibu-Ibu mulai bergosip ria.

“Iya, Aya. Kemarin itu anak Bu Eli cerai karena suaminya direbut pelakor. Duh, kasihan sekali padahal masih punya anak kecil-kecil lagi,” ujarnya.

“Aya bakal jaga Ken. Semua pelakor akan Aya basmi jika ingin mengambil Ken dari Aya,” ujar Aya tegas. Untuk satu ini dia tidak akan toleransi.

Akhirnya dia ikut membahas pelakor. Sampai Ibu-Ibu pamit pulang.

“Dari mana?” tanya Ken saat melihat istrinya baru masuk ke kamar.

“Dari depan rumah. Ngobrol sama tentangga,” jawabnya. Ia duduk dan menatap Ken.

“Kenapa?” tanya Ken saat Aya menatapnya dengan wajah menimang-nimang.

“Pokoknya enggak boleh ada pelakor di antara kita. Cukup pekerjaanmu selama ini menjadi pelakor waktu,” ujarnya membuat Ken terbahak-bahak.

“Kenapa bahas pelakor? Habis dengerin gosip pasti.” Ken mendekat dan menjitak pelan kening istrinya.

Tuk!

“Aww!” Aya cemberut.

“Keeennn,” rengeknya kesal.

“Jangan ikutan bergosip lagi. Enggak baik,” larang Ken.

“Itu bukan gosip, tetapi pembicaraan hangat untuk mewaspadai pelakor,” kesal Aya.

“Enggak akan ada wanita lain yang mampu menggeser kamu di hati aku. Sejelek apa pun nanti kamu, kamu tetaplah yang terbaik untukku.”

Hati Aya merasa meleleh. Dia menyengir, “Sama. Ken paling juara di hati Aya. Enggak ada yang lain.”

“Mandi, sana. Kita pulang ke rumah,” suruh Ken. Aya mengangguk dan saat dia ingin beranjak. Dia mencium Ken dengan cepat kilat.

Ken mematung, “Ya Allah ... kok, sebentar mana berasa.”

***

TBC

Terima kasih jejaknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!