TWO

Tidak ada yang bisa Aya lakukan selain menangis di dalam kamarnya. Sore itu, saat kehadiran Ken yang tak terduga semua menjadi kacau.

Bukan amarah Ken yang membuat Aya menangis. Justru laki-laki itu acuh dan berbalik meninggalkannya.

“Hikss huwaaa Ken!” tangisnya pecah. Sejak saat itu pula ia tidak melihat batang hidung Ken.

Tisu sudah berserakah di lantai karena ingusnya. Matanya tanpa henti menangis. Sudah seminggu ia tidak bertemu Ken.

“Gue ke rumah Ken saja kali. Siapa tahu sudah balik,” ujarnya. Ia bangkit dan melihat pantulan dirinya di cermin.

“Hiks kok muka gue jadi jelek,” kesalnya. Sekali-kali terdengar sisa isak tangisnya.

Aya pergi kamar mandi dan mencuci mukanya. Lalu, ia mematut dirinya di depan meja rias.

“Gue kalau dikasih pilihan antara didiamkan sama dimarahi Ken, gue memilih dimarahi,” gumamnya. Ia bermonolog dengan dirinya sendiri.

Aya memakai baju kaus lengan pendek dengan celana jeans panjang. Tak lupa sepatu putih Fila miliknya.

“Ma,” panggilnya. Arin meneloh.

“Mau ke mana?” tanya Arin karena putrinya terus mengurung diri setelah pulang dari kampus.

“Mau ke rumah Ken,” jawabnya dengan bibir melengkung ke bawah. Arin mendekati putrinya.

“Makanya dengerin kata Ken. Kamu, sih, ngenyel dibilangin,” ujar Arin sambil membelai kepala Aya.

“Terus Aya bagaimana sudah telanjur habisin,” sebel Aya kepada dirinya sendiri. Ingin rasanya ia memuntahkan es krim yang dimakannya.

“Sudah, nanti keburu malam. Kamu berangkat titip salam sama Tante Dewi,” ujar  Arin.

“Enggak sekalian sama Om Tian?” tanya Aya.

“Kamu enggak tahu, ya. Om Tian sama Papa kamu lagi keluar kota,” jelas Arin.

Keluarga mereka sangat dekat. Membuat Ken dan Aya leluasa terus bersama. Bahkan Aya sering dimanja oleh kedua orang tua Ken dan sebaliknya Ken sering dimanja orang tua Aya.

Kadang Aya merasa mereka seperti anak yang tertukar. Namun, ia hanya menyimpan pemikirannya, tanpa mengatakannya. Sudah pasti kepalanya dijitak Ken.

“Assalamualaikum, Ma.” Aya meraih tangan Arin.

“Wa Alaikumsalam.”

***

Aya masuk ke dalam rumah Ken setelah mengucapkan salam. Tak ada tanda-tanda orang. Ia ke belakang dan benar saja di sana Tante Dewi sedang duduk bersantai ria.

“Tante!” Dewi menoleh. Ia tersenyum hangat melihat Aya.

“Ya Allah, Aya. Kamu kok baru main ke sini lagi?” tanya Dewi sambil memeluk sebentar Aya.

Aya duduk dan menyimpan tasnya. Bibirnya sudah mengerucut. Siap melaporkan kalau Ken mengabaikannya.

“Ken tuh, Tan. Dia mengabaikan chat Aya, telepon Aya. Semuanya,” adunya dengan sedih.

“Loh, kok bisa? Kalian berantem?” Aya mengangguk dan menggeleng membuat Dewi kebingungan.

“Lalu?” Akhirnya cerita Aya mengalir tanpa ada yang dilebihkan dan dikurangi.

Dewi terkikik geli. Ia mengusap surai Aya. Putranya memang sedikit over protektif kepada Aya.

“Ken sayang sama kamu. Makanya dia marah kalau kamu makan es krim banyak-banyak. Tahu sendiri, ‘kan, bagaimana paniknya dia saat kamu deman tinggi?” Aya tersenyum tipis. Ia mengingat Ken begitu panik mendapatinya deman.

Bahkan laki-laki itu ngotot membawanya ke rumah sakit. Lalu, sikap over protektifnya berimbas kepada Dokter dan Suster di sana.

Telat sedikit saja datang, maka Ken dengan suara dingin lengkap dengan tatapan tajam andalannya. Membuat Dokter ketar-ketir sendiri.

“Iya, Aya ngaku salah,” ucapnya dengan lesu, “lalu, ke mana, Ken? Aku ke kantornya juga tidak ada.”

“Dia ke Bogor. Hari ini sudah pulang. Mungkin tengah malam baru sampai,” ujar Dewi.

“Ya, gak ketemu, dong, Tante,” lesu Aya.

Meski kecewa Aya tetap sedikit tenang. Ken sudah pulang dan dia akan membuatkan Ken kue kesukaan pria itu.

Mendadak wajahnya muram. Ia tidak tahu memasak kue kesukaan Ken.

“Kenapa?” tanya Dewi menyadari raut wajah Aya semakin muram seperti benang kusut.

“Aya mau buat kue brownis kesukaan Ken. Aya enggak tahu buatnya.” Matanya memelas. Akhirnya Dewi mengajak Aya ke dapur dan memasak.

Sesekali Aya bertanya bahan-bahan yang dimasukkan Dewi ke dalam mangkok. Sampai kuenya jadi dan da pulang karena takut Ibunya khawatir.

“Makasih, ya Tante,” ujarnya dan memeluk Dewi sebelum pulang ke rumahnya.

***

Di siang hari yang begitu panas. Aya duduk mematung di kursinya. Ken sudah pulang dan dia bahagia.

Melihat pria itu di depan dan mengajar seperti biasa. Namun, yang membuat ia masam sendiri adalah perkataan Ken selanjutnya.

“Tugas kalian kumpul di depan. Yang tidak mengerjakan saya berikan hukuman,” perintahnya dengan tegas.

Jleb. Aya meneguk ludahnya sendiri. Tugas sialan itu, ia lupa mengerjakannya. Ia menautkan tangannya.

“Duh, Keeennnn,” rengeknya dalam hati.

“Aliya Atma Wijaya, di mana tugas kamu?” tanya Ken menatap lurus ke arahnya. Sontak Aya menjadi pusat perhatian.

Aya merutuki sikapnya yang gugup. Harusnya dia biasa saja karena tahu Ken adalah sahabatnya. Meski Ken menjadi dosennya juga.

“Engggg ....” Aya merutuki otaknya yang lalot. Ia bingung mencari alasan.

“Ikut ke ruangan saya.” Ken menatap Aya tajam. Aya pasrah. Ia mengekori Ken.

Ceklek.

“Duduk.” Aya seperti kucing yang habis dipukul kepalanya. Ia menurut tanpa bantahan.

“Tulis 10 lembar ucapan minta maaf.” Aya mengangkat wajahnya. Menatap tak percaya pada Ken.

Ken hanya balas menatap Aya dengan datar. “Apa yang kamu tunggu. Saya akan menghukum mahasiswi saya jika tidak mengerjakan tugas,” ujar Ken dingin.

Aya tidak pernah melihat Ken seperti ini. Berkata dingin kepadanya dan formal di saat hanya mereka berdua.

Aya takut. Ia dengan gemetar mengambil pulpen dan menulis kata maaf sampai 10 lembar itu penuh.

Tangannya pegal. Belum sampai dua lembar ia tulis. Sejak tadi ia menunduk. Sengaja rambutnya ia biarkan menutupi sebagian wajahnya.

Ia menghalau air matanya. Sebentar lagi runtuh. Tes—ia menangis.

Ken sendiri menatap Aya dengan tatapan tak terbaca. Perlahan mengembuskan napas.

“Masih mau makan banyak es krim?” tanyanya.

Aya mengangkat wajahnya. Membiarkan Ken tahu jika ia menangis, meski Ken memang sudah tahu.

“Ken,” lirih Aya. Bibirnya bergetar. Dia kira Ken benar-benar menghukumnya karena tugas, ternyata karena es krim.

“Kemarilah,” pinta Ken. Aya bangkit dan berjalan ke arah Ken. Sampai di depan Ken, tubuhnya masuk ke dalam pelukan hangat Ken.

Tangisnya kembali pecah. Rindu pelukan dari Ken. Segala tentang Ken akan dirindukan Aya ketika ia melewatkan hari tak melihat Ken.

“Maaf,” cicitnya.

***

TBC

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!