Seorang gadis protes, lengkap dengan bibir mayungnya. Matanya mendelik tidak suka kepada pria yang menggulung setengah lengan kemejanya.
“Lo itu kebangetan kalau ngasih tugas. Kayak enggak pernah kuliah saja,” cibirnya.
Pria di depannya menatap gadis yang tak lain adalah mahasiswa sekaligus sahabatnya dengan tatapan datar.
“Karena gua pernah kuliah, gua ngasih tugas buat lo. Otak lo, ‘kan lemot. Harus diasah,” jawabnya membuat cibir keras terlontar dari gadis itu.
“Pokoknya gue gak mau tahu, Ken. Lo harus ajarin gue. Titik, enggak pakai koma!” serunya.
“Otak lu cuma ada abs-abs opa-opa lo,” ujar Ken sambil menoyor kepala Aya.
“Oppa, Ken,” ralat Aya. Sahabatnya suka sekali menghina idolnya. Entah dikatain jeleklah, operasi plastiklah. Banyak sampai membuat kuping Aya panas sendiri.
“Terserah,” ujar Ken membuat Aya mengikuti Ken duduk di sofa.
Aya melihat Ken membuka tablet, “Lo gak makan siang, Ken?”
Ken menghela napas. Selain cerewet, sahabatnya ini doyang sekali makan. Ken yakin, Aya pasti buncit. Hanya saja karena kurus jadi tidak terlihat buncitnya.
“Lo mau makan?” tanya Kena diangguki cepat oleh Aya, “beli sana.”
“Ck, enggak enak, ya, punya sahabat yang lebih mentingin pekerjaannya daripada perut sahabatnya,” sindir Aya.
Ken menghela napas. Menyimpan tabletnya di atas meja. Tangannya merogoh sakunya dan mengeluarkan satu bungkus rokok.
Ia mengambil sebatang dan membakarnya. Asap putih menggembul keluar dari bibir Ken.
“Mau makan apa?” tanyanya. Ken pasti selalu menuruti kemauan Aya, tetapi pasti ada debat-debat kecil dulu.
“Pikir saja sendiri!” Aya sudah kesal. Moodnya hancur. Ia selalu cemburu kepada pekerjaan Ken. Terlalu mencintai pekerjaan sampai ia merasa dinomor duakan.
Memang, ya, wanita selalu mau dinomor satukan. Ken tahu jika Aya ngambek. Sudah hampir 20 tahun mereka bersahabat. Setiap kelakuan Aya sudah terekam di dalam otak Ken.
“Dih, ngambek,” goda Ken. Tangannya terulur menarik pipi bakpao Aya.
Aya menepis tangan Ken, “Enggak usah pegang-pegang. Itu tangan dijaga ya, Mas.”
“Sudah, ah, ngambeknya. Gua juga lapar.” Ken menarik Aya agar gadis itu menoleh kepadanya.
Wajah cantik Aya memerah. Merengut kesal dan siap memarahi akar dari moodnya yang hancur.
“Menurut lo, gue enggak lapar dari tadi? Lo menyita 3 jam untuk membahasa rumus-rumus yang gak ada masuk di otak gue. Sekarang lo baru bilang lapar. Gak nafsu!”
Ken menikmati wajah marah Aya. Selalu cantik dan bibir merah mudah yang selalu melaju bak kereta api.
Melihat Ken hanya diam saja. Aya merengek-rengek seperti anak kecil. Moodnya mudah berubah-ubah. Makanya Ken harus antisipasi dengan gadis satu ini.
“Makan apa?” tanya Ken kembali.
“Kenan Rahardian Dosen killer seantoro kampus, yang dinginnya ngalahin kutub utara, sahabatmu yang cantik dan imut ini mau makan bakso,” cerocos Aya.
“Aliya Atma Wijaya, bawelnya kebangetan. Enggak usah lebay kalau mau makan,” balas Ken membuat Aya merengut.
Ken segera keluar membeli pesanan Tuan Putri yang ketinggalan zaman sebelum marah-marah dan bawelnya naik level.
Aya sendiri langsung membaringkan dirinya di sofa panjang Ken. Jika Ken yang berbaring pasti tubuhnya tidak muat. Berbeda dengan Aya, tubuhnya mungil sehingga muat.
Ia membuka you tube. Mencari nama idolanya. Lalu, dia terkikik sendiri membuat Ken yang sudah kembali menggeleng melihat kelakuan Aya.
Kenan Rahardian adalah pria berusia 28 tahun, sedangkan Aliya Atma Wijaya 23 tahun. Perbedaan umur mereka tidak membuat keduanya renggang. Justru mereka bersahabat.
Kenan adalah CEO Rahardian group. Mengajar hanya menjadi hobi untuknya. Kenan memang terkenal killer di kampus. Bahkan ia tak segan bersikap dingin kepada semua orang. Hanya kepada Aya dan keluarganya, tingkahnya berubah 180 drajat.
“Bangun, katanya lapar,” ujar Ken sambil meletakkan pesanan Aya.
Aya bangkit dan menyimpan ponselnya di atas meja. Netra Ken melirik sekilas ponsel pink milik Aya. Bibirnya mendengus melihat gadis itu lagi-lagi membuka you tube untuk menonton video laki-laki kebanggaannya.
“Lo pakai wifi kampus buat streaming?” selidik Ken. Aya mengangguk polos.
“Kalau ada yang gratis, gue pakai. Ngapain pakai kouta sendiri,” cueknya dengan menikmati baksonya.
“Bikin bangkrut kampus. Itu buat cari bahan pelajaran,” cibir Ken.
“Suka-suka, dong. Lagian lo beneran kuno banget, ya. Lo tahu donatur-donatur di sini kaya raya. Lagian lo juga donatur di sini, terus masalahnya sama gue gunain wifi kampus apa?” Aya selalu bisa menjawab pertanyaan Ken kecuali mata pelajaran.
Ken memilih tidak meladeni Aya. Ia harus cepat menghabiskan makannya. Jam 2 siang nanti ia akan menghadiri rapat penting.
***
Pulang dari kampus Aya dilanda rasa bosan. Guling kanan dan kiri sejak tadi ia lakukan.
“Boring!” Ia bangkit dan mencari ponselnya. Lalu, mencari kontak yang bisa membuat rasa bosannya hilang.
“Halo,” sapa seorang di seberang sana.
“Kennnn,” rengeknya.
“Kenapa lagi, Aya. Gue lagi kerja, sibuk.” Bibir Aya melengkung ke bawah.
“Gu—“
“Sudah dulu. Bentar lagi gue mau rapat. Klik.”
Aya menatap dongkol hpnya yang menampilkan walpaper fotonya dan Ken dengan gaya selfi saling menekan pipi.
“Untung lo sahabat gue, Ken. Kalau bukan gue tendang lo ke rawa-rawa,” sungut Aya.
Dia bangkit dan berjalan ke dapur. Di sana ada Ibunya memasak. Hobi sekali wanita itu membuat masakan baru.
“Ma,” panggil Aya.
“Iya,” sahut Arin saat melihat putrinya datang. Terlihat kesal. Pasti kesalnya sama Ken.
“Ken nyebelin banget! Ingin Aya bakar semua berkas-berkasnya,” adu Aya dengan wajah seolah-olah dia benar melakukannya. Matanya sudah menusuk ke dalam dengan tangan mengepal.
“Kebiasaan kalau sebel sama Ken, mau bakar berkas-berkasnya. Gara-gara berkas itu juga yang buat Ken traktir kamu,” ujar Arin.
“Anak Mama siapa, sih? Aya atau Ken?” Aya mulai menarik baju Mamanya. Sikap Aya memang manja dan labil. Emosinya pun tidak menentu.
“Anak Mama, ya, kamulah,” jawab Arin. Ia memasukkan kuenya ke dalam oven.
Aya yang kesal pergi ke kulkas. Matanya seketika berbinar melihat es krim di sana.
“Aya ... jangan makan banyak. Kamu mudah sakit kalau makan es banyak. Kalau Ken tahu kamu kena marah,” kata Arin mengingatkan putrinya.
“Iya, ini makannya Cuma satu,” jawabnya. Ia terkikik, “Tapi, tambah satu dan satu lagi sampai balik satu lagi, hihihi.”
Ia mengambil es krim rasa stroberi dan coklat. Seketika Aya menghabiskan lima bungkus es krim.
“Eummm ....” Ia mengusap perutnya. Lalu, bibirnya tersenyum lebar.
Aya mengabaikan peringatan Arin. Seolah ia lupa amarah yang diluapkan Ken kepadanya tempo hari karena makan es krim banyak.
Tubuh Aya menegang kaku. Dengan radius satu meter dirinya. Ken berdiri dengan tatapan datarnya.
“Ken,” lirih Aya.
***
TBC.
Tinggalkan Vote dan komentar agar Author bisa up crazy. 😁❣️Jangan lupa follow❣️
Tidak ada yang bisa Aya lakukan selain menangis di dalam kamarnya. Sore itu, saat kehadiran Ken yang tak terduga semua menjadi kacau.
Bukan amarah Ken yang membuat Aya menangis. Justru laki-laki itu acuh dan berbalik meninggalkannya.
“Hikss huwaaa Ken!” tangisnya pecah. Sejak saat itu pula ia tidak melihat batang hidung Ken.
Tisu sudah berserakah di lantai karena ingusnya. Matanya tanpa henti menangis. Sudah seminggu ia tidak bertemu Ken.
“Gue ke rumah Ken saja kali. Siapa tahu sudah balik,” ujarnya. Ia bangkit dan melihat pantulan dirinya di cermin.
“Hiks kok muka gue jadi jelek,” kesalnya. Sekali-kali terdengar sisa isak tangisnya.
Aya pergi kamar mandi dan mencuci mukanya. Lalu, ia mematut dirinya di depan meja rias.
“Gue kalau dikasih pilihan antara didiamkan sama dimarahi Ken, gue memilih dimarahi,” gumamnya. Ia bermonolog dengan dirinya sendiri.
Aya memakai baju kaus lengan pendek dengan celana jeans panjang. Tak lupa sepatu putih Fila miliknya.
“Ma,” panggilnya. Arin meneloh.
“Mau ke mana?” tanya Arin karena putrinya terus mengurung diri setelah pulang dari kampus.
“Mau ke rumah Ken,” jawabnya dengan bibir melengkung ke bawah. Arin mendekati putrinya.
“Makanya dengerin kata Ken. Kamu, sih, ngenyel dibilangin,” ujar Arin sambil membelai kepala Aya.
“Terus Aya bagaimana sudah telanjur habisin,” sebel Aya kepada dirinya sendiri. Ingin rasanya ia memuntahkan es krim yang dimakannya.
“Sudah, nanti keburu malam. Kamu berangkat titip salam sama Tante Dewi,” ujar Arin.
“Enggak sekalian sama Om Tian?” tanya Aya.
“Kamu enggak tahu, ya. Om Tian sama Papa kamu lagi keluar kota,” jelas Arin.
Keluarga mereka sangat dekat. Membuat Ken dan Aya leluasa terus bersama. Bahkan Aya sering dimanja oleh kedua orang tua Ken dan sebaliknya Ken sering dimanja orang tua Aya.
Kadang Aya merasa mereka seperti anak yang tertukar. Namun, ia hanya menyimpan pemikirannya, tanpa mengatakannya. Sudah pasti kepalanya dijitak Ken.
“Assalamualaikum, Ma.” Aya meraih tangan Arin.
“Wa Alaikumsalam.”
***
Aya masuk ke dalam rumah Ken setelah mengucapkan salam. Tak ada tanda-tanda orang. Ia ke belakang dan benar saja di sana Tante Dewi sedang duduk bersantai ria.
“Tante!” Dewi menoleh. Ia tersenyum hangat melihat Aya.
“Ya Allah, Aya. Kamu kok baru main ke sini lagi?” tanya Dewi sambil memeluk sebentar Aya.
Aya duduk dan menyimpan tasnya. Bibirnya sudah mengerucut. Siap melaporkan kalau Ken mengabaikannya.
“Ken tuh, Tan. Dia mengabaikan chat Aya, telepon Aya. Semuanya,” adunya dengan sedih.
“Loh, kok bisa? Kalian berantem?” Aya mengangguk dan menggeleng membuat Dewi kebingungan.
“Lalu?” Akhirnya cerita Aya mengalir tanpa ada yang dilebihkan dan dikurangi.
Dewi terkikik geli. Ia mengusap surai Aya. Putranya memang sedikit over protektif kepada Aya.
“Ken sayang sama kamu. Makanya dia marah kalau kamu makan es krim banyak-banyak. Tahu sendiri, ‘kan, bagaimana paniknya dia saat kamu deman tinggi?” Aya tersenyum tipis. Ia mengingat Ken begitu panik mendapatinya deman.
Bahkan laki-laki itu ngotot membawanya ke rumah sakit. Lalu, sikap over protektifnya berimbas kepada Dokter dan Suster di sana.
Telat sedikit saja datang, maka Ken dengan suara dingin lengkap dengan tatapan tajam andalannya. Membuat Dokter ketar-ketir sendiri.
“Iya, Aya ngaku salah,” ucapnya dengan lesu, “lalu, ke mana, Ken? Aku ke kantornya juga tidak ada.”
“Dia ke Bogor. Hari ini sudah pulang. Mungkin tengah malam baru sampai,” ujar Dewi.
“Ya, gak ketemu, dong, Tante,” lesu Aya.
Meski kecewa Aya tetap sedikit tenang. Ken sudah pulang dan dia akan membuatkan Ken kue kesukaan pria itu.
Mendadak wajahnya muram. Ia tidak tahu memasak kue kesukaan Ken.
“Kenapa?” tanya Dewi menyadari raut wajah Aya semakin muram seperti benang kusut.
“Aya mau buat kue brownis kesukaan Ken. Aya enggak tahu buatnya.” Matanya memelas. Akhirnya Dewi mengajak Aya ke dapur dan memasak.
Sesekali Aya bertanya bahan-bahan yang dimasukkan Dewi ke dalam mangkok. Sampai kuenya jadi dan da pulang karena takut Ibunya khawatir.
“Makasih, ya Tante,” ujarnya dan memeluk Dewi sebelum pulang ke rumahnya.
***
Di siang hari yang begitu panas. Aya duduk mematung di kursinya. Ken sudah pulang dan dia bahagia.
Melihat pria itu di depan dan mengajar seperti biasa. Namun, yang membuat ia masam sendiri adalah perkataan Ken selanjutnya.
“Tugas kalian kumpul di depan. Yang tidak mengerjakan saya berikan hukuman,” perintahnya dengan tegas.
Jleb. Aya meneguk ludahnya sendiri. Tugas sialan itu, ia lupa mengerjakannya. Ia menautkan tangannya.
“Duh, Keeennnn,” rengeknya dalam hati.
“Aliya Atma Wijaya, di mana tugas kamu?” tanya Ken menatap lurus ke arahnya. Sontak Aya menjadi pusat perhatian.
Aya merutuki sikapnya yang gugup. Harusnya dia biasa saja karena tahu Ken adalah sahabatnya. Meski Ken menjadi dosennya juga.
“Engggg ....” Aya merutuki otaknya yang lalot. Ia bingung mencari alasan.
“Ikut ke ruangan saya.” Ken menatap Aya tajam. Aya pasrah. Ia mengekori Ken.
Ceklek.
“Duduk.” Aya seperti kucing yang habis dipukul kepalanya. Ia menurut tanpa bantahan.
“Tulis 10 lembar ucapan minta maaf.” Aya mengangkat wajahnya. Menatap tak percaya pada Ken.
Ken hanya balas menatap Aya dengan datar. “Apa yang kamu tunggu. Saya akan menghukum mahasiswi saya jika tidak mengerjakan tugas,” ujar Ken dingin.
Aya tidak pernah melihat Ken seperti ini. Berkata dingin kepadanya dan formal di saat hanya mereka berdua.
Aya takut. Ia dengan gemetar mengambil pulpen dan menulis kata maaf sampai 10 lembar itu penuh.
Tangannya pegal. Belum sampai dua lembar ia tulis. Sejak tadi ia menunduk. Sengaja rambutnya ia biarkan menutupi sebagian wajahnya.
Ia menghalau air matanya. Sebentar lagi runtuh. Tes—ia menangis.
Ken sendiri menatap Aya dengan tatapan tak terbaca. Perlahan mengembuskan napas.
“Masih mau makan banyak es krim?” tanyanya.
Aya mengangkat wajahnya. Membiarkan Ken tahu jika ia menangis, meski Ken memang sudah tahu.
“Ken,” lirih Aya. Bibirnya bergetar. Dia kira Ken benar-benar menghukumnya karena tugas, ternyata karena es krim.
“Kemarilah,” pinta Ken. Aya bangkit dan berjalan ke arah Ken. Sampai di depan Ken, tubuhnya masuk ke dalam pelukan hangat Ken.
Tangisnya kembali pecah. Rindu pelukan dari Ken. Segala tentang Ken akan dirindukan Aya ketika ia melewatkan hari tak melihat Ken.
“Maaf,” cicitnya.
***
TBC
Setelah menangis perut Aya meronta untuk diisi. Dengan sabar Ken membelikan makanan untuk Aya.
Ia sendiri merokok seperti biasa. Tidak makan karena dia sudah kenyang.
“Nanti habis pulang dari sini gue mau ke rumah lo,” ujar Aya disela-sela makannya.
“Iya.” Ken menatap Aya yang begitu lahap. Bibirnya tersenyum simpul. Kalau ia ingat Aya masih kecil dan sekarang sudah dewasa. Meski masih labil.
“Kemarin di depan rumah lo itu ada tetangga baru,” kata Aya. Matanya melirik Ken.
Karena pada hakikatnya Ken orangnya cuek dia malah tidak tahu dan cuek, “Biarin.”
“Idih, cewek loh, Ken,” cibir Aya.
“Mau cewek atau cowok, gue enggak peduli,” ujar Ken dan menyandarkan tubuhnya di sofa.
Aya memutar sedikit tubuhnya dan menatap Ken, “Rumput tetangga lebih hijau.”
Platak!
“Aww ... sakitttt,” rengeknya. Ken menjitak kepalanya.Ken akan menjitak Aya jika merasa ucapan gadis itu tak boleh diucapakan.
“Tahu dari mana kata-kata itu? Lo, ya, urusan cinta nomor 1 kalau pelajaran nomor 2. Gua kagak mau tahu, lo selesaikan nanti tugas lo,” ujar Ken tegas.
Bibir Aya mengerucut sebal. “Dasar Dosen killer,” cibirnya.
“Gua dengar, Aya,” sahut Ken.
Aya melanjutkan makannya. Hubungan persahabatan mereka tidak ada yang tahu. Aya tidak mau ada yang mengira nilainya tinggi karena Ken memalsukannya.
Meski ia memang meminta Ken untuk mengajarinya, tetap saja gadis keras kepala ini merasa itu usahanya sendiri.
***
Aya dan Ken tiba di rumah Ken. Gadis itu menyelonong masuk. Tanpa menunggu sang pemilik rumah.
“Tante!” pekiknya dan memeluk Dewi dari belakang.
“Kamu baru pulang, Sayang?” Aya mengangguk dan menatap Dewi dengan tatapan bingung.
“Tante mau ke mana?” tanyanya.
“Tante mau jenguk anak teman Tante. Katanya dia kecelakaan,” ujar Dewi. Ia kemudian pamit pada Aya dan Ken.
“Sini Ken.” Ken pasrah ditarik Aya. Sejujurnya dia lelah. Pulang dari Bogor, dia bukan istirahat malah ke kampus mengajar.
“Duduk dulu,” perintah Aya. Dia mengacir ke kulkas dan mengeluarkan brownis.
“Jengg ... jeng ... tara ... heheeh ini kue brownis kesukaan Pak Kenan Rahardian,” goda Aya membuat Ken mengulum senyum.
Ken melahap kue brownis di depannya, “Enak.”
“Iya, dong. Yang buatkan Aliya Atma Wijaya,” kata Aya dengan sombong.
Ken mencibir, “Tapi, rasanya kayak buatan Mama.”
“Ish, Tante Cuma bantuin.” Ken angkat tangan. Bakal susah menang lawan Aya.
Ting-tong.
Ken menyerit. Ibunya baru saja keluar. Apakah lupa sesuatu dan kalau pun Ibunya tidak akan repot menekan bel berkali-kali.
“Gua ke depan,” ujar Ken.
Aya mengekor di belakang Ken. Saat Ken membuka pintu. Seorang gadis berdiri di sana.
“Wanita cantik,” batin Aya. Matanya mulai menatap setiap pahatan wajah tamu Ken.
“Cari siapa?” tanya Ken tanpa basa-basi. Khas Ken sekali. Aya menyiku Ken. Dia tersenyum sopan ke arah wanita yang memegang nampan.
“Ini bawa kue,” ujarnya, “aku dan keluargaku baru pindah kemarin.”
“Terima kasih,” ujar Aya dan menerimanya, “nama kamu siapa? Aku Aliya Atma Wijaya, panggil Aya saja.” Aya memang cukup ramah.
“Namaku Dinar Ariza,” ujarnya sambil menyunggingkan senyum.
Mata Dinar menatap pria di depannya yang terlihat enggang berkenalan. “Ken,” ujar Ken singkat, padat dan jelas.
Dinar terlihat kecewa melihat tetangganya dingin. Sebelum pergi, ia melempar senyum kepada Aya.
“Kebiasaan, ramah dikit, Ken. Kita dapat kue,” omel Aya. Ia mendahului Ken masuk.
Ken kembali ke tempat duduknya dan menikmati brownis buatan Aya. Dahi Aya mengerut. Ken terlihat sama sekali tidak mau mencoba kue Dinar.
“Kuenya gak mau dimakan?” tanya Aya.
Ken menatap Aya sebal, “Ini gua makan kue, Aya.”
Aya ingin membalas ucapan Ken, tetapi ponselnya berdering. Ia menunjukkan kepada Ken nama mamanya.
“Halo, Assalamualaikum, Ma.”
“ ....”
“Ini lagi sama Ken.”
“ ....”
“Iya, habis makan kue kita ke situ.”
“ ....”
“Wa Alaikumsalam.”
Aya menyimpan ponselnya. Matanya menatap serius Ken. “Ken, bokap sama nyokap lo di rumah. Katanya kita makan malam bareng semua,” terang Aya.
“Ya, sudah. Gua mandi dulu.” Ken berjalan ke kamarnya. Ia butuh mandi sebelum ke rumah Aya.
Selang beberapa menit, Ken turun. Berbeda sekali penampilan Ken jika dia mengajar dan bersantai seperti sekarang.
Hanya memakai celana selutut dan kaus hitam. Tidak lupa dengan jaket bomber hitamnya.
“Yuk,” ajaknya kepada Aya. Sepanjang jalan Aya tidak pernah berhenti bercerita.
***
Orang tua Ken dan Aya saling mengobrol sambil menunggu Aya. Gadis itu mengacir izin mandi. Setelahnya, dia turun dengan piamanya.
Aya duduk di samping Ken. Lalu, Ken diminta pimpin baca doa makan.
“Pelan-pelan makannya,” tegur Ken. Dia mengusap bibir Aya dengan jempolnya.
“Iya,” sahut Aya cuek.
“Ken, umur kamu sudah berapa?” tanya Dewi kepada putranya.
“Tahun ini 28, Ma. Sudah mau masuk 29 tahun,” jawab Ken.
“Ken enggak ada rencana buat menikah?” tanya Arin. Ken berdehem saat pembahasan ternyata mengarah ke masa depannya. Aya berhenti mengunyah.
“Aku belum mikir ke sana, Tante. Lagian umur 28 juga tidak buruk,” imbuh Ken.
Ia tidak memiliki kekasih. Terakhir ia pacaran saat ia menyelesaikan S2-nya. Itu juga hanya bertahan dua bulan. Pacarnya cemburu kepada Aya. Untuk apa juga dia terburu-buru menikah? Ia menikmati kesendiriannya.
“Kamu harus menikah Ken. Umur kamu memang tidak masalah, tetapi Papa sama Mama kamu sudah semakin tua. Kami ingin melihat masa depan kamu,” ujar Tian kepada putranya.
Ken menatap papanya datar, “Papa sama Mama enggak kebelet ingin cucu, ‘kan?”
Jangan sampai alasan yang sering digunakan Ibu-ibu untuk menjodohkan putra dan putri mereka ingin cucu.
“Bukan, Nak. Papa sama Mama kamu cuma mau melihat kamu menikah,” sanggah Tian.
Mendadak selera makan Aya hilang. Mendengar Ken ingin menikah saja, ia sudah kehilangan selera makan.
“Kalau Ken menikah, Aya bagaimana?” tanyanya. Bibirnya sudah cemberut. Ken menoleh kepada Aya. Hampir lupa jika ada Aya di sampingnya.
“Loh, Aya tetap sama Ken. Cuma Ken harus tetap jalani hidupnya juga, Sayang. Kamu juga pasti ke depannya bakal menikah. Kalian punya kehidupan masing-masing,” ujar Arin kepada putrinya.
“Lo mau menikah Ken?” tanya Aya diangguki Ken. Ingin rasanya Aya menjitak kepala Ken.
“Aya enggak rela,” ujar Aya dan menyimpan sendoknya. Ia baru mau pergi, tetapi Ken menahannya.
“Pertanyaan lo idiot. Sama kayak otak lo. Semua orang tentu mau menikah, termasuk gua. Tapi, bukan sekarang,” ujar Ken membuat Aya kembali duduk.
“Tapi, nikah juga, ‘kan pada akhirnya?!” kesal Aya.
“Iyalah. Namanya mau menambah penduduk Indonesia,” balas Ken santai. Para orang tua memerhatikan mereka.
“Tega banget, sih, Ken. Lo enggak nikah saja kadang cuekin gue demi kertas-kertas lo. Bagaimana kalau sudah nikah?” Aya tanpa sadar sudah menarik baju Ken. Mulai merengek tidak mau Ken menikah.
Atma berdehem, “Ekhm, kalau Aya tidak mau Ken menikah dengan wanita lain. Memangnya Aya juga tidak mau menikah?” Tanpa ragu gadis itu mengangguk.
Pletak!
“Aw, sakittt,” rengeknya. Ken menatap sinis Aya. Kalau ngomong suka enggak dicerna dulu.
“Enggak bisa, dong, Sayang. Kalau Aya enggak mau Ken sama wanita lain, Tante Dewi sama Om Tian kasihan. Mereka mau lihat Ken menikah,” ujar Atma lembut.
Aya menghela napas. Mencoba membuat otaknya yang tak seberapa kapasitasnya berpikir. Untuk sesaat ia menyesal membuat otaknya santai-santai selama ini.
Kini ia tidak bisa berkutik. “Aya boleh nikah sama Ken?” tanyanya polos membuat Ken menahan napas.
Dewi dan Arin saling memandang dan melempar senyum. Ini bagian rencana mereka.
“Tanya Kennya, dong. Mau enggak sama Aya,” timpal Arin.
“Ken mau enggak menikah sama Aya?” tanya dengan nada rendah. Dia seperti minta izin makan es krim kepada Ken. Lengkap dengan mata memelasnya.
***
TBC.
Terima kasih menyempatkan membaca dan memberi jejak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!