Mova And Mr.CEO
"Kamu ini mau bekerja atau kemana sih?" Mova menjatuhkan tubuhnya ke kursi, melewati sahabtanya yang berkacak pinggang dengan tatapan berang.
"Tentu saja kerja." Mova membuka laptopnya. "Apa menurutmu aku kelihatan ingin ke pesta eh?"
"Kau bukan ingin ke pesta tapi ke taman kanak-kanak," suara Elin naik satu oktaf. Kepalanya mendadak migrain. Gadis dengan rambut diikat dua dihadapannya tersebut sudah berusia 20 tahun, namun gayanya entah kenapa selalu berkebalikan dengan usianya.
"Apa yang salah?" Mova melirik Elinnya dengan dahi mengerenyit.
"Tentu saja kuncir duamu dan warna pakaianmu. Semuanya norak!" teriak Elin membangunkan rekan-rekannya untuk ikut menatap aneh pada Mova.
"Kamu sudah 20 tahun, tidak pantas berkuncir dua dan berpakaian serba pink. Oke, itu tidak akan salah jika wajahmu imut seperti hamseter. Sayangnya wajahmu itu menjijikan seperti tikus comberan, Mova!" Kalimat sarkas Elin mengundang tawa dari para rekan kerjanya. Mova memutar tubuh pada laptopnya. Sudah biasa, pikirnya.
"Teruslah berpura-pura tuli sampai kau dibully habis-habisan oleh mereka." Elin kembali ke kubikelnya dengan perasaan kesal. Katakan saja kalimatnya kasar, tapi disebalik itu dia hanya tidak ingin Mova menjadi bahan hinaan divisi Keuangan. Divisi Pemasaran mungkin sama-sama merasakan jijik dengan gaya Mova, tapi mereka sudah disihir oleh kebaikan hati Mova.
Namun tidak dengan divisi keuangan yang didominasi oleh orang-orang kasta atas itu. Belum lagi perempuan berpakaian ketat dengan belahan dada rendah dan sikap sok bossy-an alias wakil Manajer Keuangan tersebut.Hobbynya setiap hari menjahili, menghina dan membuat malu Mova.
"Gadis tolol!" umpat Elin tertelan kekesalannya lagi.
"Dia ingin membantumu."
Mova mendongak, gadis berambut pirang sebahu ia dapati. Namanya Helen, perempuan kedua yang paling dekat dengan Mova setelah Elin. Perawakannya yang lembut terimplementasikan dari cara berpakaiannya yang elegan.
"Jadi, aku harus apa?" Mova terjebak frustasi. "Aku memang seperti ini, bahkan jika aku berubah seperti yang mereka mau aku hanya membuat diriku merasa suram."
"Apa ini berarti kamu senang dibully terus?"
"Tentu saja tidak," sambar Mova. Dia benci saat rekan wanita yang lain mentertawainya dengan jahat. Dia benci Wakil Manjer Divisi Keuangan yang melabelinya idiot.
"Kalau begitu berubah lah." Helen menydorokan sebuah kertas berukuran 9×6 cm. "Aku mendapat diskon di salon hari ini. Kamu bisa mengambil kesempatan ini untuk bersinar."
Mova menerima kertas tersebut dengan perasaan bingung. "Terimakasih," katanya pada akhirnya. Tidak boleh menolak rezeki, itu yang ia pelajari dari mamanya.
"Santai saja." Helen menepuk bahunya sekali, lalu melenggang pergi.
"Apa aku kelihatan benar-benar idiot?" Mova meletakkan kertas tadi di meja, mengambil ponselnya untuk berkaca sebagai gantinya.
Apa yang aneh, pikirnya. Bahkan kuncir duanya rendah, tidak tinggi seperti anak-anak TK. Dia memang memiliki jerawat berat di wajahnya, tapi dia tidak percaya itu akan menjadi masalah dengan caranya berpakaian. Apapun warna kulitnya, dia rasa dia bebas memakai warna apapun. Termasuk pink.
"Lagipula ini pink soft," gumamanya.
"Meneliti kejelekanmu, nona?"
"Aaaaaaaaa."
Hansen menarik tubuhnya cepat dari wajah Mova. Sengaja ia mengejutkan gadis itu dengan langsung mengukungnya dari belakang. Sayang telinganya malah terancam budek oleh suara tinggi gadis tersebut.
"Kenapa kau bisa disini?" Mova memicing tajam pria di sampingnya. Rapi dengan balutan jas kerjanya.
"Kenapa tidak? Hakku lebih besar darimu."
Mova mencibir kesombongan Hansen dalam hati. Jika dia mengatakannya dengan nyata, ia jamin dirinya sudah tidak ada lagi di Seantinel Corp. Seperti yang kalian duga, orang-orang dengan pangkat tertinggi memiliki kuasa untuk berbuat apa saja.
"Cepat ke ruangan bos." Hansen menarik tanpa perasaan hidung Mova, menyandarkan gadis itu dari umpatannya.
"Sakit tahu," dia mengomel. Hatinya panas tidak memiliki keberanian membalas Hansen kembali.
"Siapa suruh kau melamun," kata Hansen menyalahkan. "Dasar idiot! Cepat sana!"
"Ada urusan apa sih?" Mova bangkit, mengemas buku keramatnya bersama ponsel dan pena.
Hansen tersenyum miring. "Mungkin kamu ingin dipecat."
"Enak saja, kinerjaku selalu bagus tahu." Yup, inilah kelebihan Mova yang membuat Seantinel Corp terpaksa mempertahankannya. Kinerjanya bagus, terutama analisa pemasarannya. Dalam beberapa bulan kedepan, meski tidak senang Hansen yakin Mova bisa naik pangkat.
"Itu hanya menurutmu. Siapa tahu menurut bos kau hanya seperti lembu yang tidak berotak."
"Aku doakan kau mendapat karma kilat hari ini." Mova memeluk bukunya, mengambil langkah meninggalkan ruang pemasaran. Dengan Hansen yang mengekori dari belakang. Seperti Elin, dia juga tidak habis pikir dengan gaun pink yang Mova kenakan. Belum lagi ikat dua gadis itu, sepatu pinknya jangan lupakan. Yang menyebalkan lagi buku, gagang kacamata, softcase ponsel dan penanya juga berwarna pink.
"Sampai kapan kau akan memakai pink?" Hansen bertanya jengah, sembari mensejajarkan langkahnya pada Mova.
"Sampai kau berhenti memakai warna hitam." Hansen mendelik. Tidak mungkin dia berhenti memakai warna hitam, itu satu-satunya warna yang identik dengan laki-laki. Lagipula warna jasnya peraturan dari kantor.
"Jangan aneh! Ini memang dress code kantor, memangnya sepertimu. Setiap hari pink, sampai-sampai aku muak dengan wajahmu."
"Mau kau muak atau tidak aku tidak peduli " Mova menjulurkan lidahnya.
"Tentu saja kau harus peduli." Hansen menyugar rambutnya, kebetulan Mova meliriknya. Ia pun segera mengedipkan sebelah matanya menggoda. "Aku tampan, kau harus berusaha masuk kualifikasiku."
"Daripada memenuhi kualifikasimu, lebih baik aku menjadi jomblo seumur hidup."
"Jangan sombong, nona." Hansen mendorong pelan dahi Mova. "Sebentar lagi kau pasti akan memohon-mohon untuk seorang kekasih."
"Kalau tidak?" tantang Mova.
"Aku akan melemparmu ke Pluto," ancam Hansen.
Mulut Mova ingin melancarkan bantahan, sayang keduanya sudah sampai di ruang pertemuan. "Kukira kita akan ke ruangannya yang super mewah itu." Mova mendesah kecewa. Bukan rahasia umum, ruangan bos memang favorit seluruh karyawan. Mewah, besar dan nyaman.
"Kira-kira kapan aku bisa mendapatkan seperti itu?"
"Mungkin setelah kau mati," sarkas Hansen mendorong pintu besar di hadapan mereka.
"Kenapa kau tidak mengetuk?" omel Mova bersembunyi di balik badan besar Hansen. Kalau dimarahi, setidaknya bukan dia yang pertama.
"Seperti perintahmu, gadis norak sudah disini." Hansen menarik Mova dari persembunyian.
"Sial," gadis itu merutuki kejahilan Hansen. Lihat saja nanti, dia pasti akan membalasnya.
"Duduk!"
Punggung Mova mengiggil segera dengan suara sedingin Antartika tersebut. Ia manjatuhkan bokongnya ke kursi empuk dengan menebak-nebak kemungkinan yang terjadi.
"Presentasikan analisa pemasaran terakhir." Raven Seantinel menarik pandangan dari ponselnya, berpindah pada perempuan serba pink di hadapannya.
"Laporan itu sudah saya berikan pada manajer pemasaran, pak." Mova menjawab sopan.
"Dia sedang berlibur ke Hawai."
Apa? Mova melotot secara spontan mendengar fakta tersebut. "Saya akan memanggilkan wakilnya kalau begitu, Pak."
Mova baru akan berdiri ketika suara dingin Raven menginterupsi lagi,"duduk!"
Hansen terkikik melihat perempuan itu kembali duduk dengan kaku. "Aku dengar kau tokoh utama di sana. Kau pasti bisa menjelaskannya, bukan?" Hansen memperjelas kesengsaraan Mova.
"Kau tidak perlu meletakkan tanda tanya, dia memang harus melakukannya." Raven menyatukan dua tangannya di depan dada. Manik hitamnya yang setajam belati menghunus keberanian Mova untuk mengatakan tidak.
"Aku bukan pria sabar." Suara Raven rendah dan berbahaya. Mova yang menyayangi nyawanya langsung saja membuka buku keramatnya.
Ah, untung saja dia punya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
Zizan Murod
Baru nyimak, Thor
2023-01-27
0
deisy isak
🍒
2021-07-16
0
Selviana
mampir juga di novel aku yaitu MENANTU PRIA.
2021-06-24
0