08:30
Mova sudah duduk manis di samping Raven. Hari ini keduanya akan bertemu salah satu investor Amerika untuk membicarakan kerjasama.
Pertemuan akan dimulai pukul 09:00, namun Raven memilih hadir lebih dulu. Dia sesekali memeriksa berkas yang telah diinput ke dalam notebooknya, sementara itu Mova masih mendumel kesal.
"Kau kenapa?" tanya Raven akhirnya peka.
Mova menolehkan wajah kesalnya. Bibirnya tidak mengatakan apa-apa, namun dua matanya yang menatap tidak suka menjadi jawaban segalanya.
"Oh soal tadi," kata Raven sama sekali tidak merasa bersalah.
"Kau lupa? Aku bosmu." Itu berarti apa yang dikatakan oleh Raven adalah perintah.
"Benar," sahut Mova. "Kau bosku. Tapi tidak berarti kalau kau boleh mengatur cara berpakaianku."
Raven tidak membalas. Ia kembali pada layar notebooknya.
"Ih." Mova membuka notebooknya kesal. Jika tidak berpikir gajinya yang besar, dia tidak akan mau bertahan.
"Apa jadwalku setelah ini?"
Aku-kamu, sok dekat sekali pikir Mova. Padahal sebelum ini mereka terbiasa memakai saya-anda.Lah dia juga. Semenjak dia tahu Raven adalah bocah yang suka mengganggunya dulu, Mova jadi kehilangan rasa hormatnya. Tiba-tiba saja dia jadi punya keberanian untuk berbicara dengan nada tinggi pada pria itu.
"Menghadiri acara pelelangan di kediaman Xerox corp," balas Mova setelah membaca jadwal di layar notebooknya.
"Temani aku."
"Hah?" Mova menolehkan kepala. Bibirnya terbuka dengan tak percaya.
"Kurasa kau mendengarnya," kata Raven tidak mau mengulang.
"Tidak! Tidak," tolak Mova. "Aku tidak mau. Acara seperti itu pasti khusus untuk orang-orang kaya. Aku tida..."
"Aku tidak menerima bantahan," potong Raven.
"Tidak pokoknya," kukuh Mova. Lagipula Raven kan bisa membawa Jenfira atau mungkin Samara.
Raven tidak berkomentar. Membiarkan Mova mendumel tidak jelas di sampingnya.
Drettt
Ponsel Raven bergetar. Dia mengambilnya segera dari saku celana.
Mova yang penasaran menoleh untuk melihat keseriusan di wajah tampan itu. Tidak lama wajah tersebut berubah gelap.
"Pertemuannya di batalkan," kata Raven setelah panggilan berakhir.
"Eh?"
"Ayo." Raven berdiri, mengancingkan kembali jasanya.
Mova buru-buru mengambil notebook Raven, menyimpan dalam tempat lalu membawanya di depan dada bersama notebook miliknya.
"Harusnya mereka mengkonfirmasi lebih awal," gerutu Mova seraya mengekori tubuh besar Raven.
"Aku sampai harus memakai dress sialan begini," omelnya.
Raven hanya menjadi pendengar saja. Jujur dia juga kesal. Dia sengaja datang lebih awal untuk menyambut mereka, tahu-tahunya mereka malah tidak datang dengan beberapa alasan yang menurutnya bukanlah alasan berat.
...****...
"Eh?" Mova menoleh ke jendela. Mobil yang mereka kendarai berhenti di pinggiran pantai. Tentu saja atas keinginan pengemudinya yakni Raven.
"Ayo turun." Raven membuka pintu dan turun, kemudian diikuti oleh Mova.
"Kenapa ke pantai, Pak?"
"Segala pakai pak. Bukankah beberapa hari terakhir ini kamu terus memanggilku dengan kata 'kau'," sindir Raven melangkah lebih dulu.
"Biar kelihatan sopan dong," balas Mova setengah tertawa. Ia mensejajarkan cepat kakinya pada Raven yang terus berjalan menuju pantai.
"Harusnya bapak bilang dong tadi kalau mau ke pantai," gerutu Mova kemudian. Masalahnya dia sudah lama ingin ke pantai, hanya saja terus tidak sempat karena jadwalnya yang padat. Jika tahu hari ini akan ke pantai, dia pasti akan mempersiapkan tikar untuk piknik. Makanan dan juga baju ganti untuk berenang.
"Kenapa?" tanya Raven.
"Saya kan mau berenang."
"Kalau begitu, sana berenang. Aku akan duduk disini saja." Raven mendudukan tubuh di pasir pantai yang putih bersih. Di atas kepalanya, pohon kepala menjulang tinggi. Daun-daunya berkibar tertiup angin, menambah angin sejuk yang menerpa tubuh.
"Gak bawa baju ganti," kata Mova ikut mendudukkan tubuh di samping Raven. Notebook di tangannya menjadi perhatian Raven.
"Kenapa kau membawanya? Itu kan bisa ditinggalkan di mobil."
Mova melirik notebook yang ia peluk. "Takut dicuri atuh," katanya.
Ada-ada saja.
Raven melempar pandangan ke deburan ombak. Ini hari kerja, pengunjung sangat sedikit. Alhasil matanya menjadi semakin puas menikmati keindahan pantai tanpa gangguan orang yang berlalu lalang.
"Kau bilang mau berenang," ujar Raven tanpa mengalihkan pandangannya dari deburan ombak yang menghantam pantai.
"Kan sudah aku bilang aku tidak membawa baju ganti."
"Beli sana!" Raven merogoh sakunya. Menarik dompet untuk mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan.
Dia lalu menyerahkannya pada Mova. Mova menolaknya pelan.
"Tidak perlu. Aku sudah tidak mood lagi."
Raven mengangkat alisnya. "Kenapa?"
"Banyak tanya ih!" cibir Mova. "Lagipula ini masih jam kerja. Lain kali saja aku berenangnya."
Ah hampir saja Raven pikir dia alasan Mova tidak mood berenang. "Kalau begitu, pergilah beli minuman."
Mova menerima uang yang Raven sodorkan. Ia berdiri setelahnya. Langkah kecilnya yang bergerak menjauh menjadi perhatian Raven.
Tidak disangka. Gadis yang dulu selalu ia ganggu masih serapuh dulu. Memang senyumnya sering mengembang, tapi Raven tahu keadaan hatinya tidak semanis senyum tersebut.
...***...
Mova membawa dua cup es buah dalam kresek yang ia pegang kembali ke tempat dimana ia dan Raven duduk. Ternyata pria itu sudah tidak duduk di sana. Saat Mova memendarkan mata, dia menemukan Raven tengah berjalan di pinggiran pantai.
Mova pun ikut bergerak ke sana. Matanya turun untuk memperhatikan bahwa sepatu Raven telah dilepas. Lalu matanya naik lagi untuk melihat ketenangan di wajah pria itu.
"Nih." Mova menyodorkan kreseknya.
Raven pun menoleh. Ia meraih satu cup es buah dari dalam kresek tersebut.
"Mau ikut?" tawar Raven seraya membuka tutup cup es buahnya.
"Boleh." Mova melepaskan sepatu hillsnya.
"Harusnya tadi kau meninggalkannya," ujar Raven melihat Mova kesusahan memegang notebook dan minumannya.
"Jangan banyak bacot!Kasih solusi dong," balas Mova kesal.
Raven tertawa kecil. Kemudian tangan besarnya meraih kedua notebook yang dipegang oleh Mova. Dia kemudian pergi ke salah satu stand minuman dan menitipkan notebook-nya di sana.
Saat Raven kembali. Mova sudah berjalan ke dalam air. Tanpa memikirkan nasib celana panjangnya, Raven mengikuti Mova.
"Kau menikmatinya?"
Mova mengangguk." Damai banget," tambahnya. "Apalagi mataharinya masih belum tinggi begini."
Mova menyuapkan beberapa buah ke dalam mulutnya. Diikuti oleh Raven kemudian. Similar angin menyejukkan keduanya.
"Aku sudah lama tidak ke pantai," curhat Raven.
"Kenapa? Apa kau tidak punya uang untuk pergi ke pantai, Sir?" ledek Mova.
"Tidak punya waktu lebih tepatnya."
"Salah sendiri, gila kerja!" cibir Mova.
Raven tidak membantah. Dia memang gila kerja. Menggadaikan banyak waktu hanya untuk urusan kantor. Bahkan dia jarang bertemu keluarganya karena hal tersebut.
"Apakah kau tidak takut stress?" tanya Mova kemudian.
"Stress?"
"Iya," kata Mova membenarkan. "Orang yang terlalu gila kerja kan otaknya jarang istirahat. Bayangkan saja otakmu seperti sebuah ponsel yang dinyalakan terus-menerus. Pasti akan panas dan sebelum waktunya akan rusak. Bisa-bisa malah meledak lagi."
"Lagipula kenapa kau terlalu ambisius kerja? Seakan-akan kau harus memberi makan 10 orang anak saja," lanjut Mova tertawa.
"Benar juga," sambut Raven. Mata coklatnya bergerak jauh ke laut yang terbentang. "Aku terbiasa kerja keras sejak aku berumur 20. Sedikit saja kinerjaku turun, aku merasa perusahaan juga akan terkena dampaknya. Oleh karena itu aku tidak pernah membiarkan kinerjaku turun sedikitpun, agar perusahaan selalu stabil. Ternyata semakin lama, aku semakin sadar hal itu tidak membuat perusahaanku menjadi naik."
"Akhirnya sekitar umur 25 tahun aku sadar. Aku perlu kinerja yang terus meningkat untuk membuat perusahaan terus menanjak. Dan sejak itulah aku gila kerja, tanpa memikirkan istirahat. Namun seperti yang kau bilang.."
Raven mengembalikan pandangannya pada Mova. "Jika aku terus seperti itu, kemungkinan besar tubuh dan otaku akan meledak. Sayangnya setiap aku berpikir untuk santai, aku selalu diserang ketakutan bahwa perusahaanku akan hancur. Bagaimana itu?"
"Kau tahu?" tanya Mova. "Aku juga punya ketakutan yang yang sama setiap kali aku ingin bersantai. Ketakutanku bahkan lebih berdasar darimu."
Raven mendengarkan seksama dengan menatap intens wajah Mova di sebelahnya.
"Aku tidak punya orang tua lagi. Aku harus membiayai diriku sendiri. Sedikit saja aku bersantai, aku tidak bisa menjamin apa aku bisa makan lagi. Tapi, semakin aku memikirkan itu aku sadar kesehatanku dipertaruhkan."
"Dulu ibuku selalu bilang, hidup hanya sekali. Aku baru memaknainya setelah mereka pergi. Aku tidak bisa mempertaruhkan hidup untuk terus bekerja seperti mesin. Aku butuh istirahat untuk merasakan kebahagiaan. Dan kesempatan itu hanya sekali. Jika saat ini aku mempertaruhkan diri untuk terus bekerja, aku mungkin tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk bersantai lagi. Ingat! Hidup hanya sekali."
Mova mengakhirinya dengan tawa kecil. "Tapi tetap saja kita tidak boleh terlena untuk bersantai terus."
"Kau benar." Raven ikut tersenyum. Dia dapat merasakan dirinya menjadi tercerahkan oleh kalimat Mova.
"Memangnya kau tidak pernah benar-benar bersantai?"
Raven mengangkat sebelah alisnya.
"Seperti pergi ke club-club malam begitu," kata Mova memperjelas.
"Kenapa kau pikir aku bersantai dengan cara begitu?" Raven balik bertanya.
"Dari yang aku amati kebanyakan orang memilih hal itu sebagai opsi untuk bersantai."
"Yah terkadang aku memang ke sana untuk melepas penat," jujur Raven. "Sesekali berjudi juga."
"Apa kau pernah menang?"
"Kenapa? Kau ingin mendapat bagian?" ledek Raven.
"Apa tertulis di wajahku kalau aku butuh itu eh?" Mova melempar tatapan galak pada Raven. Dan pria itu pun menggeleng seraya tertawa kecil.
Sekarang dia tahu satu hal.
Mova akan berubah menjadi menarik ketika galak.
Ya, itu dia.
...***...
...Jejak bagi yang suka ya...
...See ya di next chap...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments