Raven baru keluar dari ruangan VIP ketika melihat kerumunan kaum hawa yang besar. Jantungnya berdegup kencang. Satu yang ada di kepalanya saat ini, Mova.
"Jelek!" Gadis pirang bernama Alin masih asik mengumpat Mova yang telah terduduk di lantai.
"Beraninya kau menganggu kekasihku." Di sampingnya berdiri seorang cowok tinggi dengan kacamata yang bertengger di hidungnya.
"Dasar tidak tahu diri!" Salah seorang pengunjung ikut mencibir.
Tidak ada kata yang keluar dari bibir Mova.
"Cepat minta maaf!" suruh Alin. "Lihat jas ke...."
Belum sempat kalimatnya sempurna, tubuh Alin telah terdorong. Jika saja dia tidak cepat berpegangan dia sudah jatuh ke lantai.
Raven sang pelaku langsung berlutut. Dia mengangkat Mova dalam gendongannya ala bridal style. Segera saja mereka terkejut. Tidak menyangka gadis itu benar-benar ada hubungannya dengan Raven Seantinel.
Raven membawa Mova keluar segera. Gerlad yang menunggu di pintu utama buru-buru membukakan pintu mobil.
"Kau baik-baik saja?" Raven menangkup wajah Mova begitu keduanya telah di dalam mobil.
Mova mengangguk. Tapi pandangannya masih kosong.
Beberapa menit yang lalu.
Mova sibuk membelah kerumunan untuk keluar. Tanpa sengaja dia menabrak seorang pria.
"Aaaa.." Tubuh Mova limpung, namun segera ditangkap oleh pria tersebut. Sayang hal itu membuat gelas wine pria tersebut pecah. Tumpahannya mengenai jas pria itu pula.
Alin di sebrang yang menunggu kedatangan kekasihnya emosi melihat itu. Lebih emosi lagi ketika dia melihat itu adalah Mova, perempuan jelek yang mengesalkan di SMA dulu. Kenapa coba kekasihnya bisa berurusan dengan perempuan itu?
Langsung saja dia mendorong tubuh Mova.
"Apa yang kau lakukan, jelek?" Bentakan Alin langsung memanggil kerumunan.
Mova mendongak, ingin membalas tapi melihat wajah Alin dia jadi teringat akan semua bullyan yang dia terima dulu.
Dia pun terdiam. Membuat Alin kian kesal dan menumpahkan wine ke kepalanya.
"Dulu atau sekarang, tetap saja kau tidak tahu sopan santun. Masih menjijikan pula. Kenapa kau bisa masuk ke sini?"
"Aku bersama Raven."
"Raven?" Alin tertawa terbahak-bahak. "Pria yang kau kejar itu? Kau pergi bersamanya? Kau tidak sedang berhalusinasi kan, Nona?"
Mova tersudutkan. Ingin membuat pembelaan lagi, namun tanpa keberadaan Raven dia yakin semuanya akan sia-sia.
Mova menggeleng-gelengkan kepala, mengusir kejadian beberapa lalu yang terekam di kepalanya.
"Aku baik-baik saja." Mova menurunkan pelan tangan Raven. Pria itu memindahkannya untuk menarik tubuh Mova ke dalam pelukannya.
"Maaf," katanya.
Mova tidak membalas. Dia merilekskan tubuhnya dalam pelukan Raven. Hanya itu sekarang yang bisa memenangkannya.
...***...
"Lain kali jangan biarkan dia sendiri."
Mova memutar bola matanya jengah. Jika dulu dia akan jingkrak-jingkrak senang mendapatkan hal ini dari Raven, namun sekarang alih-alih begitu, dia malah merasa mual.
"Baik, Tuan."
"Pergi ke bawah, minta pelayan membawakan minuman dingin."
Gerald mengangguk. Kemudian dia pergi meninggalkan ruangan.
Raven sekarang mendesah berat. Dia cukup merasa bersalah mengingat keadaan Mova tadi. Ia menoleh pada Mova, gadis itu berantai di sofa. Matanya sudah tidak terlihat kosong, namun mengibarkan kekesalan yang berlimpah.
"Kenapa?" Raven duduk di sebelah Mova. Tangannya naik menelusuri surai Mova.
Mova menepisnya kasar. Tidak suka mendapat sentuhan dari Raven.
"Kau marah?"
"Untuk apa aku marah?" Mova balik bertanya.
"Aku meninggalkanmu." Raven mengakui kesalahannya. "Padahal aku berjanji akan segera kembali."
Mova tertawa. "Santai saja, Pak. Dulu bahkan kau malah ikut bergabung dengannya untuk menindasku. Ingat, saat kalian menumpahkan isi tempat sampah ke kepalaku? Tawamu, Samara dan Alin adalah yang paling keras."
Wajar saja. Alin adalah sahabat Samara dan Raven adalah kekasih Samara. Keduanya bersatu dibawah perintah Samara untuk menindas Mova.
Raven terdiam. Kepalanya memutar semua perlakuan buruknya pada Mova. Sekarang dia menyesal setiap mengingatnya.
"Maaf," ujar Raven. Tangannya bergerak menggenggam jemari Mova. "Aku bersumpah tidak akan melakukannya lagi."
"Terserahmu," ketus Mova. Dia menepis tangan Raven lalu bergerak ke meja rias untuk mengambil tasnya.
"Aku pulang," katanya seraya berjalan melewati Raven.
Raven buru-buru mengejar langkah Mova. Dia mencekal lengan Mova lembut. "Menginap lah."
"Kau gila? Aku ini punya rumah." Yah meskipun rumah ibu tirinya sih.
Mendengar bentakan Mova, Raven pun pasrah. "Ya sudah, mari aku antar."
Mova tidak menolak. Karena jujur dia sendiri pun tidak tahu harus pulang naik apa.
...****...
Saat keduanya sampai, kediaman Maverick telah sepi. Mova mendorong pelan pintu mobil. "Terimakasih," katanya.
Raven ikut mendorong pintunya. Dia mengelilingi mobil untuk mengantar Mova hingga ke depan gerbang.
"Besok aku akan menjemputmu."
Mova menghela nafas. "Kalau kau hanya kasihan, berikan saja aku uang kompensasi. Tidak perlu selebay itu."
Kalimat sarkas Mova membuat hati Raven menciut. Sampai Mova hilang di balik pagar dia tidak bisa mengatakan apa-apa.
Ada bara api di dalam sana. Dia tidak mau menyulut api ke dalamnya dengan menentang Mova.
Namun meski demikian, bara itu tetap ada. Ini pertama kalinya bagi seorang Raven diperlakukan kasar oleh kaum hawa. Dia merasa terhina dan kesal di saat bersamaan. Tapi karena ini Mova, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Kenapa? Karena dia sadar kejahatannya pada Mova lebih besar dari ini.
Di sisi lain.
Saat Mova masuk, Samara dan Kamara masih menonton TV. Keduanya terlihat sangat santai sekali. Mova iri segera melihatnya. Dia ingin sesantai itu. Sayang hidupnya tidak akan pernah begitu.
"Jangan lupa gosok gaunku," kata Kamara tanpa menoleh sedikitpun untuk melihat keadaan saudarinya tersebut.
"Punyaku juga," sambung Samara.
"Oh iya, bersihkan kamarku. Aku mau tidur." Kamara laknat. Padahal dia sedang santai, apa susahnya membersihkan kamar sendiri. Cih, sengaja menyiksa Mova.
"Baik." Daripada berdebat dan berujung dirinya dimaki habis-habisan, Mova memilih setuju. Lagipula bisa dibilang itu imbalan atas kebaikan keluarga Maverick yang masih mengizinkannya tinggal.
"Mova!" Seruan Samara membuat Mova membatalkan langkah.
"Iya?"
Samara terlihat menoleh padanya. "Apa Raven sudah punya kekasih?"
Mova mengedikan bahu. "Aku tidak tahu."
"Yah sudah kuduga, kau memang tidak pernah sedekat itu dengan Raven."
"Kau bilang apa?"
"Tidak ada." Samara memunggunginya lagi.
Mova pun melanjutkan langkah. "Jangan bilang Alin melaporkan kejadian tadi pada Samara," batinnya.
Ah, sial. Hidupnya makin ribet saja.
Mova menghabiskan sekitar 3 jam untuk membersihkan kamar dan menggosok baju. Dia bahkan mengabaikan jam yang sudah menunjukkan pukul 2 pagi.
Setelah semuanya selesai barulah dia tidur. Dia semakin yakin dia harus segera keluar dari rumah Maverick. Dia tidak mau terus menjadi babu seperti ini. Sungguh melelahkan. Lebih menyakitkan malah karena hasil kerjanya tidak pernah dihargai. Padahal terimakasih tidak semahal berlian.
...***...
Jangan berharap banyak sama cerita ini😌
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments