"Siapa yang mau menjadi pacarmu hah?" Teriakannya menggema kemana-mana. Meledakan siswa-siswi lain untuk tertawa.
Perempuan di depannya hanya diam dengan kepala tertunduk. Sudut matanya telah memanas. Namun dia mati-matian mencoba untuk menahannya.
"Tapi kemaren kamu bilang..."
"Aku bilang apa?" Bentakan keras memotong cepat.
"Kamu bertanya apa aku mau menjadi pacarmu."
"Terus? Kau pikir aku serius?" Tawanya pecah, diikuti oleh tawa-tawa mengejek dari yang lain.
"Kau tidak serius?" Perempuan itu mengangkat kepala, matanya telah berkaca-kaca.
"Menurutmu?" Dia kembali bertanya sinis. "Apa ada seorang cowok yang bisa menyukai perempuan sepertimu?"
"Dekil, jelek, miskin dan tidak punya adap." Dia menjabarkan segalanya.
"Pasti ada." Air matanya luruh bersama nyeri yang menyerang hatinya. Di hadapan semua murid, dia dipermalukan. "Suatu hari nanti pasti ada yang akan mencintaiku dan menyukaiku apa adanya."
"Hei bangun sudah siang!" Lagi gelak tawa bersahut-sahutan. "Mana mungkin ada yang mau menerimamu, jelek."
"Aven..." Perempuan itu terisak. Mulai tidak tahan dengan ejekan-ejekan dan tatapan merendahkan yang tertuju padanya.
"Berniat menggantikan Samara?Tidak tahu malu sekali." Aven mengisyaratkan dua temannya untuk mendekat.
Byur
Dua ember kecil air yang bercampur telur busuk terlempar pada wajahnya. Air matanya meluruh cepat. Sangat deras hingga dia tidak bisa lagi melihat wajah jahat di depannya.
...***...
Tok Tok Tok
Ketukan di pintu membuat Raven membuka matanya. "Masuk," katanya tanpa berniat menegakkan tubuh.
Mova melangkah masuk. Wajahnya sudah terlihat kembali fresh dengan lipstik berwarna cerah.
"Sudah selesai makannya?"
"Sudah, Bos." Mova mengiringnya dengan senyum.
"Kemari lah."
Mau apaan nih orang?
Mova tidak bisa mencegah kepalanya untuk tidak berpikiran buruk. Terlebih tatapan lembut yang diberikan oleh Raven. Itu bahkan lebih mengerikan daripada gajinya yang dipotong.
"Sini."
Mova yang telah tepat di depan meja diisyaratkan oleh Raven untuk ke kursinya. Mova yang mencoba positive thinking menurut tanpa banyak bertanya.
Sebenarnya sempat terbayang di kepalanya sebuah adegan erotis seperti di komik-komik dewasa yang pernah ia baca. Tapi itu jelas tidak mungkin. Dia bahkan tidak punya daya tarik untuk Raven.
Tangan kokoh Raven langsung menarik Mova hingga terjatuh di pangkuannya. Mova reflek mendorong dada Raven dengan kedua tangannya. Menahan agar tubuhnya tidak bersentuhan dengan tubuh atletis yang berbalut kemeja putih tersebut.
Raven tidak memberi kesempatan hal itu bertahan karena kedua tangan kokohnya telah membawa pinggang ramping Mova mendekat padanya. Tangan-tangan itu kemudian naik untuk mengelus punggung Mova. Memaksa Mova untuk rileks akan tubuh keduanya yang saling bertemu.
Pria ini pasti salah minum obat, begitulah yang ada di pikiran Mova.
"Bos...."
Pintu terkuak, suara yang akan berlanjut terhenti begitu saja.
"Maaf." Sanders menutup kembali pintu.
Kesialan macam apa ini?
Pemandangan ekhem antara Raven dan Mova membuatnya panas karena menahan lava yang akan meledak. Diam-diam ternyata dua insan itu main yang tidak-tidak di ruangan. Ah, Sanders merasa dikhianati saja oleh tampang baik Mova. Dan satu lagi, kenapa pria super wow seperti Raven bisa terjebak ekhem-ekhem dengan perempuan seperti Mova.
Argh
Sanders kesal dibuatnya. Ingin segera meluapkan amarahnya.
Ting
Pintu lift terbuka. Hansen berjalan keluar dari sana sembari menjilati setangkai permen.
Kebetulan sekali.
"Sini!" Sanders melambaikan tangan, menepi ke salah satu dinding.
"Apa?" Hansen bertanya seraya mendekat.
"Noh temen lo main ekhem-ekhem di ruangannya," adu Sanders geram.
"Temen gue?" Hansen berpikir sesaat. Kretak-krutuk yang terdengar akibat dari permen yang gigi Hansen hancurkan. "Mova?" katanya sedikit tak yakin.
"Nah dia pasangannya, tapi teman yang gue maksud itu Si Raven."
Loh iya. Hansen tertawa menyadari dirinya yang telah salah mengklaim teman.
"Malah ketawa. Kau tidak greget eh?"
"Greget?"
"Mereka ekhem-ekhem di dalam sana," tukas Sanders masih kesal.
"Ekhem-ekhem bagaimana?"
Sanders melirik kanan dan kiri, takut-takut ada telinga lain. Setelah merasa aman, dia membisikkan ke telinga Hansen. "Mova duduk di pangkuan Raven. Kau tahu? Tangan pria gila itu di pinggang Mova dan juga mereka berpelukan. Sepertinya mereka akan mulai begituan."
Ukhuk
Hansen memukul-mukul dadanya cepat. Pecahan permen tangkainya tertelan tanpa sempat menjadi kecil. Sesaknya bukan main.
Dengan masih tersedak-tersedak Hansen berjalan pergi menuju ruangan Raven. Dia harus melihat buktinya segera.
"Bos..." Hansen menarik pintu kuat tanpa mengetuk. Eh dia tersenyum canggung mendapati dua pasang mata dari sisi yang berbeda menatapnya bingung.
Sialan Si Sanders. Gue di-prank rupanya.
"Kenapa kau kemari?" Dari nadanya jelas Raven terganggu akan kedatangan Hansen.
"Tahu tuh. Main masuk tanpa diketuk. Dasar cenayang!" tambah Mova nyinyir.
Hansen tercengir. Kemudian tanpa melihat ekspresi Raven dia menghampiri meja Mova.
"Tara." Dia memamerkan dua permen tangkai di tangannya.
"Norak!" cibir Mova.
"Ciee marah." Hansen malah duduk di kursi yang tersedia. "Tadi aku hanya bercanda loh," lanjutnya.
"Bodo amat!" ketus Mova.
"Yah jangan gitu dong." Seperti anak kecil, Hansen berdiri di samping Mova. Tangannya menarik-narik ujung baju Mova.
Plak
Mova menampar tangan Hansen. Tidak sopan sekali.
"Maaf." Hansen menangkup kedua tangannya.
"Tidak ada lagi stok maaf. Kamu sudah terlalu sering mengejekku." Mova tidak mau melihat sama sekali ekspresi sendu Hansen. Kenapa? Karena bukannya iba, Mova malah ngidam untuk menamparnya.
"Kali ini saja," mohon Hansen lagi. "Aku janji, lain kali tidak akan mengulanginya lagi."
"Aku tidak percaya."
"Mova..." Hansen mulai merengek. Tanpa sengaja membuat telinga Raven panas.
"HEI!" teriaknya.
Baik Mova maupun Hansen otomatis menoleh.
"KELUAR KAU, HAN!" Lagi, Raven berteriak.
"Sana!" Mova mendorong-dorong tubuh Hansen.
Hansen menoleh pada Mova. "Aku akan keluar. Kau mau sesuatu?"
Yup inilah saatnya.
Mova tersenyum jahat sekilas, kemudian kembali memasang tampang merajuk untuk memprovokasi hati Hansen.
"Aku mau sate."
"Tidak-tidak." Hansen menggeleng cepat. Dia paling benci warung sate. Asapnya kemana-mana. Dalam sekejap tubuhnya bisa bau asap. Mana bercampur pula dengan bau kambing dan sebagainya. Dih ogah.
"Pergi sana!" Mova kembali sibuk dengan keyboard komputernya.
"Baiklah, iya sate." Daripada Mova terus merajuk, lebih baik Hansen cari aman.
Mova tersenyum sumringah. "Awas kalau kau beli dari restauran," ancam Mova.
Wajah Hansen jadi masam karena memang itu yang ada di rencananya. "Iya iya."
Hansen bersiap pergi. Namun sebelum kakinya melangkah, ia menyodorkan paksa tangan kanannya. "Salam dulu," katanya.
Mova dumel-dumel tidak jelas. Mengutuk keanehan Hansen sekalian.
Tidak mau lebih lama menyaksikan bibir Mova yang berkerut-kerut membuat Hansen langsung meraih tangan Mova. Hansen lalu menabrakkan sedikit kuat tangannya ke dahi Mova.
"Sakit tahu," gerutu Mova seraya mengelusi dahinya.
Hansen tidak peduli. Langsung melangkah keluar.
Setelah pintu tertutup kembali. Mova meraih pena di mejanya, melemparnya ke seberang meja.
"Aw.." Raven meraih kepalanya yang terbentur pena kuat.
"Kau..." Matanya berkilat marah. Dia beranjak cepat dari kursi kebesarannya.
"Mau apa kau?" Mova cepat-cepat memundurkan kursinya. Itu bahkan sama sekali tidak berguna.
Raven menyeringai seraya menundukkan tubuh. Tangan besarnya kemudian menarik kursi putar Mova. Senyum di wajahnya membuat Mova merinding. Dalam sekejap keduanya pun sudah saling berpandangan. Raven memajukan wajahnya hingga hidungnya menabrak hidung Mova.
Secepat degupan jantungnya yang datang, Mova menarik tubuhnya. Namun tangan Raven sudah lebih dulu menarik tengkuknya, memaksa wajahnya untuk bertabrakan dengan wajah tampan Raven.
"Mova aku lupa..."
Baik Raven maupun Mova langsung segera menjauhkan tubuh. Berpura-pura sibuk dengan aktifitas masing-masing. Mova dengan komputernya dan Raven pura-pura mengkoreksi apa yang Mova ketik.
"Ayam, kambing atau sapi?" tanya Hansen bertahan di ambang pintu.
"Semuanya," balas Mova.
"Oke." Hansen menutup pintu.
Raven beraksi cepat. Ia menarik dagu Mova.
"Satu lagi..." Pintu terbuka lagi.
Sial!
Raven menarik lagi tubuhnya, pura-pura sibuk mengamati komputer Mova.
"Pakai lontong atau tidak?"
"Pakai," jawab Mova masih menetralkan degupan jantungnya. Dalam hati dia bersyukur akan kedatangan Hansen. Jika tidak dia pasti sudah diapa-apain oleh Raven.
Kepedean sekali kamu, Mova.
"Apa lagi?" Raven akhirnya membentak karena Hansen tidak kunjung pergi.
"Tidak ada. Aku hanya mencatat pesanan Mova." Hansen menyodorkan layar ponselnya. Ada catatan di sana.
"Aku pergi." Hansen menyempatkan diri melambai, kemudian dia menarik pintu hingga tertutup rapat.
Mova dapat mendengar helaan berat keluar dari mulut Raven. Jelas ada kecewa di dalamnya, tapi Mova tidak berani membuat terjemahan final. Takut dirinya salah.
"Apa?" bentak Raven melempar pandangan pada Mova yang ketahuan tengah menatapinya. "Kau pikir kau selamat?" Pertanyaan Raven dibalas oleh wajah masam Mova.
"Tidak."
"Bagus." Raven menarik sudut bibirnya. "Nanti malam kita lanjutkan."
APA?
Telinga Mova pasti kemasukan air got.
Jelas tidak mungkin seorang Raven Seantinel setertarik itu padanya sampai memastikan akan melanjutkannya lagi.
...***...
Jangan lupa vote yoo
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
Anita Jenius
Salam kenal ya kak..
10 like mendarat buat kk.
Lanjut up ya.
2021-05-09
0
im_ha
10 like untukmu ya Thor. mampir juga di karyaku DOAKU BERBEDA DENGAN DOAMU 💪
2021-05-06
0