Aven. Ingat sekali Mova akan sosok itu, sosok anak laki-laki yang selalu menghinanya habis-habisan. Kerap mendorong Mova untuk alasan kecil karena ia tidak menuruti permintaan Samara. Mova ingat sosok itu. Sosok yang pernah ia cap sebagai iblis dan mungkin akan tetap berlanjut hingga sekarang.
Apa yang paling tidak bisa dipercaya bahwa sosok itu adalah bosnya. Kenapa harus Raven Seantinel? Bodohnya juga saat kecil tidak mengambil tahu info sang iblis. No boraks, jika Mova tahu bosnya adalah iblis masa lalunya. Ia tidak akan mau bekerja di Seantinel, berapapun bayaranya.
Kebodohan lainya, kenapa dia tidak mengenali Aven lewat wajahnya itu. Ah, pasti karena ia jarang bertemu Raven di kantor.
"Bukanya tadi kau lapar?"
Mova tidak menoleh. Dari gelombang dingin yang menyerang punggungnya saja dia bisa tahu. Pria itu Raven Seantinel, sang iblis.
"Nah!" Raven menyodorkan sekotak pizza pada gadis yang fokus meneliti bulan yang tergantung di langit.
"Aku sudah makan." Kepala Mova benar-benar kaku untuk menoleh. Wajahnya menjadi mengeras seiring masa lalunya yang berputar di benaknya.
"Kapan?" Punggung Raven tersandar pada pagar besi balkon. Dua matanya mengelana di wajah Mova.
Upik abu ini. Dia ingat secara jelas. Gadis yang melakukan 50 persen pekerjaan rumah keluarga Maverick di masa lalu yang sepertinya berkelanjutan hingga sekarang. Gadis yang hina habis-habisan pula karena fisiknya yang buruk. Hampir beratus kali ia membentak kasar Mova untuk membuat Samara senang.
Jika ditanya siapa Mova? Dia akan menjawab dengan lemah gadis yang ia hancurkan hidupnya tanpa alasan.
"Beberapa menit yang lalu." Manik Mova menajam, bulan menjadi sedih melihatnya. Dia tidak salah, namun menerima lampiasan kesal Mova.
"Oh ya, apa itu?" Baru kali ini Raven betah melihat wajah Mova. Di masa lalu sedetik saja dia sudah mengumpat tidak suka.
"Nasi goreng."
Bukan hal luar biasa Raven mendengar ini. Bahkan Mova kecil hanya memakan sisa di piring saudaranya. "Ambilah, kau pasti belum kenyang."
Raven menyodorkan lagi kotak pizza di tangannya, berharap penuh Mova akan menerimanya.
"Aku sudah mengantuk." Mova berpaling tanpa melihat sedikitpun gurat sesal di wajah Raven. Dia menjauh, menaiki anak tangga menuju loteng.
Ya, di sana lah bagiannya.
"Apa yang kau lakukan?" Samara datang sudah dengan pakaian tidurnya. "Aku mencarimu tahu," lapornya manja.
"Kudengar kau menjadi model." Tertarik sekali Raven membahas apa yang telah berubah diantara mereka, termasuk jati diri mereka.
"Ya begitulah." Samara memegang besi pembatas, kepalanya mendongak pada bulan yang indah. "Aku tidak pernah menyangka bisa mendapatkan posisi ini sebenarnya."
"Itu karena kau selalu bekerja keras. " Raven tahu jelas seperti apa sosok Samara Maverick, pekerja keras dan mendekati pemaksa. Apa yang dia inginkan harus menjadi kenyataan, apapun dan bagaimanapun caranya.
"Kau juga." Samara melempar tatapan memuja pada teman masa kecilnya. "Aku tidak menyangka bocah tengil yang hanya tahu bermain bisa berubah menjadi pengusaha terkaya di Asia ini."
"Kau berlebihan, Mara." Raven menyodorokan box pizzanya.
"Pizza? Aku bisa gemuk memakannya."
Raven terkekeh, menarik kembali boxnya. "Kalau begitu biar aku sendiri yang menghabisinya."
"Dan aku akan menonton," sambung Samara dalam kesenangan.
Teman masa kecil, alangkah bahagia bisa bertemu kembali. Menggenggam tangan, mengingat momen yang berhasil dilalui dalam kebahagiaan.
***
"Ada kepala ikan di belakang. Kau bisa membuatnya sup." Nyonya Maverick berlalu setelahnya, menyisakan Mova yang baru menghela nafas. Ia menyeka keringat di dahinya. Memasak di pagi buta untuk orang lain, ah selalu begitu paginya bermulai. Dengan mengurusi orang lain.
"Jadi Tante Reina masih di Inggris?" Samara membuka sarapan dengan pertanyaan.
"Selamanya akan begitu." Raven memotong steaknya kemudian, membiarkan dua bersaudara Samara dan Kamara menatapnya dengan pujaan.
"Kenapa begitu?" sambung Nyonya Maverick.
"Mama senang di sana." Raven membawa potongan steak ke mulutnya. Rasanya lembut dan khas. Beberapa dari yang pernah ia pesan di restauran.
"Siapa yang memasak steak ini?"
"Seperti dugaanmu. Ini buatan Mova, musuh kita." Ada kesenangan luar biasa dalam kalimat Samara. Namun Raven tidak menemukan hal yang sama pada perasaanya.
"Aku rasa bulan depan mama harus memasukkannya kursus masakan Perancis," lanjut Kamara. "Itu akan sangat memanjakan lidah setiap hari."
"Ah, buang-buang uang." Nyonya Maverick memotong steaknya menjadi beberapa bagian yang besar. "Lebih baik aku membelikannya buku saja."
"Ya, mama benar. Dia juga cukup pintar untuk mengimplementasikan apa yang ia baca." Kamara melirik ponselnya yang berkedip-kedip. Itu sudah dari beberapa menit lalu, namun ia pikir tidak penting. Jadi ia tidak bisa mengabaikannya. Nama Roan tertera di sana.
"Roan menelfon, kau pasti tidak mengangkat panggilannya."
Mendengar perkataan saudarinya, Samara buru-buru meraih ponselnya. Jari lentiknya menari dengan santai sementara dahinya merengut.
"Siapa?" Raven satu-satunya yang tidak mengerti disitu.
"Teman Samara," sambar Nyonya Maverick segera. "Diantara banyaknya pria, kurasa hanya dia yang benar-benar bisa dipercaya untuk berteman dengan Samara."
"Kau tahu sendiri dia seperti apa dalam memilih teman." Kamara menyambung dengan malas.
"Aku hanya takut jika mereka tidak berguna untukku dan malah menjadi duri." Samara meletakan kembali ponselnya. "Ayo, coba ini."
Samara mendorong lagi sepiring kentang bakar beraroma rempah khas kepada Revan. "Kau ingat? Dulu kita sampai kotor untuk mengumpulkan kentang demi ini."
Bibir Revan tertarik untuk sebuah senyum atas momen masa kecilnya. "Tentu saja aku ingat. Apalagi saat kau menangis karena mengira akan menjadi dekil permanen oleh tanah yang yang menempel di kulitmu."
"Momen yang sangat menyebalkan," komentar Samara.
Tap Tap Tap
Derap langkah kaki yang menderu membuat keempatnya menoleh ke sumber suara. Salah satu pengawal Keluarga Maverick datang.
"Pagi, nyonya." Pria besar dalam balutan kaos hitam itu membungkuk hormat.
"Pagi. Ada apa?" Mata Nyonya Maverick menyorot sinis pengawalnya tersebut.
"Pesanan anda sampai."
"Woaaaaa." Nyonya Maverick melayang dalam kebahagiaan, ia meninggalkan meja makan cepat. Diikuti oleh Kamara.
"Jangan ambil punyaku," teriak Samara tidak mau ketinggalan.
Ya, itu sudah biasa. Raven tidak perlu membuang tenaga untuk terkejut. Tiba-tiba kepalanya teringat akan Mova. Dimana gadis itu? Jawabannya sudah jelas di dapur, tapi entah kenapa ia masih penasaran untuk memastikannya. Raven meletakakn garpu dan sendoknya dalam gerakan lembut sebelum memantapkan langkah menuju dapur keluarga Maverick.
Besar, itu yang menggambarkan dapur keluarga Maverick. Beraneka ragam jenis makanan dan minuman ada di sana, namun Mova tidak akan pernah menyentuh satupun tanpa izin Nyonya Maverick.
Ada rindu yang meluap di hatinya mengingat ayahnya. Saat sosok tegas dan bijaksana itu ada, sedetikpun dia tidak akan sengsara. Semuanya kebutuhannya terjamin. Apapun yang inginkan terkabul.
Mova menghela nafas pendek. Tidak ada guanya mengungkit masa lalu. Seberapapun berharganya itu, hidupnya di masa sekarang jelas tidak akan lagi sama. Ia menyendok lagi nasi dari piringnya. Bersyukur ada Raven, nyonya Maeveric jadi memasak banyak nasi yang berujung bisa ia ambil lebih banyak dari porsi biasanya.
"Kau belum bersiap-siap?"
"Apa kau buta? Aku sedang makan," sarkas Mova. Mengambil suapan besar menuju mulutnya. Berdebah, kenapa Raven harus menghampirinya.
"Aku hanya bertanya." Raven mendudukkan dirinya tanpa izin di samping Mova yang kusam. "Kau tidak perlu marah seperti ini."
"Apa yang aku lakukan, itu hakku. Termasuk memarahimu sekalipun. Bahkan meski kau bos, kau tidak bisa membatasi hakku." Mova bangkit, persetanan dengan nasinya yang belum habis. Ia membawanya ke washbasin. Mencuci secepat kilat, lalu melangkah keluar dari dapur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments