"Ganti pakaianmu!"
Mova baru menghela nafas lega, namun kembali dihadapkan pada masalah baru. Raven menyandarkan punggung lebarnya pada kursi. Membiarkan matanya menscan tubuh Mova dari atas ke bawah sementara gadis itu mengumpulkan keberanian untuk membantah atau sekadar bertanya kenapa.
"Saya rasa tidak ada yang salah dengan pakaian saya."
"Itu menurut anda, bukan saya." Raven memutuskan harapan Mova dalam sekali tarikan nafas. "Apa kamu keberatan?"
"Ya," batin Mova beteriak.
"Saya akan mempertimbangkannya," kata Mova pada akhirnya.
"Ini bukan negosiasi, Nona." Raven menyerang bersama tatapan berangnya. Ia tidak suka dibantah. Terlebih oleh seseorang yang berada di bawahnya.
"Baik, Pak. Saya mengerti." Mova memundurkan kursinya. Pokoknya dia harus segera keluar dari ruangan tersebut. Itulah visinya dalam waktu singkat ini.
"Sekarang!" tekan Raven.
"Maksud, Bapak?" Mova bukannya tidak mengerti, dia hanya mencoba tidak mengerti. Berharap ada kemungkinan lain yang bisa membantunya.
Raven melirik jam yang melingkar di tangannya. "3 jam," katanya. "Saya pikir itu cukup untukmu pergi ke mall dan berganti baju."
"Saya tidak punya uang." Seketika Mova teringat. "Ini belum waktunya gajian," tambahnya.
"Lain kali saja ya, Pak." Harapan ia tuangkan ke penuh dalam kalimatnya tersebut. Lah emangnya Raven peduli?
"Beli semuanya!" titah Raven menydorokan kartunya.
Blackcard? Ya Tuhan Mova ingin pingsan. Setelah dia mendengar dari Elin baru kali ini bisa memegangnya.
"Tapi..." Mova ingin menyerahkan kembali kartu di tanganya, namun mata iblis Raven membungkam mulutnya.
"Kamu ingin jadi pengangguran segera?"
Jawabannya tentu saja tidak.
"Saya permisi, pak." Mova berlari meninggalkan ruangan. Urusan kartu nanti saja, yang penting ia terbebas dari iblis.
"Ah, akhirnya kau melakukannya juga." Hansen meninggalkan jendela. Ketika Mova dan Raven berbincang ia telah mengambil kesempatan untuk menyesap sebatang rokoknya. Niatnya sih ingin menganggu Mova, tapi ia keburu takut diomel Raven dan berujung menjadi pengangguran.
"Aku sudah muak melihatnya setiap hari seperti itu," curhat Hansen. "Ingin rasanya aku menjedotkan kepalanya ke dinding agar sadar. Sayang hatiku terlalu baik," lanjutnya lebay.
"Ngomong-ngomong, kau tidak pernah sepeduli ini dengan karyawan kan?" Hansen memicing curiga pada bosnya yang tengah membolak-balikkan buku keramat Mova. Ia senagaja memintanya tadi untuk menilai kemampuan Mova.
"Aku butuh sekertaris baru." Tanpa berbelit-belit Raven menyampaikan maksudnya.
"Kenapa? Kinerja Jenifera menurun?" Hansen mengukir senyum miring. "Tentu saja, yang dia tahu hanya cara merangkak ke ranjangmu," sambungnya.
"Seperti itulah." Raven menutup bukunya. "Pergi awasi dia, kemudian bawa kembali ke HRD untuk urusan pemindahannya."
"Thank you, my friend." Hansen menepuk-nepuk bahu Raven dalam luapan kegembiraan. "Akhirnya aku bisa libur juga," lanjutnya melangkah menjauhi Raven dengan hati lega.
Plusnya dia bisa mengomentari Mova. Ah, itu kebahagiaan ganda untuknya.
...***...
"Tidak ada warna pink!" Hansen merebut kemeja pink dari tangan Mova, menggantungkannya lagi pada tempat yang seharusnya.
"Kenapa kau yang mengatur?" Mova merutuk, mengambil lagi kemeja pink dari tempatnya.
"Karena aku utusannya." Hansen menyungging senyum jahat. "Kau tidak takut aku laporkan padanya eh?"
"Dia memang meminta aku membeli pakaian, tapi dia tidak mengatakan kalau aku tidak boleh memakai pink." Hansen bungkam. Apa yang diperjelas Mova memang benar.
"Baik, pink. Tapi aku yang memilih." Hansen menarik mundur kerah Mova. Duh hampir saja dia mati kehabisan nafas. Dasar Hansen!
"Aku tidak akan memakainya." Mova bersidekap dada, menghujam punggung Hansen dengan ketidaksukaan.
"Kau akan memakainya," ujar Hansen yakin.
"Tapi kau yang membayarnya."
"Oke," setuju Hansen.
Yang benar saja. Ini diluar ekspektasi Mova. Tapi bagus lah, ia mengulas senyum licik. "Yang itu sepertinya bagus."
Dia menunjuk kemeja pink berlengan panjang dengan pita imut di depan dada. Jika dipadukan rok mini pasti bagus, pikir Hansen.
"Baiklah, ambil."
"Yes." Mova berseru, mengambil kemeja tersebut. "Aku mau yang itu juga."
Dia menunjuk kemeja lain, kali ini tanpa bahu. "Pilihanmu lumayan bagus." Hansen mengambilnya.
Tidak masalah pink. Asalkan tidak sekuno model pakaian Mova saat ini, dia akan mengambilnya. Persetanan dengan uang, dia memiliki lumbung emas untuk digali saat butuh nanti.
"Aku tidak mau rok ini!" Pegawai yang berjaga langsung menyenternya. Mova pura-pura tidak melihat, meski ia sudah terjebak malu dalam hati.
"Kenapa ini sexy." Hansen memberikan tumpukan pakaian kepada kasir yang masih menontoni mereka.
Mova mendumel tidak senang. "Itu kurang bahan."
"Hanya kurang beberapa senti, tidak sampai bolong-bolong seperti Jenifera."
Oke itu tidak bisa dibantah. Namun tetap saja wajah Mova tertekuk dalam. Untung dibayarin, jika tidak dia akan menukar pakaian tersebut secepat kilat. Jika tidak berakhir pada Helen, dia bisa memberikannya pada Elin. Ide bagus, dia belum pernah memberikan hadiah pada dua temanya.
"Jangan coba-coba tidak memakainya," ancam Hansen seakan tahu jalan pikiran Mova. "Akan kuminta kau menggantinya 9 kali lipat."
Udah intinya harus dipakai, pikir Mova menyemangati dirinya.
"Ini pasti akan jelek jika aku memakainya." Mova melanjutkan dumelanya ketika mereka sudah keluar dari mall. Sepenuhnya dia menekan otaknya untuk melupakan banyaknya nol dari barang belanjaannya tadi. Salah Hansen sendiri yang mau membelikannya.
"Bagus kalau kau tahu." Hansen menarik pintu mobilnya, tentu saja dia tidak akan membantu Mova untuk hal tersebut. Jadilah gadis kurus itu menarik pintu dengan susah payah.
"Kalau kau tahu, kenapa tetap membelinya? Buang-buang uang tahu."
Ah, Mova tidak yakin dia akan memakai semua benda tersebut. Lihat, bahkan pegawai yang mengantarkan pakaian ke mobil mereka datang dengan kewalahan. Sepenuhnya dia yakin, dia telah memiliki semua barang yang seharusnya perempuan miliki.
Harusnya dia bahagia, bukan?
"Apa masalahnya? Aku kaya, tidak sepertimu yang bahkan tidak bisa membeli pakaian sendiri." Hansen menyempatkan diri menyodorkan uang tip pada pegawai yang telah memindahkan barang ke bagasinya.
"Aku jadi bingung, sebenarnya kau ini bekerja untuk apa?"
"Tentu saja untuk uang." Mova menarik keluar ponselnya, jam makan siang hampir datang. Dia yakin Elin sedang kebingungan mencarinya.
"Lalu,kau gunakan untuk apa uang itu?"
"Yang pasti tidak untuk mentraktirmu."
"Aku juga tidak butuh traktiranmu."
"Bagus," kata Mova mengakhiri debat mereka.
"Aku akan makan siang terlebih dahulu." Hansen membawa mobilnya menuju utara, dekat tepi pantai ada restauran favoritnya. Makan siang di sana sepertinya akan menyenangkan, pikirnya.
"3 jamku sudah habis. Aku harus kembali ke kantor."
Hansen melirik sekilas jam yang melingkari pergelangan tangannya. "Hanya sebentar," katanya.
"Kalau bos marah, semua salah ada di bahumu."
"Deal."
Dan merekapun berakhir di Restauran seafood bertema pantai. Sepoi angin yang datang dari jendela terbuka menambah kenyamanan keduanya.
"Sepiring Risotto Lobster dan blue ocean soda," pesan Hansen pada waiter berbalut seragam hitam dengan tubuh atletisnya. Ah, restauran tersebut memang pandai memanjakan tamunya. "Kau mau apa?"
"Apapun yang penting dengan nasi." Mova mengulas senyum hingga ke matanya.
"Maaf, pembantuku dari zaman purba." Waiter itu langsung menahan tawa, bahaya jika meledak. Ia bisa dipecat oleh bos apalagi jika perempuan serba pink tersebut mengajukan tuntutan.
"Baiklah, saewoo bokumbob satu dan...."
"Aku mau ini." Mengabaikan hinaan Hansen, Mova menunjuk pada buku menu.
"Ojjingeo Tonggui satu dan air mineral."
"Aku juga mau minuman sepertimu," protes Mova. Bibirnya yang dipoles lipstik orange maju beberapa senti, entah kenapa membuat Hansen tergelitik untuk tersenyum gemas.
"Tidak! Uangku sudah habis karenamu."
"Salah sendiri mau mentraktirku."
"Itu karena aku sudah muak dengan gaya norakmu."
"Apa yang norak? Pink itu warna yang elegan."
"Nih makan nih elegan." Hansen menyentil berkali-kali dahi Mova. Seperti kucing malang, gadis itu mengadu kesakitan.
Aish, tidak ada hari tanpa bullyan, pikirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments