Ting
Raven mengintip layar ponselnya. Jenifera, tertulis dilayar. Dia mengirim foto. Pasti tidak penting. Raven kembali menatap orang-orang di sisi kirinya yang tengah berbicara mengenai pengembangan proyek di beberapa daerah.
Ting
Raven melirik lagi ponselnya. Masih dari Jenifera. Kali ini pesan. "Lihatlah personal asistantmu," begitu yang muncul di notifikasi layar.
Ada apa dengan Mova?
Raven pun mengangkat ponselnya. Ia membuka foto yang Jenifera kirim. Hansen dan Mova duduk bersama.
"Tidak punya etika sekali padahal masih jam kerja," tulis Jenifera lagi.
Benar, tidak punya etika. Raven sudah memintanya tetap di dalam. Terserah dia mau menonton atau tidur, yang jelas tidak boleh keluar. Berani sekali Mova membantahnya.
"Bagimana, Pak?"
Raven terkesiap dari ponselnya. Wajah bingungnya membuat semua orang menghela nafas. Ternyata tidak mendengarkan dari tadi rupanya. Hadeh.
"Kami akan menanamkan modal lagi jika resort di daerah C dibuka," salah satu investor menjelaskannya.
"Daerah C sangat menguntungkan, tapi berbahaya dan memiliki riwayat yang tidak jelas. Untuk saat ini kita fokus pada daerah D." Raven meletakkan dua sikunya ke meja. "Kalian mengancam tidak akan menanamkan modal jika daerah C tidak dibuka, maka silahkan tunggu 10 atau mungkin 20 tahun lagi baru bisa menamakan modal di perusahaanku."
Semuanya saling pandang. Tidak sesuai tebakan mereka. Bagi seberapa bagian perusahaan, investor adalah jantung—sumber kehidupan perusahaan. Tapi tidak bagi Raven. Investor adalah orang yang memohon untuk kerjasama dengannya, bukan orang-orang yang ia mohon untuk melakukan kerjasama.
"Tentang daerah D itu. Seberapa tinggi potensi berkembangnya?"
Akhirnya salah satu investor mengalah. Dia memang harus mengikuti kemauan Raven, bukan dirinya.
"87 persen dan memiliki 50 persen kesempatan untuk bertahan ke masa depan." Karena sudah tidak ada yang berbicara Raven pun menutup perbincangan. "Jika kalian setuju, kita rapat sekali lagi minggu depan sekaligus untuk menandatangani kesepakatan."
Raven mengancingkan jasnya, kemudian menggeser kursi. "Saya pergi lebih dulu. Terimakasih untuk hari ini."
"Ah pria itu. Baru 29 tahun tapi sudah sehebat ini mengintimidasi," keluh salah seorang investor.
"Benar," sahut yang lain. "Kukira dia yang membutuhkan kita, ternyata malah kita yang terlihat membutuhkan dia."
"Sudah-sudah, ayo bubar."
Satu persatu meninggalkan kursi mereka, menyisakan seorang pria saja. Ia mengeluarkan ponsel. "Tidak mempan," laporanya pada orang di sebrang sana.
***
"Hoho, sudah pintar membantah sekarang."
Mova menatap daun pintu. Pria sialan itu. Akhirnya. "Hoho, sudah pintar bermain drama rupanya." Mova mengikuti nada bicara Raven.
"Drama?" Dahi Raven mengerenyit. "Aku memang tampan untuk menjadi aktor. Banyak mendapat tawaran untuk bermain drama panas juga, tapi aku tidak pernah bermain drama satu pun. Kenapa?"
Raven menekan meja Mova dengan dua telapak tangannya. Matanya melurus pada Mova. "Karena aku sudah kaya raya," lanjutnya sombong.
"Dan kau..apa yang tadi aku bilang?"
Mova melipat tangannya. "Apa? Aku tidak mendengar kau bilang apa-apa."
Raven menarik telapaknya dari meja. "Aku bilang jangan keluar ruangan ini. Kenapa kau masih keluar hah? Segala ngobrol berdua bersama Hansen. Ini jam kerja. Meskipun aku tidak memberimu tugas, setidaknya kau pura-pura terlihat bekerja bukan malah keluyuran begitu."
"Raven kemari.." Mova mengisyaratkan Raven untuk mendekat. Pria itu menatap ngeri.
"Kau mau apa?" Raven spontan menutupi dadanya.
Pria gila, pikir Mova.
"Aku mau apa?" Mova mengangkat tasnya. Ia turun dari kursi dan langsung menghajar Raven. "Aku mau membuatmu mati."
"Aww aww.." Raven menghindar. "Kau ini kenapa?"
"Aku kenapa? Kau yang kenapa?" teriak Mova. "Kau bilang aku pergi dengan seorang pria ke hotel pada Hansen. Apa maksudmu hah?"
Raven menyipitkan mata. "Darimana kau tahu aku membohongi Hansen?"
"Kau..." Mova menghantam lagi dada Raven dengan tasnya.
"Hei-hei sakit." Raven mendorong-dorong kepala Mova.
"Sekarang atau dulu sama saja." Mova berhenti menghajar Raven. "Kau selalu ingin namaku tercemar."
Mova kembali ke kursinya dengan wajah tertekuk.
"Mova, aku tidak bermaksud begitu." Raven berjongkok di samping kursi Mova.
"Jadi apa maksudmu? Membuat aku terdengar seperti wanita tidak benar di mata Hansen?"
"Bukan begitu." Raven memegang tangan kiri Mova. "Aku bertanya apa dia pacarmu atau bukan dan dia bilang bukan. Aku tidak percaya karena kelihatannya dia suka denganmu, jadi aku mengarang cerita agar dia cemburu. Tapi ternyata dia tidak cemburu sama sekali. Dia malah bilang "Mova hanya temanku". Begitu katanya."
"Kami memang hanya sebatas teman," kata Mova membenarkan. "Makanya jangan ikut campur hal yang bukan urusanmu."
"Maaf."
"Maaf-maaf? Aku tidak mau memaafkanmu."
"Ya sudah kita anggap impas saja. Kau membuat kesalahan dan aku juga membuat kesalahan. Kita saling memaafkan saja, ya?"
"Aku membuat kesalahan?"
"Iya, kau membantah perintahku. Aku ini bosmu. Jika kau membantah, aku bisa menghukummu semauku. Tapi karena aku juga berbuat kesalahan, aku memafakanmu. Aku baik kan?"
Mova melirik wajah Raven. Lalu mendorong pelan dahinya. "Baik palamu. Iblis sih iya. Sana!" usir Mova.
Raven memegang dahinya dan tersenyum.
"Malah senyum. Sana!" usir Mova kian risih.
"Iya iya." Raven bangkit dan berjalan ke kursinya sendiri. "Galak sekali," dumel Raven tapi dia tersenyum memegangi dahinya.
"Pria sialan."
Raven meluruskan pandangan. Mova masih saja mendumelinya. Ekspresi di wajahnya juga masih kental akan kekesalan. Fix, perempuan itu akan merajuk setelah ini.
"Ya sudah, aku ikut merajuk saja," batin Raven. Toh Mova juga salah. Di jam kerja berduaan dengan Hansen. Apa dia pikir tidak ada yang kesal?
"Mulut sampah!" umpat Mova.
"Mulut manis begini dikatakan sampah," gerutu Raven.
Mova menghunus tajam manik Raven. Segera saja pria itu pura-pura mengetik di laptopnya. Na na na. Dia tidak mengatakan apa-apa. Sungguh.
"Sudah bersalah, tidak mau mengaku pula. Kebiasaan."
"Padahal tadi sudah meminta maaf."
Mova menggebrak mejanya. Raven sampai terlonjak kaget.
"Kau mau kemana?" tanya Raven karena Mova beranjak meninggalkan kursi.
"Bukan urusanmu!"
"Tapi aku mau itu menjadi urusanku," kata Raven sedikit berteriak.
"Gila!" umpat Mova sebelum menghilang dibalik daun pintu.
Raven tertawa panjang kemudian. Lucu sekali melihat si kuncir dua itu marah.
****
Komen yang bijak🌻
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments