"Aku tidak berbohong. Aku dengar sendiri dengan jelas suara serak pria dewasa seperti baru terbangun."
Helen mengibaskan tangan. "Ah, tidak mungkin. Kau pasti salah sambung. Jangan-jangan salah nomor malah."
"Aku tidak berbohong." Hansen mengelus ponselnya. Menunjukkan layar kepada Elin dan Helen bergantian. "Lihat! Satu panggilan untuk Mova."
"Hanya itu?" ejek Elin. "Bagaimana mungkin bisa dikatakan bukti."
"Benar." Helen setuju. "Kalau cuma panggilan telepon tidak ada guna. Kecuali jika kamu merekam pembicaraannya."
"Pokoknya aku tidak berbohong," kata Hansen kukuh. "Aku mendengar jelas suara pria saat menjawab telepon Mova."
Helan dan Elin sama-sama acuh. Mereka tidak percaya ada pria dekat dengan Mova, apalagi sampai menjawab telepon. Hansen pasti salah sambung.
***
Hansen sendiri kesal bukan main. Niatnya ingin mengatakan kebenaran malah disangka penipuan. Enak saja. Telinganya jelas mendengar suara pria semalam yang menjawab telepon Mova. Dari nada serak basahnya Hansen jadi berpikir macam-macam.
Damn!
Ketika hendak naik lift, Hansen melihat Raven keluar dari lift khusus. Ia pun menghampiri cepat.
"Rav.." Hansen memanggil.
Raven menghentikan langkah dan menoleh. "Apa?" tanya dengan wajah lempeng.
"Kau bilang pernah melihat Mova dengan seorang pria."
"Iya, kenapa? Kau pikir aku berbohong. Aku tadi malam bahkan melihat keduanya di berhenti di sebuah hotel."
"Kau bohong!" seru Hansen.
"Apa untungnya aku berbohong?" Benar. Tidak ada untungnya Raven berbohong. Tapi tetap saja Hansen tidak bisa percaya.
"Terus?"
"Aku tidak tahu selanjutnya. Mungkin mereka tidur bersama. Hal wajar untuk hubungan perempuan seumuran dia bukan?"
"Ah Mova tidak mungkin seperti itu." Pokoknya Hansen tidak percaya. Tidak akan. "Tentang pria itu, seperti apa fisiknya?"
"Tinggi, tegap, berjas rapi, sepatunya mengkilap, wajahnya jelas sangat tampan darimu. "
"Berjas? Apa terlihat seperti pria tua?"
"Tidak, terlihat masih muda dan panas. Tipikal pria idaman semua wanita."
Hansen melotot. "Eh bagaimana bisa Mova mempunyai kekasih begitu?" tanya Hansen bermonolog.
Raven mengedikan bahu. Lalu melanjutkan langkahnya yang tertunda. Diam-diam bibirnya tertarik ke atas.
***
Mova mencebik bibir memandangi meja kerja di depanya. Pria itu. Bagiamana bisa dia tidur disampingnya dengan bertelanjang dada. Memang dia tidak melakukan apa-apa. Mova juga yakin Raven tidak mungkin berniat melakukan apa-apa. Tapi tetap saja, tidak sopan tidur seperti itu.
Entah sejak kapan. Mova tidak tahu. Yang pasti ketika dia terbangun di dalam pelukan dada telanjang Raven. Damn!
Mova menjedotkan kepalanya ke meja. Dada bidang, mulus dan keras. Arkh, kepalannya sudah tercemar.
"Morning."
Dan bisa-bisanya Raven dengan santai mengucapkan selamat pagi dengan suara berat nan seraknya. Apa dia tidak tahu Mova menjadi kejang 2 kali lipat.Pria itu pasti memang sengaja menggodanya.
Ting
Mova mengintip layar ponselnya yang menyala.
Nyonya Iblis tertera di layar. Mova meraihnya, membuka isi pesan yang ditulis untuknya.
"Aku tidak peduli kau menghabiskan malam dengan pria manapun, tapi ingat kau masih berhutang padaku."
Hutang lagi. Padahal yang Mova makan dan pakai dari rumah itu semuanya barang bekas. Lagipula rumah itu miliknya, kenapa dia harus membayar karena tinggal di dalamnya.
Nyonya Maverick memang gila. Yang paling Mova benci lagi, Nyonya Maverick tidak pernah mengatakan nominal. Tapi dia meminta Mova terus menjadi babu sepanjang hari. Sengaja menyiksa bukan?
Mova mengetuk jari seraya menatap meja kerja Raven. Dia bilang akan berbincang dengan invesor di cafe depan. Pasti lama. Mova bangkit seraya membawa ponselnya. Ini kesempatannya mengunjungi Elin dan Helen.
Yup benar sekali.
Mova menutup kembali pintu ruangan Raven. Tenang saja, tidak akan ada yang berani menyelinap karena pria itu menggunakan sidik jarinya dan Mova saja.
"Raven hanya menjadikanmu babu, kau jangan besar kepala."
Suara lancang itu. Mova memutar tubuhnya pada porosnya."Siapa yang besar kepala, Nyonya Jenifera?"
Si munafik. Jenifera ingin memusnahkannya cepat, tapi kalau dipikir-pikir. Raven memang tidak mungkin suka pada Mova. Jadi, Mova bukan hal berbahaya untuknya. Tapi dia harus menggertaknya agar tidak keganjenan pada Raven
"Katanya menjadi personal asistant, eh malah membuat kopi doang. Lagipula apa kau buta? Raven sudah punya personal asistant."
"Siapa?" Mova tidak tahu, tapi dia menebak pria tegap dengan wajah datar yang beberapa hari ini mengikuti Raven.
"Gerald, pria yang mengikuti Raven itu. Kau benar-benar tidak terpakai."
"Wait, jika Raven sudah punya personal asistant. Kenapa dia tetap menarik aku menjadi personal asistantnya? Memang aku hanya diminta duduk bersantai dan sesekali membuatkan kopi atau mengambil camilan. Tapi tidakkah kau pikir itu manis? Dia memberikan aku gaji tinggi tapi tidak mau aku bekerja berat."
Jenifer mencengkram map di pelukannya. Wanita jelek ini. Berani sekali mencoba membuatnya iri.
"Meskipun hanya membuat kopi, gajiku lebih tinggi darimu. Yah, aku tidak akan malu dengan perkerjaanku ini." Mova tersenyum penuh kemenangan. Dia melangkah ke depan tanpa melirik wajah memerah Jenifer. Seru sekali merasa lebih tinggi dari wanita itu.
"Tadinya aku pikir akan memperlakukanmu baik, tapi sepertinya sekarang itu tidak akan terjadi."
Mova mendengarnya. Dari awal dia juga tahu Jenifer akan memusuhinya. Jika dia merendah dan mengalah, alih-alih menahan Jenifer dia malah akan dipijak. Melawan jelas adalah cara yang benar.
Mova menekan tombol dan lift pun terbuka. Keluar lah Hansen dari dalamnya.
"Han? Mau ngapain kau disini?"
"Kebetulan sekali." Hansen menarik lengan Mova ke sudut dimana tersedia sofa untuk duduk.
"Kau semalam tidur dengan siapa?"
"Hah?" Jantung Mova berdetak cepat. Darimana Hansen tahu. Apa Raven yang membocorkannya?
"Semalam aku meneleponmu dan ada suara pria yang menjawab."
"Semalam?" Pasti setelah Mova tidur dan Raven yang membalasnya. Ish, kenapa segala diangkat. Harusnya Raven membiarkan saja.
"Iya. Aku mendengarnya jelas. Kau tidur dengan siapa?"
"Tidur?" Mova pura-pura tertawa. "Tentu saja akau tidur sendiri. Soal suara itu, dia temanku. Kami sebelumnya makan di cafe dan dia menjawabnya saat aku ke toilet."
"Suaranya serak basah seperti habis..."
"Kau tidak mempercayaiku? Cih." Mova membuang muka seraya melipat tangan di depan dada.
"Bukan begitu.."
"Iya aku tahu. Aku perempuan murahan, jadi itu yang ada di pikiranmu." Lagi, Mova memotong kalimat Hansen.
"Mova." Hansen menarik lembut jemari Mova. Biar bagaimanapun emosinya tetap kalah jika Mova mengeluarkan jurus merajuknya.
"Tentu saja aku tidak percaya kau aneh-aneh dengan pria itu. Tapi kata Raven dia melihatmu dan seorang pria berhenti di sebuah hotel."
"APA?"
Berani-beraninya Raven mencemari reputasinya. Lihat saja, Mova akan memukul kepalanya.
"Dia mengatakan itu padaku, makanya aku jadi curiga padamu."
"Han, aku peringatkan padamu. Jangan sekali-kali percaya dengan omongan pria gila itu. Paham?"
Hansen mengangguk. "Paham," katanya.
"Bagus." Mova berdiri."Aku mau ke bawah, kau ikut?"
"Iya." Tadi Hansen ke atas juga hanya untuk menemui Mova. Karena sudah selesai, dia juga ingin kembali.
"Ngomong-ngomong.." Hansen menjewer telinga Mova. "Kenapa kau menjadi norak lagi eh?"
Sudah bagus sebelumnya dengan pakaian modis. Mova hari ini malah kembali memakai setelan kerja pink lagi. Rambutnya juga dikuncir dua seperti sebelumnya.
"Kenapa memangnya? Tidak boleh?" sembur Mova galak seraya menepis tangan Hansen.
"Bukan tidak boleh, tapi.."
"Diam! Kalau kau tidak suka aku norak seperti ini ya sudah pura-pura tidak kenal aku saja."
"Astaga, sensitif sekali," gumam Hansen.
***
Vote if u like it🌻
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
asterchamomile
wkwkwk Han Han sayang banget sama Mova
2021-05-09
1