Mova menghela nafas. Ia menarik kasar tangannya dari punggung Raven. "Sebenarnya posisiku apa sih?" gerutunya.
Katanya personal asistant. Nyatanya dari pagi Mova hanya diminta melakukan hal tidak jelas. Membuat kopi, mengambil camilan dan sekarang memijat leher Raven. Tugasnya terlihat murahan sekali. Harusnya kan dia menyortir email, merapikan jadwal Raven atau mungkin bekerjasama dengan Jenifera di tugas tertentu.
"Personal asistant," jawab Raven enteng. "Ayo pijat lagi. Leherku sakit."
Mova berdecak malas, namun tetap bergerak memijati leher Raven.
"Santai saja. Meskipun pekerjaanmu tidak banyak, aku tetap akan memberikan gaji tetap."
Memang bagus. Tapi tetap saja Mova tidak suka seperti ini. Dia seakan menjadikan pembantu.
"Beberapa minggu ke depan ikut lah seminar."
"Seminar?"
"Hmm. Aku telah menyiapkannya untukmu. Jika kau mengikutinya rutin dan mengerti cepat. Aku akan menjadikanmu sekretaris."
"Apa motifmu sebenarnya?"
"Motif apa?"
Mova menarik tangannya dari leher Raven. "Motifmu memberikan posisi besar padaku. Tidak mungkin kau hanya memberikannya sukarela bukan?"
"Memang tidak mungkin."
"Jadi apa?"
"Simple saja." Raven menolehkan pandangan pada Mova. "Aku ingin," katanya.
Cih! Mova berdecih. Jemarinya kembali naik untuk memijat leher Raven.
"Pelan sedikit," ujar Raven.
"Hmm."
Mova memang tidak ikhlas memijat Raven. Wajahnya sendiri sudah menjadi bukti, tapi Raven malah merasa senang melihatnya.
"Ngomong-ngomong kau terlihat cantik hari ini."
"Tidak sama sekali," tepis Mova. "Aku tidak suka penampilan ini." Mova terus terang mengatakannya.
"Jika bukan karena perintah sialanmu, aku tidak akan mau."
"Kau tidak suka dengan penampilanmu?"
"Tidak! Aku suka penampilanku sebelumnya."
"Mova, kau sudah besar."
"Aku tahu," sambar Mova.
"Stylemu harus berubah. Kau tidak bisa seperti anak-anak yang mengenakan pakaian asal. Lagipula, kenapa kau tidak mau berubah?"
"Karena aku suka. Kenapa? Kau malu memiliki karyawan seaneh aku? Cih, bahkan jika kau malu aku tidak peduli..."
"Oke." Raven mengalah. "Berpakaian sesukamu. Aku tidak akan mengatur lagi. Tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
Raven mempertemukan maniknya dengan manik Mova."Jangan benci aku lagi."
"Oke."
Raven menarik senyum. "Mulai detik ini hubungan kita normal kembali."
Mova menarik cepat pandangan dari wajah Raven. "Sepertinya."
***
"Kau mau makan siang dimana?"
"Kantin." Mova mengemas cepat pouch-nya.
"Aku ikut."
"Terserahmu," ketus Mova.
Dia berjalan terburu-buru mendahului Raven. Keduanya kemudian sampai di lift.
Raven melirik sekilas perempuan sebatas dadanya itu. Tidak ada niat sama sekali mengajaknya berbicara. Melihat keberadaannya saja mungkin tidak.
Kantin belum ramai. Mova meletakan pouch-nya di salah satu meja. Lagi, dia berjalan meninggalkan Raven ke stand kantin.
"Satu piring nasi padang, seperti biasa." Mova mengulas senyum pada penjaga kantin.
"Tumben tidak bareng Mas Hansen, Mbak."
"Biasa, dia masih banyak kerjaan."
"Oh kirain putus, Mbak." Wanita paruh baya itu tertawa.
"Putus apanya, Bu. Pacaran aja enggak."
"Loh enggak, saya kirain pacaran." Ibu itu tertawa lagi. Senang banget ngeledek orang. "Eh, Pak Bos."
Mova melirik sekilas tubuh tinggi di sebelahnya. "Mau pesan apa, Pak?"
Raven melihat-lihat makanan yang berada di etalse. Apa yang bisa ia makan?
"Nasi goreng."
"Tidak pedas," celetuk Mova membuat Raven menoleh padanya.
"Apa?" sentak Mova.
Raven menggeleng.
"Sudah tahu tidak bisa makan pedas asal memesan. Nasi goreng disini itu semuanya pedas. Kalau kau tidak bilang, Si Ibu gak bakalan ngerti."
Loh kenapa aku jadi sewot?
Mova menatap kembali ibu yang sibuk menyiapkan pesanan. "Bu minumannya es jeruk. Saya tunggu di sana ya." Mova menunjukkan bangkunya.
"Ashiap, Mbak."
Mova kembali ke kursinya. Dia membuka ponsel, mengirim pesan pada Elin dan Helen agar segera turun.
"Kamu kan pandai masak."
"Terus?" tanya Mova tanpa melirik si pembicara yang baru duduk.
"Kenapa tidak membawa bekal?"
"Malas." Lagian apa yang bisa Mova jadikan bekal. Sisa makanan dari dapur?
"Bekal dari rumah itu lebih sehat."
"Tanpa kau bilang pun aku tahu."
"Lantas kenapa kau tidak membawanya?"
Mova menyipitkan mata pada Raven. "Kau Raven bukan sih?"
Raven menghela nafas pelan. "Lupakan," katanya.
Mova kembali pada ponselnya.
Raven sendiri jadi badmood. Tadi Mova sudah setuju tidak membencinya, kenapa Mova tetap sama saja. Dia menangkis kasar setiap kata-kata Raven. Tidak memberi kesempatan Raven untuk bergabung dalam kalimatnya.
"Mova."
Hansen melambai-lambai seraya mendekat. Senyumnya secerah cuaca siang itu. Berubah sedikit mendung ketika dia melihat Raven. Bukan, bukan karena pria itu. Namun dia teringat kalimat pria itu.
"Kenapa kau masih berdiri? Ayo duduk." Mova menepuk kursi di sampingnya. Raven cemberut melihatnya. Kenapa tadi dia tidak ditawarkan.
"Aku mau memesan dulu," kata Hansen. "Mau nitip."
"Aku sudah memesan."
"Cilok?" tawar Hansen. "Aku yang bayar," lanjutnya.
"Mau," seru Mova antusias.
"Oke."
Raven mengawasi tubuh Hansen hingga jauh, setelahnya ia menggeser kursi.
Mova mendongak. "Kenapa kau pindah?"
"Kursinya itu goyang-goyang," bohongnya.
"Oh."
Mova menggeser kursi. Raven langsung sawan. Dia pikir Mova marah padanya.
"Aku mau ke toilet bentar. Titip hp dan pouchku."
Perempuan itu menghilang cepat. Raven celingukan, memastikan Mova tidak muncul tiba-tiba di suatu sudut. Setelah aman dia meraih ponsel Mova.
"Ini makanannya, Pak Bos. Silahkan dinikmati.
"Ah iya." Raven meletakkan kembali ponsel Mova. "Terimakasih," katanya.
Hansen juga kembali beberapa detik kemudian. Alangkah terkejutnya dia melihat kursinya telah diduduki oleh Raven.
"Itu tempatku."
"Mova memberikannya padaku."
"Tidak mungkin. Mova benci padamu. Mustahil dia memberikan kau kursi yang dekat denganya."
Raven mengangkat alis tebalnya. "Kau bilang apa? Mova benci padaku?"
"Yup." Hansen membenarkan seraya menarik kursi bekas Raven tadi untuk duduk. "Akhir-akhir ini dia sering curhat padaku tentang ketidakjelasanmu."
Ini karangan bebas Hansen. Tentu saja. Mova tidak mudah membagi ceritanya sembarangan.
"Ketidakjelasan?"
"Ya. Bukankah kau menjadikanya personal asistant? Meskipun itu berarti tugasnya bertanggungjawab atas semua perintahmu, tapi tidak berarti dia menjadi babumu. Kalau hanya butuh orang untuk mengambil camilan, membuatkan kopi, harusnya kau mencari pembantu rumah tangga saja."
"Dia curhat itu padamu?"
Hansen mengangguk. Sebenarnya dia hanya berbohong. Mau bagimana lagi, dia tidak senang dengan orang-orang yang pagi ini menggospi Mova karena naik pangkat hanya untuk membuat kopi dan mengambil camilan untuk Raven.
Raven sendiri menjadi badmood. Ia sama sekali tidak berpikir bahwa Mova akan sampai begitu. Harusnya Mova senang karena dia hanya mengerjakan hal kecil. Raven juga bukan tidak mau memberi tugas Mova, masalahnya dia sudah memiliki Gerald sebagai supir sekaligus personal assistannya. Yah memang dia yang salah. Sudah jelas punya tangan kanan, tapi masih nekat menarik Mova sebagai personal asistant hanya karena ingin lebih dekat dan disaat bersamaan masih tidak yakin Mova kuat menjadi sekretaris. Oleh sebab itu dia memberikan Mova posisi lain yang sebenernya tidak dia butuhkan.
***
Anyone read it?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments