"Apa kau tidak curiga?"
"Curiga soal apa?" tanya Elin meletakkan kembali gelasnya.
"Mova," ujar Helen. "Jujur aku senang dia naik pangkat, tapi menjadi sekretaris? Bukankah itu terlalu berlebihan?"
"Kenapa tidak? Kinerjanya benar-benar bagus." Yang dikatakan Elin memang masuk akal, namun tetap saja Helen masih merasa ada yang tidak benar.
"Kau pasti pernah dengar bukan sekretaris-sekretaris sebelum ini kebanyakan memiliki hubungan dengan investor besar, termasuk Jenifera. Sedang Mova?"
"Eh iya ya.." Elin baru sadar sekarang.
Yang bisa menjadi sekretaris selain cerdas dan good looking, 99 % nya berasal dari para investor besar. Entah itu anak investor ataupun cucu investor.
Mova jelas tidak masuk di kriteria itu sama sekali.
"Atau jangan-jangan..."
"Hush," tegur Elina. "Jangan asal bicara kau."
"Aku bukannya asal bicara," kata Helen. "Tapi aku rasa Mova dan Raven punya sesuatu."
"Misalnya?" todong Elin.
Helen menggeleng. "Aku tidak tahu," ujarnya. " Tapi aku yakin soal ini."
Elina tertawa kecil. "Mempercayai praduga? Itu adalah akar mula sebuah masalah," katanya.
Matanya yang besar kemudian beranjak dari Helen menuju jendela kaca. Dia bisa melihat jelas Seantinel corp yang telah sepi. Dan ketika ia mendongak, langit sudah gelap.
"Kenapa dia belum pulang?"
Helen melirik jam tangannya. "Sudah hampir pukul 7," katanya memberitahu.
"Apa mungkin dia lembur?"
"Yah kurasa begitu." Helen mengangkat ponselnya. "Coba aku telepon."
"Ide bagus." Elin menarik pandangan kembali dari luar jendela.
...****...
"Begini saja," kata Raven mengambil atensi semua peserta. "Aku akan mengatasi Perusahaan Amerika tersebut, sementara investor Korea di tangan Jenfira."
"Tunggu..." seru Jenfira. "Bukankah sekretaris perusahaan sekarang adalah Mova?"
"Bukan," balas Raven. "Kau masih sekretaris perusahaan sedang Mova adalah personal asistant-ku."
"Apa?" Jenfira langsung menghujami Mova dengan tatapan berang.
"Jenfira dan Sanders, aku mempercayai investor Korea pada kalian."
"Baik," balas Sanders. Meskipun biasanya seorang manajer hanya mengawasi segmen bisnis. Namun karena keadaan genting ini, Sanders setuju turun tangan. Lagipula investor pasti membutuhkan informasi pemasaran untuk meyakinkan diri menanam modal di perusahaan tersebut.
Ah Raven jadi memaki abangnya yang melepaskan jabatan direktur eksekutif beberapa bulan lalu. Sekarang urusan perusahaan terutama mewakili perusahaan semua di tangannya. Dia ingin mencari pengganti, namun sang abang melarang keras kursinya di duduki oleh siapapun. Benar-benar terlihat sengaja membuatnya mati kelimpungan tugas.
"Kenapa kita tidak mencari pengganti Steve?" tanya Wakil direksi, Melia.
"Untuk apa?" sahut Sanders. "Bahkan jika direktur eksekutif terisi tetap Raven sendiri yang turun tangan."
Benar juga. Terlebih semua orang tahu, Steve tidak bisa digantikan mengingat posisinya sebagai salah satu owner.
"Aku rasa itu saja untuk hari ini." Raven menutup rapat mereka.
"Bukankah kau tidak membutuhkan personal asistant?" Setelah bubar Jenfira memblok jalan Raven cepat.
Mova pun menggunakan kesempatan itu untuk pergi.
"Aku tidak mengerti dengan sistem organisasi perusahaan ini," katanya seraya mensejajarkan langkah pada Sanders.
"Yang penting meskipun sedikit kacau, sistem organisasi kita tetap membawa kita menjadi perusahaan nomor 1 di Asia."
Yang Sanders bilang memang benar.
"Kau tahu sendiri jajaran atas dikuasai oleh para owner dan investor. Sangat sulit untuk membuatnya benar-benar teratur," lanjut Sanders. "Contohnya Steve itu, dia owner yang menjadi direktur eksekutif."
"Bukankah lebih tepat jika dia menjadi salah satu jajaran direksi?"
"Itulah yang tidak aku mengerti. Dan apa bedanya dengan Raven, dia owner namun menjadi CEO dan merangkap sebagai direktur eksekutif. Padahal dia bisa menjadi jajaran direksi."
"Dia juga owner?" Yang benar saja. Mova tidak tahu.
"Kau tidak tahu?" Sanders memukul pelan dahi Mova. "Dasar kudet!"
Mova cemberut. Dia kan tidak mau ikut bergosip, jadi sering ketinggalan info.
"Dia dan Steve adalah penerus perusahaan ini. Itu sebabnya mereka tidak dijadikan direksi oleh kedua orang tuanya. Karena mereka ingin menyeleksi owner tunggal diantara Steve dan Raven yang mana tolak ukurnya adalah seberapa besar kerja keras mereka untuk perusahaan."
Pantas saja Raven mengambil tugas yang besar itu. Dia ingin mengalahkan abangnya rupanya.
"Lagipula keduanya sama-sama belum mendapat kepercayaan untuk menjadi direksi. Itulah sebabnya dewan direksi dipegang oleh Pak Samuel dan komisaris oleh Pak Adikara."
Ohooo
Mova manggut-manggut. Sekarang dia sadar seberapa kecilnya pengetahuannya tentang perusahaan.
"Kau mau ke lantai atas lagi?"
Mova menggeleng. Mengangkat tas dan laptopnya. "Barang-barangku sudah di tanganku semuanya. Aku akan langsung pulang."
"Mau numpang?" tawar Sanders. Dia tahu Mova kerap jalan kaki pulang dari perusahaan. Itu sebabnya dia menawarkan bantuan lagipula satu arah.
"Mau, tapi jangan minta uang minyak."
Sanders tertawa. Dasar Mova, batinya.
"Kau mau kemana?" tanya Raven sedikit berteriak.
Mova yang hampir masuk ke dalam mobil Sanders menoleh.
"Pulang, pak," katanya tiba-tiba sopan.
"Ayo aku antar." Raven berjalan menghampiri mobil sportnya.
Mova menatap kembali Sanders yang juga menatapnya. "Kalian benar-benar sepasang kekasih ya?" tanya Sanders.
"Dih tentu saja tidak." Mova menarik pintu dan masuk. "Ayo, jalan!" suruhnya pada Sanders.
"Oke." Sanders melanjutkan mobil, tidak lupa mengklakson Raven.
Pria yang baru ingin menyalakan mesin mobilnya tersebut berdecak kesal.
Padahal dia benar-benar berniat mengantar gadis pink itu.
...***...
"Aku turun di depan," kata Mova. Sanders segera menepikan mobilnya.
"Bukankah rumahmu masih lumayan jauh?"
"Justru itu." Mova mendorong pintu. "Aku ingin menghirup udara segar sebelum masuk neraka."
Ada-ada saja. Tapi Sanders mengerti. Dia pernah mendengar perbincangan Elin dan Helen, dimana di dalamnya berisi informasi bahwa Mova tinggal bersama ibu dan saudara tirinya. Sisanya Sanders dapat menebak bahwa itu seperti neraka. Dan benar saja, memang begitu keadaan Mova di sana.
"Hati-hati," kata Sanders.
Mova membentuk oke dengan jari-jari kecilnya. "Terimakasih untuk tumpangannya," ujar Mova sebelum akhirnya melangkahkan kaki menjauhi mobil Sanders.
Dia mendongak untuk melihat langit yang bertaburan bintang. Indah sekali. Akan lebih indah jika dia bisa menyaksikannya dengan keluarganya.
Ah
Mova menepis pikiran tersebut. Orang yang sudah meninggal tidak akan pernah hidup lagi. Kenapa dia masih tidak mengerti. Terus berharap lagi.
Hah
Mova menghela nafas. Matanya melirik warung di sisi kanan dan kiri. Lapar. Dia mengelus perutnya.
Tin
Teriakan klakson mobil membuat Mova terperanjat.
"Hei manusia buta," teriaknya. Raven pun menyembulkan kepala dari jendela mobilnya.
Emosi Mova naik dua kali lipat.
"Sudah kubilang ayo aku antar, tapi kau memilih pergi sama Sanders." Raven tertawa. "Lihat! Pada akhirnya kau disuruh jalan kaki olehnya."
"Bapak tidak usah sok tahu ya," dengus Mova. "Lagipula apa masalah anda jika saya lebih memilih pulang bersama Sanders?"
Wajah Raven kehilangan ekspresi. Benar. Kenapa dia ikut campur urusan Mova.
"Ayo masuk." Sebagai pengalihan, Raven mendorong pintu penumpang. "Sekalian aku ingin mampir bertemu Samara," sambungnya.
"Kalau gitu pergi saja! Aku mau berjalan kaki." Mova melangkahkan kakinya lagi.
"Apa-apaan perempuan itu," omel Raven kesal. Diberi kebaikan malah menolak.
Kriuk
Ah. Mova memaki perutnya. Sudah tahu tidak punya uang lapar segala lagi. Haduh. Mata Mova ke sana kemari melihat warung-warung makan.
Tin
"Sialan!" Mova berbalik kesal, mobil Raven mengekorinya.
"Apa maumu hah?" bentaknya.
"Naik lah," suruh Raven.
Mova menghentak kesal kakinya. Tapi dia tidak punya pilihan lagi. Dia melangkah masuk ke dalam mobil Raven. Ingin cepat sampai di rumah untuk melihat apa ada sisa makanan untuknya.
Kriuk
Ah bodo amat. Mova tidak peduli jika sekarang atensi Raven pada perutnya.
"Mau makan dulu?" tawar Raven.
"Tidak." Selain gengsi Mova juga tidak mau Raven semakin memandangnya menyedihkan seperti dulu. Dia tidak mau lagi dipandang seperti itu.
Kriukk
Argh
Mova berdecak kesal. "Pinjam uangmu." Mova menyodorkan tangannya pada Raven. Peduli setan dengan harga dirinya.
"Ah iya tunggu..." kata Raven tersadar dari keterkejutannya akan sikap Mova. Dia merogoh dompet di sakunya. Lalu memberikannya pada Mova.
Mova membukanya tanpa izin, mengambil selembar uang seratus ribu lalu kembali meletakkan dompet tersebut di dashboard.
"Berhenti di depan."
Raven menurut saja. Dia menghentikan mobilnya di sebuah warung kecil. Mova keluar tanpa pamit. Raven mengamatinya dari balik kaca.
Selang beberapa menit kemudian Mova kembali dengan satu cup mie goreng. Dia menyerahkan lima puluh ribu sebagai kembaliannya.
"Sisanya akan aku bayar setelah gajian."
Raven menerimanya dengan perasaan campur aduk.
Ada kesal dan ada iba yang bersatu.
"Ayo jalan," kata Mova seraya mengangkat sumpitnya untuk mulai makan.
Raven mendorong pintunya. "Ayo keluar," titahnya.
Mau tidak mau Mova ikut keluar. Raven mendorong pelan tubuh Mova kembali ke warung tersebut. Dia memesan beberapa makanan berat untuk Mova lalu duduk di salah satu meja.
"Aku pasti akan membayar hutangku hari ini," janji Mova langsung memakan mienya lebih dulu.
Raven sendiri tidak peduli akan apa yang Mova katakan. Dia benar-benar hanya ingin membuat hatinya lega saja dengan melihat Mova tidak kelaparan. Hanya itu.
...***...
Komen yang bijak y readers. Luv u 3000😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments