"Selamat pagi babuku tercinta."
Suara riang seperti kapas diterpa sepoi angin mengalihkan perhatian anggota Divisi Pemasaran dari kegiatan mereka. Dalam langkah tegap, Sanders menebar senyumnya.
"Bagiamana kabar kalian?" Tubuh besarnya bersandar di kubikel Elin. Wanita itu menjadi gerah dibuatnya.
"Menjadi baik karena kedatangamu." Helen membalas bersama senyum manisnya. Jawaban-jawaban lain kemudian menyusul. Sanders menanggapinya dengan santai. Ah, dia memang selalu suka membuat wanita senang.
"Liburan yang bagus." Bibir Elin tertarik ke atas dengan sinis."Sangat bagus sehingga seseorang menjadi tumbalmu."
"Apa yang kau maksud?" Sanders langsung bingung.
"Tanya saja pada rumput bergoyang." Elin memberikan punggungnya. Cih, dia malas sekali melihat wajah Sanders. Ya memang setampan aktor Hollywood, sayang sifatnya yang suka melimpahkan pekerjaan kepada orang lain menggerahkan hati.
"Helen!" Tentu saja Helen yang akan ikut kecipratan. "Jelaskan apa maksud nenek lampir ini!"
Telinga Elin menjadi panas, tapi bibirnya bungkam mengingat Helen akan menjelaskan kejahatan pria itu.
"Semalam Mova dipanggil oleh bos atas laporan analisis. Sampai hari ini dia belum kembali, kukira dia mendapat masalah yang besar."
Laporan analisis? Ah iya, Sanders ingat. Dia membawa file itu bersamanya ke Hawai. Bahkan wakilnya juga belum memiliki salinannya. Parah! Mova pasti telah dilempar ke neraka oleh Raven.
"Aku akan mengurusnya." Sanders meninggalkan ruangan tersebut.
"Bagus lah dia bertanggungjawab." Nada sinis tetap mengalir dalam kalimat Elin.
"Hey, hormat sedikit. Dia itu atasanmu," nasehat Helen. Bagaimana tidak? Sepanjang mereka bekerja, Elin hampir tidak menganggap Sanders atasannya. Musuh, ini yang lebih tepat.
"Atasanku? Kau tahu? Hanya Raven lah atasanku," jawab Elin mengabaikan tatapan benci dari rekanya yang lain. Of course, Sanders dipuja mereka dengan sepenuh jiwa sampai rela membenci si pembuat ulah.
"Terserahmu." Helen tidak bisa membersihkan hal buruk dari Sanders yang melekat di kepala Elin.
***
"Ini sudah hampir istirahat." Punggung tegap Raven melemas pada kursinya. "Kau ingin memesan sesuatu?" Dia melirik perempuan yang terpisah beberapa meter dari mejanya.
"Aku sudah membawa bekal." Ada tekanan dalam kalimat Mova. Dinding kokoh bertema benci adalah maksud yang Raven artikan.
"Bagaimana kalau seafood?"
"Apa kau tuli?" tanya Mova lebih berani. Semenjak dia tahu Raven salah satu orang yang berkonspirasi menghancurkan dirinya di masa lalu, rasa hormatnya hilang tanpa tersisa. Sekalipun dia ditendang keluar dari perusahaan, dia tidak takut.
"Oke, seafood." Raven meraih ponselnya yang berbaring di meja, menekan ke dalam emosinya yang tercipta. Dibantah, dia tidak terbiasa akan hal itu.
"Tuli!" cibir Mova menekan kesalnya pada keyboard komputer. Raven melirik bersama seulas senyum kecil. Lihat gadis pink itu! Dia imut sekali ketika menatap galak komputer di hadapannya.
"Gila!" Raven mencaci dirinya sendiri dalam hati. Apa yang imut dari gadis kurus tak terurus dengan kacamata tebal serta rambut tak tertata itu? Ah, dia baru tersadar akan kebodohannya.
Tok Tok Tok
Raven mengangkat dagunya. "Masuk," katanya menegakan tubuh kembali.
"Dimana budakku?"
Mova menggeram mendengar suara Sanders. Kata "budak" itu bahkan lebih memperpanas hatinya.
Raven tidak mengeluarkan balasan. Ia hanya mengarahkan dagunya ke meja sebrang.
"Eh, kenapa dia satu ruangan denganmu?" Sanders membawa tubuhnya pada kursi yang tersedia di hadapan Raven.
"Apa ada masalah, Tuan Sanders? Raven menyatukan jari-jarinya di depan dada. Mengintimidasi manik biru Sanders dengan hitam tajam miliknya.
"Tidak, hanya saja aku kira kau menghukumnya." Lega. Sanders tidak perlu merasa bersalah karena menumbalkan seseorang demi kesenangannya.
"Menghukumnya? Yang benar saja, aku tidak bisa menyakiti kekasihku."
"APA??" Bola mata Sanders hampir jatuh bersama suaranya yang nyaris memecahkan gendang telinga Raven dan Mova.
"Apa maksudmu, sialan?" Mova meraungkan kemarahannya setelahnya. Kedua kalinya, mata Sanders hampir jatuh. Mova si pinky tidak seberani itu menurut penilaiannya.
"Kurasa kau tidak tuli." Nada santai dari kalimat Raven menjadi gelombang panas yang menyerang hati Mova.
"Aku tidak sudi menjadi kekasihmu!" Teriak Mova, menghujam tatapan Raven dengan bola-bola api. Buku-buku tangannya mengepal menjadi satu seiring suhu hatinya yang bertambah.
"Oh maaf. Aku sedang tidak bertanya denganmu, sayang." Raven tersenyum dalam kemenangan.
"Aku ingin resign." Mova bangkit, tergesa-gesa kakinya keluar dari sana. Lebih baik dia jadi pengangguran, daripada satu ruangan dengan iblis aneh semacam Raven.
Lagian dia cukup sadar. Dirinya hina dan jauh dibawah standar Raven. Tidak mungkin pria itu menginginkannya menjadi kekasih sungguhan, kecuali hanya sekedar permainan bermotif menyakitinya lagi seperti dulu.
"Apa yang sedang terjadi?" Sanders membawa kembali tatapannya kepada Raven.
"Sebuah prolog," kata Raven santai.
Lupakan kalimat ambigu Raven. "Dia kekasihmu? Kau sedang tidak kerasukan jin atau semacamnya kan?"
"Kenapa tidak?" Alis tebal Raven yang menaungi manik tajamnya tertarik keatas. "Aku pria dan dia seorang perempuan. Menjadi kekasih bukan hal aneh, bukan?"
"Tentu saja tidak aneh jika perempuan itu bukan Mova. Sudahlah," Sanders bangkit. "Minum obatmu, Tuan Seantinel."
Damn! Raven mengepalkan tinju bersama panas yang menguasai hatinya. Apa yang aneh menjadikan Mova kekasihnya? Dia memang spontan, tapi bukan berarti dia sedang sakit saat mengatakan itu.
Dia sadar, hanya terlalu spontan mengatakan tanpa persetujuan kepalanya.
***
"Hai, norak." Hansen melambai begitu Mova melangkah ke arahnya. Pasti dari ruang bos, pikirnya menebak dari wajah kusut Mova.
"Bagaimana hari pertamamu?" Ada ejekan dalam senyum pria itu yang membuat mata Mova menajam, menghunus ke dalam si hitam milik Hansen.
"Apa urusannya denganmu hah?"
Hansen terkejut di detik pertama. Sepengetahuannya Mova selalu takut akan manusia. Tapi hari ini dia mengejutkan Hansen setelah gaun kerjanya yang lebih stylish. Ah, dia lebih cantik. Hansen mengukir senang dalam hati.
"Aku hanya bertanya, kenapa kau sampai begitu marah?"
"Kenapa? Karena pertanyaanmu itu sampah," sentak Mova. Meninggalkan Hansen dalam lumbung kebingungan.
"Kau melihat Mova?" Kebingungan Hansen bertambah lagi saat sahabatnya tersebut berlari tergesa-gesa padanya.
"Wait, ada apa ini sebenarnya?" Dia butuh penjelasan. Sangat-sangat butuh. Sikap Mova tadi jelas diikuti hal besar pastinya.
"Aku yang harusnya bertanya ini ada apa?" seru Sanders mencurahkan kesal isi kepalanya yang dominan oleh tanda tanya. "Raven mengklaim Mova sebagai kekasihnya." Ini yang paling membuatnya bingung.
"Kau pasti salah bicara," gumam Hansen melanjutkan langkah.
Raven Seantinel, pemilik sekaligus pendiri Seantinel corp. Bergelimang harta dan memiliki standar hidup yang tinggi. Sangat tidak mungkin Mova yang hanya gadis biasa tanpa wajah cantik itu bisa menjadi kekasihnya. Bahkan jika bisa pun, standar hidup Raven akan menendangnya jauh.
"Hei! Aku tidak salah bicara. Memang itu yang Raven katakan."
Teriakan Sanders sama sekali tidak digubris oleh Hansen. Ia malah semakin yakin temanya itu sedang mabuk.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
🌷 ‘only_@g’🌷
Salken thorrr 👋 aku hadir bawa like nih 👍
jangan lupa feedback di karyaku "Simple That Perfects' yah thorrr 🙏🙏🙏
mari saling dukung 🙏🔥🔥🔥🔥
2021-05-06
0