"Pria sialan!" Mova memaki Raven ketika tubuhnya berhasil duduk di salah satu bangku kantin.
Seenak jidat pria itu mengklaimnya sebagai kekasih. Jika itu Lee Min Hoo pastilah Mova akan sujud syukur. Sayangnya itu datang dari mulut iblis yang ia benci.
Lagipula Mova yakin, pria itu hanya typo. Tidak mungkin kan Raven Seantinel yang tampan itu mau memiliki kekasih buruk rupa sepertinya? Mana beda kasta lagi.
Ah
Dada Mova semakin panas memikirkannya. Ia mengintip jam di ponselnya. Sepuluh menit lagi istirahat. Baguslah, dia memang ingin bersantai saat ini.
Mova pergi ke stand kantin, memesan satu gelas jus lemon dan satu porsi mie goreng. Yah beginilah nasibnya ketika tanggal tua. Masih bisa makan saja sudah syukur.
Kembali ke mejanya, Mova menyantap hikmat mie gorengnya. Sesekali kepalanya menoleh ke pintu untuk melihat kedatangan Elin dan Helen.
Beberapa menit kemudian Elin dan Helen menghampirinya. "Belum waktunya istirahat sudah makan," dengus Elin mendudukkan tubuh di hadapan Mova.
"Bodo amat," balas Mova ketus.
Elin memutar matanya malas. Kemudian terkagum dengan gaun yang dikenakan oleh Mova.
"Darimana kau mendapat gaun itu?"
Pandangan Mova turun pada gaunnya sendiri. "Dibelikan oleh bos kesayanganmu," katanya sedikit malas.
Bos kesayangan Elin?
"Pak Raven?" tanya Helen tak percaya.
Mova mengangguk. Dia meraih gelasnya, meneguk air hingga setengah sebelum melanjutkan kalimat lagi.
"Kalian tahu? Aku sekarang menjadi sekretarisnya."
Baik Helen maupun Elin langsung melebarkan mata.
"Kalian tidak percaya kan?" tanya Mova. "Begitulah aku," lanjutnya pasrah.
"Sejak kapan?" kepo Elin.
"Sejak semalam." Mova menyendok lagi mie goreng dan memasukkan ke dalam mulutnya, membiarkan Elen mengerenyitkan dahi dalam.
"Kau tidak berbohong kan?" tanya Helen ingin memastikan.
Sudah hampir 5 tahun dia bekerja dengan Raven. Dia jelas sudah mengerti seperti apa kualifikasi orang-orang yang dekat dengannya. Apalagi untuk posisi sekretaris yang notabenenya akan selalu mengekorinya kemana-mana. Selain cerdas, orang tersebut harus rapi dan good looking.
Dan Mova hanya memenuhi kriteria satu. Harusnya dia tidak lulus menjadi sektretaris.
"Jika tidak percaya kalian pergi lah ke lantai 23, ruanganku sekarang di sana."
Elin melotot. "Kau serius?" Bahkan Jenifera yang lebih dulu menjadi sekretaris saja tidak pernah diizinkan satu ruangan dengan Raven.
Mova mengangguk.
Sejak pagi Mova memang tidak muncul di ruangan pemasaran. Namun Elin dan Helen kira hal itu terjadi karena Mova mendapat hukuman dari Raven. Lah ternyata naik pangkat.
"Baguslah." Wajah Elin yang terkejut berubah penuh menjadi kelegaan. "Dengan begitu kau bisa menginjak Jenfira."
"Menginjaknya? Malah aku yang diinjak lebih keras karena telah berani merebut posisinya."
"Kau tidak merebut posisinya," ujar Helen. "Tapi dia memang sudah tidak pantas di posisi itu lagi."
Elin mengangguk setuju.
"Plusnya," tambah Helen. "Dengan menjadi sekretaris gajimu akan bertambah. Kau bisa segera membeli apartemen dan keluar dari rumah terkutuk itu."
Ah iya
Mova meletakan sendok dan garpunya.
"Jujur aku sangat tidak suka dengan pria itu. Tapi seperti yang kalian ketahui aku ingin segera pergi dari rumah terkutuk itu."
Mova tidak ingin menjadi pembantu lagi. Diomeli dan terus dibentak setiap menit.
"Oleh karena itu kau harus menerimanya dengan lapang dada," ujar Elin. "Ini demi masa depanmu."
Mova mengangguk.
Ah
Dia harus menekan bencinya saat ini. Mau bagaimana lagi, ini demi masa depanya.
Baiklah begini saja. Setelah dia berhasil membeli apartemen, dia akan resign dari perusahaan Raven. Ide yang bagus.
"Siang, ladies."
Hansen menjatuhkan tubuh di samping Mova. Tangannya langsung menarik piring mie Mova.
Hap
Mova memukul kesal bahu Hansen. "Ihh kembalikan makananku," serunya.
"Tidak mau." Hansen mengambil satu suapan besar lagi dari piring Mova.
"Ihhh." Mova menghentak kesal kakinya. Ingin merebut namun keburu ilfeel karena sendok dan garpunya sudah menyentuh mulut Hansen.
"Sudahlah, ayo kita beli lagi," ajak Elin.
"Tidak mau," balas Mova memanyunkan bibirnya. Sudahlah dia lagi krisis moneter, makannya dihabisin oleh Hansen. Haduh. Apa mereka tidak ada yang tahu kalau dompetnya sudah benar-benar kosong?
Helen menarik lembut lengan Mova. "Ayo, aku yang traktir."
Ah
Mova memeluk Helen dengan terharu. "Terimakasih, sahabat. Aku doakan semoga kamu cepat dapat jodoh deh. Amin."
"Jangan aneh-aneh," omel Helen. "Ayo!"
"Ohooo, jadi kau tidak punya uang lagi," kata Hansen. "Kasihan sekali. Sini deh aku suapin." Hansen bersiap menyodorkan sendok ke mulut Mova namum keburu mendapat cubitan di perutnya.
"Aww awww..."
Setelahnya Mova melenggang pergi, diikuti oleh kedua sahabatnya.
"Galak sekali," dengus Hansen mengelus perutnya yang terbalut kemeja.
...***...
Setelah makan siang Mova kembali ke ruangan Raven. Hah! Rasanya dia malas sekali, namun mengingat besarnya gaji yang akan dia terima, dia jadi memaksa dirinya untuk bersemangat.
Baiklah, demi masa depan!
Sesampainya di depan pintu. Mova mengetuk lebih dulu.
Tok Tok Tok
"Masuklah," sambut suara berat Raven.
Mova mendorong kuat pintu. Maklum saja pintu kayu jati itu sangat besar dan berat. Berbeda dengan pintu ruangannya dulu yang hanya berupa kaca.
Raven mengangkat kepala dari berkas-berkasnya.
"Kau sudah makan?" tanyanya.
Sok perhatian. Mova mencibir dalam hati.
"Sudah." Akhirnya dia memilih menjawab dengan wajah lempeng. Dia kemudian membawa tubuhnya kembali ke meja kerja.
"Kalau kau lapar, ada seafood di sana." Raven menggerakkan dagunya ke sudut ruangan.
Enak sekali dia. Ruangan besar, nyaman, punya televisi dan sofa panjang untuk bersantai. Ada kulkas penyimpanan makanan dan minuman lagi.
"Hmm." Mova membalas dengan deheman singkat saja. Padahal tadi dia sudah berniat menghormati Raven. Namun benci tetap lah benci, sulit sekali untuk membuatnya tidak terlihat sama sekali.
"Tolong jadwalkan ulang agendaku," kata Raven lagi. "Aku sudah menyuruh Jenfira membawa salinannya untukmu. Mungkin sebentar lagi dia akan datang."
"Oke."
Berani sekali Mova menjawab begitu. Mana disertai nada dingin lagi. Jika Raven tidak mengingat kesalahannya di masa lalu, dia mungkin akan membentak Mova.
"Oh iya..." Raven menggerakkan leher pada Mova. "Aku mencopotmu dari sekretaris."
Mata Mova melebar mendengarnya.
"Sebagai gantinya aku akan menjadikanmu sebagai personal asistant."
"Personal asistant?" Kepala Mova bergerak untuk melihat wajah Raven.
"Kau akan bertanggungjawab penuh padaku, bukan perusahaan," jelas Raven.
"Tunggu, bukankah anda tidak pernah memakai personal asistant?"
"Sekarang aku ingin." Setelahnya Raven kembali pada berkas-berkasnya.
Mova yakin 100 persen, Jenifera akan histeris jika mengetahui ini. Personal asistant memiliki lebih banyak waktu dengan Raven dibanding sekretaris. Itu adalah hal yang paling Jenfira inginkan. Sayang, malah Mova yang mendapatkannya hahaha.
Tok Tok Tok
"Masuk," suruh Raven.
Mova memilih menghidupkan komputernya. Sebenarnya dia tidak punya tugas, apalagi Jenfira belum datang membawakannya agenda Raven yang lama. Jadi dia memilih mencari info tugas dan ruang lingkup kerja seorang personal asistant.
"Siang, bos."
Dari suaranya saja Mova sudah tahu siapa itu. Tapi dia malas mengangkat kepala. Masih punya kesal yang mendalam sekali.
"Apa maumu?" sinis Raven.
Hansen tidak membalas, segera bergerak menghampiri meja Mova. "Nih," kata Hansen meletakan satu box ayam goreng.
Mova menariknya mendekat. "Pergi sana!" usirnya kemudian.
"Dasar tidak tahu terimakasih!" cibir Hansen, tetap saja dia pergi. Takut atuh dimarahi oleh Raven.
"See you later, bos. Mmwah." Hansen memberikan ciuman jarak jauh pada Raven. Tentu saja pria itu hanya membalasnya dengan tatapan tajam.
"Kau dekat dengannya?" tanya Raven setelah tubuh Hansen menghilang.
"Lumayan," jujur Mova.
Raven manggut-manggut mengerti.
"Ah soal tadi," kata Raven tiba-tiba teringat.
"Aku tahu anda hanya bercanda," sambar Mova cepat.
...****...
Bagi yang suka jangan lupa like. Bagi yang gak suka, silahkan cari cerita lain ya. Canda sayang🤣
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
Rita Marlina
labjut thorr I lake 🤩🤩
2021-05-09
1