"Malam, Tuan."
Raven menolehkan kepala. Gerald baru saja membungkuk hormat padanya.
"Bagaimana liburanmu?" tanya Raven mulai menegakkan punggungnya.
"Sangat menyenangkan." Tapi tidak ada senyum di wajah Gerald. Ya begitulah memang wajah pria itu. Selalu dingin.
"Ini pakaian anda." Gerald membungkuk untuk menyerahkan pakaian.
"Letakkan saja di meja."
Raven meraih gelasnya, meneguk sedikit.
Dia memang kelihatan tenang menikmati birnya. Namun siapa yang tahu isi kepalanya.
"Mobil sudah siap, Tuan." Gerald mengkonfirmasi, kemudian melirik jam di pergelangan tangannya. "Waktu anda tersisa 40 menit untuk bersiap-siap."
Raven mendesah berat seraya bangkit dari sofa. Rasanya malas sekali kakinya beranjak, namun pelelangan Xerox Corp sangat penting. Akhirnya mau tidak mau dia menyeret kaki ke kamar.
Gerald mengekor di belakang membawakan pakaiannya tadi.
Tok tok tok
"Mova," panggil Raven.
Perempuan di dalam sana yang masih memilih pakaian berdecak sebal. Tadi disuruh anggap saja kamar sendiri, sekarang pria itu datang menganggu.
"Apa? Aku belum siap," teriak Mova dari dalam.
"Buka pintunya." Raven ikut berteriak.
Hih
Mova menggantungkan pakaian di tangannya kembali. Ia beranjak ke daun pintu, lalu menariknya pelan.
Tampil lah wajah Raven yang galak dan satu wajah asing yang sedingin kutub utara.
"Belum selesai? Ck, lama sekali," cibir Raven seraya melangkah masuk. Tangan pria itu mengisyaratkan pada Gerald untuk memberikan pakaian di tangannya.
Setelah menerima pakaian tersebut Raven menjentikkan jarinya.
"Kunci dari luar."
"Baik, Tuan."
Mova terlambat loading. Pintu sudah dikunci dari luar. "Apa maksudnya itu?" tanyanya setengah berteriak.
"Yah begitulah." Raven berjalan santai ke sofa, meletakkan pakaiannya di sana. Lalu tak lama kemudian dia mulai menanggalkan pakaiannya.
Wajah Mova memerah kesal melihatnya. Dia berbalik cepat dan segera kembali ke walk in closet.
"Dasar tidak tahu sopan santun!" Tentu saja menyempatkan diri untuk mencibir kelakuan Raven.
"Memangnya kau tahu sopan santun?" tanya Raven balik. Matanya mengikuti langkah Mova, terfokus pada bath robe yang dikenakan oleh perempuan itu.
"Setidaknya aku masih memakai kain." Tangan Mova kembali meraih gaun yang tergantung. "Darimana kau mendapatkan gaun-gaun ini?" sinisnya.
"Tentu saja dengan membelinya, sayang."
Kata sayang dari Raven membuat Mova bergidik ngeri.
"Untuk siapa? Kekasihmu?"
"Benar sekali." Alih-alih beranjak menuju kamar mandi Raven malah duduk di pinggir sofa. Matanya menikmati punggung Mova yang bergerak-gerak.
"Lalu? Kenapa kau membiarkan aku memakainya?Tidak takut dia marah eh?"
Singkat saja. "Tidak."
"Pria macam apa kau," sindir Mova.
"Pria tampan, kaya dan sexy." Jawaban penuh percaya diri dari Raven membuat Mova berdecih.
"Aku benarkan?" lanjut Raven.
"Salah," jawab Mova. "Kau adalah pria tidak berhati."
Raven terkekeh kecil, namun pandangannya menjadi sendu melihat punggung kecil Mova. Secara perlahan kekehan kecilnya tersebut pun rata.
"Dengar!" Mova berbalik, memberikan sorot tidak menyenangkan pada Raven. "Aku tidak pernah memaafkanmu. Aku hanya terkadang terbawa suasana. Dan hal lain yang perlu kau ketahui adalah aku setuju bekerja satu ruangan denganmu bukan karena aku telah memaafkanmu. Apalagi karena aku ingin mengemis cintamu."
Mova kembali pada gaun di tangannya. "Aku pasti sudah gila dulu karena begitu mengagumimu."
"Kau tidak gila." Raven berdiri, berjalan menghampiri Mova.
"Aku sangat tampan, kau memang pantas kagum padaku." Bersamaan dengan kata-kata itu Raven memeluk pinggang Mova.
"Apa yang kau lakukan?" Mova memberontak cepat. Sia-sia saja karena lengan kokoh Raven membelenggu erat pinggangnya yang kecil tersebut.
"Dan kau bahkan tidak perlu lagi mengemis cinta padaku." Raven menjatuhkan kepalanya di bahu rapuh Mova. "Karena sekarang aku yang akan memberikan cintaku secara suka rela."
"Tuan Raven!" bentak Mova. "Sadarlah!"
"Aku 100 persen sadar akan kalimatku, sayang." Raven makin jadi. Suaranya yang mengalun lembut membuat Mova kian ingin melepaskan diri. Tapi setiap dia membuat pergerakan, Raven akan semakin mengeratkan pelukannya.
...****...
"Aku mau pulang." Mova mencicit cepat dibalik punggung Raven begitu pintu terbuka. Lautan manusia membentang di depannya. Semua mengenakan pakaian yang gemerlap. Cantik dan tampan-tampan pula. Mova jadi insecure melihatnya.
"Apa yang kau takutkan?" Raven menarik Mova dari punggungnya agar berjalan beriringan menembus kerumunan.
"Mereka akan menghinaku." Ini kemungkinan yang paling Mova takutkan. Wajah cantiknya yang dipoles make up sudah terlihat masam.
"Kau memang pantas mendapatkannya." Raven hanya bermaksud bergurau tapi wajah Mova sudah semakin masam.
"Aku hanya bercanda." Raven mengkoreksi cepat. Pegangan di tangan ia pindahan ke pinggang Mova.
"Tenang saja. Kalau mereka menghinamu, aku yang akan balas menghina mereka. Ok?"
Mova tidak membalas. Hanya berdoa dalam hati semoga Raven tidak berbohong.
Kediaman Xerox malam ini memang sangat ramai. Berbagai orang dari kalangan atas berkumpul di aula utama. Riuh rendah penuh dengan topik utama akan kejayaan keluarga Xerox. Sebagai perusahaan berlian terbesar di Asia, keluarga Xerox memang pantas mendapatkan kejayaan mereka. Ditambah lagi kesuksesan putri semata wayang mereka di dunia moddeling membuat nama keluarga Xerox kian gemerlap. Semua orang iri.
"Itu Danela."
Kerumunan langsung riuh saat Danela Xerox menuruni anak tangga dengan anggunnya. Perempuan itu melempar senyum manis, membuat semua orang kagum. Terlebih kecantikannya sangat luar biasa, belum lagi badannya yang berlekuk indah. Jangan lupa balutan baju mahal yang ia kenankan.
Mengikuti arah pandang orang-orang di sekitarnya, Mova menemukan seorang perempuan cantik dan anggun. "Ya ampun dia terlihat seperti dewi yunani," gumam Mova tanpa sadar.
"Jangan begitu. Kau juga dewi."
Mova mendelik mendengar pujian Raven. "Kau ini buta atau bagaimana?" Jelek sepertinya tidak mungkin mirip seorang dewi.
"Ya sudah." Raven menarik kembali pujiannya. "Kau mirip gembel. Bagaimana? Puas?"
Mova mengerutkan bibir dibuatnya.
"Tuan, Seantinel." Para-para penjilat yang menyadari keberadaan Raven segera berkerumun. Mova menghela nafas pelan, menyiapkan dada yang lapang untuk kebosanan yang akan datang.
"Wah-wah siapa ini, Raven?" Setelah mengumumkan pembukaan pesta, Braden Xerox dan istirnya bergabung di kerumunan Raven.
Mereka yang merasa kalah oleh kedekatan Braden dan Raven pun memilih menjauh. Takut hanya menjadi nyamuk.
"Ah ini, Mova." Raven menarik pinggang Mova lebih rapat. "Kekasihku."
"Kekasihmu?" Nyonya Xerox tertawa, matanya menscan penampilan Mova dari atas ke bawah.
"Memang tidak cantik," ujar Raven memberi senyum mematikan pada nyonya Xerox. "Tapi aku menyukainya."
Nyonya Xerox hanya tertawa meresponsnya. Tetap saja kepalanya tidak yakin Mova adalah kekasih Raven.
"Raven, ini putriku Danela." Braden memanggil Danela untuk mendekat.
Danela mengulurkan senyum bersama uluran tangan. Raven menyambutnya. Ketika Mova ikut mengulurkan tangan Danela menarik cepat tangannya. Berpura-pura tidak melihat menyadari uluran tangan Mova sama sekali.
"Sudah kubilang berapa kali eh?" Raven menarik tangan Mova, membawanya untuk memeluk lengannya. "Jangan mengulurkan tangan pada orang tidak jelas.
Orang tidak jelas?
Hati Danela bergetar panas. Dia bukan orang tidak jelas. Dia adalah Danela. Putri satu-satunya keluarga Xerox. Seorang model papan atas yang membintangi banyak majalah dan iklan. Dia orang yang terkenal.
"Astaga anda posesif sekali," ledek Branden berusaha melepaskan putrinya dari amarah.
"Apa anda tidak berbuat demikian pada pasangan anda?"
Branden tertawa. "Tentu saja iya." Dia lalu mengapit lengan istrinya.
"Ayo minum." Branden melepas lengan istirnya, berganti merangkul bahu Raven. Otomatis tangan Mova pun terlepas.
"Aku akan segera kembali." Kalimat Raven sama sekali tidak menghibur Mova.
Dia menghentak kesal kakinya. Menjadi menyesal karena mengikuti Raven.
"Kau sungguh kekasih Raven?"
Ah Mova lupa masih ada Nyonya Xerox dan putrinya.
"Hei kau dengar tidak?" Nyonya Xerox berseru kesal karena Mova justru melamun.
"Maaf." Mova membungkuk sedikit, lalu berbalik pergi.
"Tidak sopan sekali," cibir Danela.
Mova sendiri tidak peduli. Mau dia sopan atau tidak, dia tidak peduli. Apalagi jika Nyonya Xerox tersindir atau marah, dia tidak akan peduli. Toh wanita itu bukan siapa-siapa baginya.
Sekarang yang menjadi visi utama Mova adalah bagaimana caranya keluar dari ruangan sumpek tersebut. Bahkan jika harus menunggu Raven, dia rasa itu lebih baik di luar daripada di dalam.
Ayo pikirkan caranya Mova.
...***...
Reminder: Bagi yang gak suka sile cari cerita lain😁
Author disini author baru, belum berpengalaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments