NovelToon NovelToon

Mova And Mr.CEO

Si Norak Itu Bernama Mova

"Kamu ini mau bekerja atau kemana sih?" Mova menjatuhkan tubuhnya ke kursi, melewati sahabtanya yang berkacak pinggang dengan tatapan berang.

"Tentu saja kerja." Mova membuka laptopnya. "Apa menurutmu aku kelihatan ingin ke pesta eh?"

"Kau bukan ingin ke pesta tapi ke taman kanak-kanak," suara Elin naik satu oktaf. Kepalanya mendadak migrain. Gadis dengan rambut diikat dua dihadapannya tersebut sudah berusia 20 tahun, namun gayanya entah kenapa selalu berkebalikan dengan usianya.

"Apa yang salah?" Mova melirik Elinnya dengan dahi mengerenyit.

"Tentu saja kuncir duamu dan warna pakaianmu. Semuanya norak!" teriak Elin membangunkan rekan-rekannya untuk ikut menatap aneh pada Mova.

"Kamu sudah 20 tahun, tidak pantas berkuncir dua dan berpakaian serba pink. Oke, itu tidak akan salah jika wajahmu imut seperti hamseter. Sayangnya wajahmu itu menjijikan seperti tikus comberan, Mova!" Kalimat sarkas Elin mengundang tawa dari para rekan kerjanya. Mova memutar tubuh pada laptopnya. Sudah biasa, pikirnya.

"Teruslah berpura-pura tuli sampai kau dibully habis-habisan oleh mereka." Elin kembali ke kubikelnya dengan perasaan kesal. Katakan saja kalimatnya kasar, tapi disebalik itu dia hanya tidak ingin Mova menjadi bahan hinaan divisi Keuangan. Divisi Pemasaran mungkin sama-sama merasakan jijik dengan gaya Mova, tapi mereka sudah disihir oleh kebaikan hati Mova.

Namun tidak dengan divisi keuangan yang didominasi oleh orang-orang kasta atas itu. Belum lagi perempuan berpakaian ketat dengan belahan dada rendah dan sikap sok bossy-an alias wakil Manajer Keuangan tersebut.Hobbynya setiap hari menjahili, menghina dan membuat malu Mova.

"Gadis tolol!" umpat Elin tertelan kekesalannya lagi.

"Dia ingin membantumu."

Mova mendongak, gadis berambut pirang sebahu ia dapati. Namanya Helen, perempuan kedua yang paling dekat dengan Mova setelah Elin. Perawakannya yang lembut terimplementasikan dari cara berpakaiannya yang elegan.

"Jadi, aku harus apa?" Mova terjebak frustasi. "Aku memang seperti ini, bahkan jika aku berubah seperti yang mereka mau aku hanya membuat diriku merasa suram."

"Apa ini berarti kamu senang dibully terus?"

"Tentu saja tidak," sambar Mova. Dia benci saat rekan wanita yang lain mentertawainya dengan jahat. Dia benci Wakil Manjer Divisi Keuangan yang melabelinya idiot.

"Kalau begitu berubah lah." Helen menydorokan sebuah kertas berukuran 9×6 cm. "Aku mendapat diskon di salon hari ini. Kamu bisa mengambil kesempatan ini untuk bersinar."

Mova menerima kertas tersebut dengan perasaan bingung. "Terimakasih," katanya pada akhirnya. Tidak boleh menolak rezeki, itu yang ia pelajari dari mamanya.

"Santai saja." Helen menepuk bahunya sekali, lalu melenggang pergi.

"Apa aku kelihatan benar-benar idiot?" Mova meletakkan kertas tadi di meja, mengambil ponselnya untuk berkaca sebagai gantinya.

Apa yang aneh, pikirnya. Bahkan kuncir duanya rendah, tidak tinggi seperti anak-anak TK. Dia memang memiliki jerawat berat di wajahnya, tapi dia tidak percaya itu akan menjadi masalah dengan caranya berpakaian. Apapun warna kulitnya, dia rasa dia bebas memakai warna apapun. Termasuk pink.

"Lagipula ini pink soft," gumamanya.

"Meneliti kejelekanmu, nona?"

"Aaaaaaaaa."

Hansen menarik tubuhnya cepat dari wajah Mova. Sengaja ia mengejutkan gadis itu dengan langsung mengukungnya dari belakang. Sayang telinganya malah terancam budek oleh suara tinggi gadis tersebut.

"Kenapa kau bisa disini?" Mova memicing tajam pria di sampingnya. Rapi dengan balutan jas kerjanya.

"Kenapa tidak? Hakku lebih besar darimu."

Mova mencibir kesombongan Hansen dalam hati. Jika dia mengatakannya dengan nyata, ia jamin dirinya sudah tidak ada lagi di Seantinel Corp. Seperti yang kalian duga, orang-orang dengan pangkat tertinggi memiliki kuasa untuk berbuat apa saja.

"Cepat ke ruangan bos." Hansen menarik tanpa perasaan hidung Mova, menyandarkan gadis itu dari umpatannya.

"Sakit tahu," dia mengomel. Hatinya panas tidak memiliki keberanian membalas Hansen kembali.

"Siapa suruh kau melamun," kata Hansen menyalahkan. "Dasar idiot! Cepat sana!"

"Ada urusan apa sih?" Mova bangkit, mengemas buku keramatnya bersama ponsel dan pena.

Hansen tersenyum miring. "Mungkin kamu ingin dipecat."

"Enak saja, kinerjaku selalu bagus tahu." Yup, inilah kelebihan Mova yang membuat Seantinel Corp terpaksa mempertahankannya. Kinerjanya bagus, terutama analisa pemasarannya. Dalam beberapa bulan kedepan, meski tidak senang Hansen yakin Mova bisa naik pangkat.

"Itu hanya menurutmu. Siapa tahu menurut bos kau hanya seperti lembu yang tidak berotak."

"Aku doakan kau mendapat karma kilat hari ini." Mova memeluk bukunya, mengambil langkah meninggalkan ruang pemasaran. Dengan Hansen yang mengekori dari belakang. Seperti Elin, dia juga tidak habis pikir dengan gaun pink yang Mova kenakan. Belum lagi ikat dua gadis itu, sepatu pinknya jangan lupakan. Yang menyebalkan lagi buku, gagang kacamata, softcase ponsel dan penanya juga berwarna pink.

"Sampai kapan kau akan memakai pink?" Hansen bertanya jengah, sembari mensejajarkan langkahnya pada Mova.

"Sampai kau berhenti memakai warna hitam." Hansen mendelik. Tidak mungkin dia berhenti memakai warna hitam, itu satu-satunya warna yang identik dengan laki-laki. Lagipula warna jasnya peraturan dari kantor.

"Jangan aneh! Ini memang dress code kantor, memangnya sepertimu. Setiap hari pink, sampai-sampai aku muak dengan wajahmu."

"Mau kau muak atau tidak aku tidak peduli " Mova menjulurkan lidahnya.

"Tentu saja kau harus peduli." Hansen menyugar rambutnya, kebetulan Mova meliriknya. Ia pun segera mengedipkan sebelah matanya menggoda. "Aku tampan, kau harus berusaha masuk kualifikasiku."

"Daripada memenuhi kualifikasimu, lebih baik aku menjadi jomblo seumur hidup."

"Jangan sombong, nona." Hansen mendorong pelan dahi Mova. "Sebentar lagi kau pasti akan memohon-mohon untuk seorang kekasih."

"Kalau tidak?" tantang Mova.

"Aku akan melemparmu ke Pluto," ancam Hansen.

Mulut Mova ingin melancarkan bantahan, sayang keduanya sudah sampai di ruang pertemuan. "Kukira kita akan ke ruangannya yang super mewah itu." Mova mendesah kecewa. Bukan rahasia umum, ruangan bos memang favorit seluruh karyawan. Mewah, besar dan nyaman.

"Kira-kira kapan aku bisa mendapatkan seperti itu?"

"Mungkin setelah kau mati," sarkas Hansen mendorong pintu besar di hadapan mereka.

"Kenapa kau tidak mengetuk?" omel Mova bersembunyi di balik badan besar Hansen. Kalau dimarahi, setidaknya bukan dia yang pertama.

"Seperti perintahmu, gadis norak sudah disini." Hansen menarik Mova dari persembunyian.

"Sial," gadis itu merutuki kejahilan Hansen. Lihat saja nanti, dia pasti akan membalasnya.

"Duduk!"

Punggung Mova mengiggil segera dengan suara sedingin Antartika tersebut. Ia manjatuhkan bokongnya ke kursi empuk dengan menebak-nebak kemungkinan yang terjadi.

"Presentasikan analisa pemasaran terakhir." Raven Seantinel menarik pandangan dari ponselnya, berpindah pada perempuan serba pink di hadapannya.

"Laporan itu sudah saya berikan pada manajer pemasaran, pak." Mova menjawab sopan.

"Dia sedang berlibur ke Hawai."

Apa? Mova melotot secara spontan mendengar fakta tersebut. "Saya akan memanggilkan wakilnya kalau begitu, Pak."

Mova baru akan berdiri ketika suara dingin Raven menginterupsi lagi,"duduk!"

Hansen terkikik melihat perempuan itu kembali duduk dengan kaku. "Aku dengar kau tokoh utama di sana. Kau pasti bisa menjelaskannya, bukan?" Hansen memperjelas kesengsaraan Mova.

"Kau tidak perlu meletakkan tanda tanya, dia memang harus melakukannya." Raven menyatukan dua tangannya di depan dada. Manik hitamnya yang setajam belati menghunus keberanian Mova untuk mengatakan tidak.

"Aku bukan pria sabar." Suara Raven rendah dan berbahaya. Mova yang menyayangi nyawanya langsung saja membuka buku keramatnya.

Ah, untung saja dia punya itu.

Peringatan Pertama

"Ganti pakaianmu!"

Mova baru menghela nafas lega, namun kembali dihadapkan pada masalah baru. Raven menyandarkan punggung lebarnya pada kursi. Membiarkan matanya menscan tubuh Mova dari atas ke bawah sementara gadis itu mengumpulkan keberanian untuk membantah atau sekadar bertanya kenapa.

"Saya rasa tidak ada yang salah dengan pakaian saya."

"Itu menurut anda, bukan saya." Raven memutuskan harapan Mova dalam sekali tarikan nafas. "Apa kamu keberatan?"

"Ya," batin Mova beteriak.

"Saya akan mempertimbangkannya," kata Mova pada akhirnya.

"Ini bukan negosiasi, Nona." Raven menyerang bersama tatapan berangnya. Ia tidak suka dibantah. Terlebih oleh seseorang yang berada di bawahnya.

"Baik, Pak. Saya mengerti." Mova memundurkan kursinya. Pokoknya dia harus segera keluar dari ruangan tersebut. Itulah visinya dalam waktu singkat ini.

"Sekarang!" tekan Raven.

"Maksud, Bapak?" Mova bukannya tidak mengerti, dia hanya mencoba tidak mengerti. Berharap ada kemungkinan lain yang bisa membantunya.

Raven melirik jam yang melingkar di tangannya. "3 jam," katanya. "Saya pikir itu cukup untukmu pergi ke mall dan berganti baju."

"Saya tidak punya uang." Seketika Mova teringat. "Ini belum waktunya gajian," tambahnya.

"Lain kali saja ya, Pak." Harapan ia tuangkan ke penuh dalam kalimatnya tersebut. Lah emangnya Raven peduli?

"Beli semuanya!" titah Raven menydorokan kartunya.

Blackcard? Ya Tuhan Mova ingin pingsan. Setelah dia mendengar dari Elin baru kali ini bisa memegangnya.

"Tapi..." Mova ingin menyerahkan kembali kartu di tanganya, namun mata iblis Raven membungkam mulutnya.

"Kamu ingin jadi pengangguran segera?"

Jawabannya tentu saja tidak.

"Saya permisi, pak." Mova berlari meninggalkan ruangan. Urusan kartu nanti saja, yang penting ia terbebas dari iblis.

"Ah, akhirnya kau melakukannya juga." Hansen meninggalkan jendela. Ketika Mova dan Raven berbincang ia telah mengambil kesempatan untuk menyesap sebatang rokoknya. Niatnya sih ingin menganggu Mova, tapi ia keburu takut diomel Raven dan berujung menjadi pengangguran.

"Aku sudah muak melihatnya setiap hari seperti itu," curhat Hansen. "Ingin rasanya aku menjedotkan kepalanya ke dinding agar sadar. Sayang hatiku terlalu baik," lanjutnya lebay.

"Ngomong-ngomong, kau tidak pernah sepeduli ini dengan karyawan kan?" Hansen memicing curiga pada bosnya yang tengah membolak-balikkan buku keramat Mova. Ia senagaja memintanya tadi untuk menilai kemampuan Mova.

"Aku butuh sekertaris baru." Tanpa berbelit-belit Raven menyampaikan maksudnya.

"Kenapa? Kinerja Jenifera menurun?" Hansen mengukir senyum miring. "Tentu saja, yang dia tahu hanya cara merangkak ke ranjangmu," sambungnya.

"Seperti itulah." Raven menutup bukunya. "Pergi awasi dia, kemudian bawa kembali ke HRD untuk urusan pemindahannya."

"Thank you, my friend." Hansen menepuk-nepuk bahu Raven dalam luapan kegembiraan. "Akhirnya aku bisa libur juga," lanjutnya melangkah menjauhi Raven dengan hati lega.

Plusnya dia bisa mengomentari Mova. Ah, itu kebahagiaan ganda untuknya.

...***...

"Tidak ada warna pink!" Hansen merebut kemeja pink dari tangan Mova, menggantungkannya lagi pada tempat yang seharusnya.

"Kenapa kau yang mengatur?" Mova merutuk, mengambil lagi kemeja pink dari tempatnya.

"Karena aku utusannya." Hansen menyungging senyum jahat. "Kau tidak takut aku laporkan padanya eh?"

"Dia memang meminta aku membeli pakaian, tapi dia tidak mengatakan kalau aku tidak boleh memakai pink." Hansen bungkam. Apa yang diperjelas Mova memang benar.

"Baik, pink. Tapi aku yang memilih." Hansen menarik mundur kerah Mova. Duh hampir saja dia mati kehabisan nafas. Dasar Hansen!

"Aku tidak akan memakainya." Mova bersidekap dada, menghujam punggung Hansen dengan ketidaksukaan.

"Kau akan memakainya," ujar Hansen yakin.

"Tapi kau yang membayarnya."

"Oke," setuju Hansen.

Yang benar saja. Ini diluar ekspektasi Mova. Tapi bagus lah, ia mengulas senyum licik. "Yang itu sepertinya bagus."

Dia menunjuk kemeja pink berlengan panjang dengan pita imut di depan dada. Jika dipadukan rok mini pasti bagus, pikir Hansen.

"Baiklah, ambil."

"Yes." Mova berseru, mengambil kemeja tersebut. "Aku mau yang itu juga."

Dia menunjuk kemeja lain, kali ini tanpa bahu. "Pilihanmu lumayan bagus." Hansen mengambilnya.

Tidak masalah pink. Asalkan tidak sekuno model pakaian Mova saat ini, dia akan mengambilnya. Persetanan dengan uang, dia memiliki lumbung emas untuk digali saat butuh nanti.

"Aku tidak mau rok ini!" Pegawai yang berjaga langsung menyenternya. Mova pura-pura tidak melihat, meski ia sudah terjebak malu dalam hati.

"Kenapa ini sexy." Hansen memberikan tumpukan pakaian kepada kasir yang masih menontoni mereka.

Mova mendumel tidak senang. "Itu kurang bahan."

"Hanya kurang beberapa senti, tidak sampai bolong-bolong seperti Jenifera."

Oke itu tidak bisa dibantah. Namun tetap saja wajah Mova tertekuk dalam. Untung dibayarin, jika tidak dia akan menukar pakaian tersebut secepat kilat. Jika tidak berakhir pada Helen, dia bisa memberikannya pada Elin. Ide bagus, dia belum pernah memberikan hadiah pada dua temanya.

"Jangan coba-coba tidak memakainya," ancam Hansen seakan tahu jalan pikiran Mova. "Akan kuminta kau menggantinya 9 kali lipat."

Udah intinya harus dipakai, pikir Mova menyemangati dirinya.

"Ini pasti akan jelek jika aku memakainya." Mova melanjutkan dumelanya ketika mereka sudah keluar dari mall. Sepenuhnya dia menekan otaknya untuk melupakan banyaknya nol dari barang belanjaannya tadi. Salah Hansen sendiri yang mau membelikannya.

"Bagus kalau kau tahu." Hansen menarik pintu mobilnya, tentu saja dia tidak akan membantu Mova untuk hal tersebut. Jadilah gadis kurus itu menarik pintu dengan susah payah.

"Kalau kau tahu, kenapa tetap membelinya? Buang-buang uang tahu."

Ah, Mova tidak yakin dia akan memakai semua benda tersebut. Lihat, bahkan pegawai yang mengantarkan pakaian ke mobil mereka datang dengan kewalahan. Sepenuhnya dia yakin, dia telah memiliki semua barang yang seharusnya perempuan miliki.

Harusnya dia bahagia, bukan?

"Apa masalahnya? Aku kaya, tidak sepertimu yang bahkan tidak bisa membeli pakaian sendiri." Hansen menyempatkan diri menyodorkan uang tip pada pegawai yang telah memindahkan barang ke bagasinya.

"Aku jadi bingung, sebenarnya kau ini bekerja untuk apa?"

"Tentu saja untuk uang." Mova menarik keluar ponselnya, jam makan siang hampir datang. Dia yakin Elin sedang kebingungan mencarinya.

"Lalu,kau gunakan untuk apa uang itu?"

"Yang pasti tidak untuk mentraktirmu."

"Aku juga tidak butuh traktiranmu."

"Bagus," kata Mova mengakhiri debat mereka.

"Aku akan makan siang terlebih dahulu." Hansen membawa mobilnya menuju utara, dekat tepi pantai ada restauran favoritnya. Makan siang di sana sepertinya akan menyenangkan, pikirnya.

"3 jamku sudah habis. Aku harus kembali ke kantor."

Hansen melirik sekilas jam yang melingkari pergelangan tangannya. "Hanya sebentar," katanya.

"Kalau bos marah, semua salah ada di bahumu."

"Deal."

Dan merekapun berakhir di Restauran seafood bertema pantai. Sepoi angin yang datang dari jendela terbuka menambah kenyamanan keduanya.

"Sepiring Risotto Lobster dan blue ocean soda," pesan Hansen pada waiter berbalut seragam hitam dengan tubuh atletisnya. Ah, restauran tersebut memang pandai memanjakan tamunya. "Kau mau apa?"

"Apapun yang penting dengan nasi." Mova mengulas senyum hingga ke matanya.

"Maaf, pembantuku dari zaman purba." Waiter itu langsung menahan tawa, bahaya jika meledak. Ia bisa dipecat oleh bos apalagi jika perempuan serba pink tersebut mengajukan tuntutan.

"Baiklah, saewoo bokumbob satu dan...."

"Aku mau ini." Mengabaikan hinaan Hansen, Mova menunjuk pada buku menu.

"Ojjingeo Tonggui satu dan air mineral."

"Aku juga mau minuman sepertimu," protes Mova. Bibirnya yang dipoles lipstik orange maju beberapa senti, entah kenapa membuat Hansen tergelitik untuk tersenyum gemas.

"Tidak! Uangku sudah habis karenamu."

"Salah sendiri mau mentraktirku."

"Itu karena aku sudah muak dengan gaya norakmu."

"Apa yang norak? Pink itu warna yang elegan."

"Nih makan nih elegan." Hansen menyentil berkali-kali dahi Mova. Seperti kucing malang, gadis itu mengadu kesakitan.

Aish, tidak ada hari tanpa bullyan, pikirnya.

Teman Masa Kecil

Karimova Liana, perempuan serba pink dengan tubuh kurus serta jerawat pasir di wajahnya. Tidak cantik, tentu saja. Menarik? Cih bahkan tikus got lebih menarik. Begitulah sosok Mova dimata Mandy. Dia tidak harus khawatir Hansen jatuh hati pada gadis itu, toh kenyataanya tidak akan pernah mungkin terjadi.

Tapi gadis itu pintar. Mandy mengetuk-ngetuk jarinya gelisah ke meja, matanya melirik terus jam di dinding. Sudah tiga jam lebih, namun Hansen belum kembali. Ketakutan-ketakutannya berseliweran.

"Akhirnya." Pintu terkuak, Hansen masuk dengan jas tersampir di bahu. Langsung saja ia menjatuhkan penatnya pada sofa.

"Darimana saja kau?" Mandy menggerutu.

"Sekalipun aku dari pluto, itu bukan urusanmu." Hansen menutup wajahnya dengan jas setelahnya. Ia tahu wajah Mandy berubah merah seperti apel, lah bodo amat. Dia sangat lelah, saat ini yang dia butuhkan hanyalah istirahat.

"Aku sudah memesan makanan untukmu." Dalam sekejap kemarahan Mandy dibutakan oleh cinta. Ia meraih kotak di hadapannya. Itu Sup Kepiting, makanan favorit Hansen.

"Aku sudah kenyang." Hansen menarik nafas, membuang semua pemikirannya ke udara. Oke, waktunya tidur.

Jari-jemari lentik Mandy bersatu, menjadi tinju yang bisa menghantam kesadaran Mova. Lihat saja gadis itu. Mandy bangkit meninggalkan mejanya. Ia menutup pintu hati-hati, menjaga agar Hansen tidak terganggu dari tidurnya.

***

"Kau darimana saja?" Seperti figur ibu yang melihat anaknya terlambat pulang. Elin berkacak pinggang di pintu, memblok Mova untuk masuk.

"Urusan kerja," jawab Mova santai. Ia mencuri pandang Helen dibelakang Elin yang melintaskan tangannya di depan leher. Mati lah kau, itu yang ia tangkap.

"CEO tampan kita mencarimu." Elin memutar tubuh, jika memang urusan kerja dia tidak akan banyak bertanya.

Blackardnya. Mova teringat. Jangan-jangan CEO tidak makan gara-gara kartu tersebut di tangannya. Matilah dia. Mova tergesa-gesa mencapai lift. Yey, akhirnya dia bisa ke ruangan mewah itu.

Ting

Kotak lift sampai di lantai 23, lantai teratas yang merupakan milik para petinggi. Kaki Mova baru melangkah keluar ketika Jenifera menghadangnya. Wanita yang menurutnya datang ke kantor hanya untuk pamer outfit tersebut menatap sinis padanya dari atas ke bawah.

"Sejelek ini, hmm aku yakin Tuan Raven sedang mabuk?"

Mova tidak mengerti, tapi ia membalas dengan tatapan tajam. Jangan kira hanya para atasan yang bisa memiliki mata seperti itu, dia juga punya. Bahkan lebih tajam mengintimidasi mereka.

"Kenapa kau melihatku seperti itu hah?" teriak Janifera tidak senang. "Kau marah? Ayo teriak."

"Dasar gila!" cibir Mova.

"Kau bilang apa?" Tangan Jenifera terangkat bersama panas yang memuncak di kepalanya.

Plak

Mova meringis, memegang pipinya yang mungkin sudah memerah. Kekuatan Janifera memang jelas lebih kuat darinya. Wanita berlekuk tersebut punya porsi tubuh kuat yang tidak dimiliki Mova.

"Periksa kesehatan mentalmu, Jenfier."

Tidak hanya Jenfier yang tersambar petir, tapi juga Mova. Raven melangkah mendekati mereka tanpa ekspresi. Langkahnya tegap dan berwibawa, aura tak terbantahkan yang berbaur ketampanannya membuat Mova menahan nafas. Tidak, dia tidak boleh terpesona dengan pria itu.

"Dia yang memulai, Pak." Secepat jet Jenfiera melemparkan kesalahan pada Mova.

"Ya, aku yang memulai." Mova mengiyakan. Dia malas bergelut dengan perempuan ular tersebut. Mengalah saja. Nanti karmanya juga akan ditransfer kepada Jenfiera, bukan dia.

Jenfiera ingin meneriaki Mova lagi. "Sok baik!" cetusnya dalam hati. Tapi dia sadar wajah tidak senang Raven sudah menghujaninya.

"Tidak ini salahku." Bak aktris, air muka Jenfiera berubah menjadi bawang putih yang teraniaya. "Aku tidak bisa mengontrol emosiku. Maaf."

"Sungguh bermuka dua," batin Mova jijik. Dia yakin Jenifera bisa menjadi salah satu aktris di televisi. Dengan peran antagonis pastinya.

"Pergi!" usir Raven menggerakkan segera kaki Jenfiera yang dilapisi heels 7 cm untuk melangkah.

"Ini, pak." Mova mengambil kesempatan cepat. Ia menyodorkan blackard Raven.

"Ada yang ingin saya bicarakan." Setelah menerima blackardnya kembali, Raven memimpin Mova menuju ruangannya.

"Mulai besok kamu akan menjadi sekretaris saya." Belum sempat Mova menikmati keindahan ruangan Raven, pria itu sudah memberikan kejutan.

"Maaf, bukannya sekretaris bapak Jenfiera ya?" Mova yakin 100 persen, no boraks dan formalin. Setelah ini dia pasti akan diintai oleh Jenfiera untuk masuk ke dalam bahaya.

"Apa ini maksudnya kamu menolak?" Raven menatap Mova dengan tatapan tidak mengerti. Ada banyak karyawati yang memanjat ingin menjadi sekretarisnya. Selain ingin merangkak lebih dekat padanya mereka juga tergiur untuk menjadi karyawati yang paling berpenghasilan tinggi. Menginjak kepala orang lain, mereka tidak akan peduli hal tersebut asal bisa mendapatkan posisi. Namun kelihatannya Mova malah lebih senang kepalanya yang menjadi pijakan wanita lain.

"Tidak, pak." Mova menggeleng segera.

"Bagus, tadi kamu sudah ke HRD bukan?"

HRD? Bahkan sampai, dia langsung lari ruangannya. Meninggalkan Hansen yang mengumpatnya tidak tahu terimakasih.

"Belum, Pak."

"Dasar tidak becus!" desis Raven tertuju spesial pada Hansen pastinya. Ia menarik dua tangannya untuk menyatu di depan dada. "Sana pergi ke HRD! Pastikan besok pagi kamu tidak terlambat untuk tugas pertamamu."

"Baik, pak." Mova undur diri di menit berikutnya, meninggalkan Raven dalam keheningannya lagi.

"Bahkan terimakasih pun tidak." Raven membanting tubuhnya pada punggung kursi.

Tidak berharap.Tapi rasanya sedikit kesal.

****

Raven menyipitkan matanya. Ini sudah larut, seluruh karyawan sudah pulang. Dia dan Hansen lah yang biasanya selalu terakhir. Namun di halte seorang perempuan dengan kuncir dua rendah duduk dengan kepala tertunduk. Dia mencoba tidak peduli, tapi mengingat si kuncir dua identik dengan calon sekretarisnya ia menghentikan mobil di depan gadis itu.

"Berniat menjadi penunggu halte, nona?" katanya menyembulkan kepala lewat jendela mobil.

Bibir Mova berkedut atas suara dingin tersebut. "Tentu saja tidak," teriaknya kesal. Bodo amat CEO, yang penting kesalnya terlampiaskan.

"Lantas pulang lah. Kau mungkin terlalu jelek untuk dibegal, tapi aku yakin kau cukup bagus untuk disantap hantu."

Ih. Mova bangkit dengan kesal. Menjauhi halte dengan kaki dihentak-hentakkan ke tanah.

"Naik lah!" Kaki Mova berhenti. Ia menoleh untuk mendapati wajah tampan CEO-nya yang welcome namun tanpa seberkas senyum.

"Aku tidak uang untuk membayar bensinmu."

Pantas saja dia tidak pulang, pikir Raven. "Aku akan menagih bayarannya lain kali."

Raven mendorong pintu penumpang di sebelahnya. Mova berpikir beberapa kali sebelum akhirnya menapak masuk kesana. Apa yang dia pikirkan adalah bagiamana jika Jenfiera melihat ini, hidupnya akan dalam bahaya. Tapi jika tidak menerima, mungkin dia tidak akan mendapatkan kesempatan lain untuk pulang.

"Apa selalu seperti ini?" Raven merutuki dirinya. Tidak seperti biasa, rasa ingin tahunya meletup. Melihat wajah berminyak Mova yang memaparkan lelah, simpatinya berkumpul satu.

Dia melihat banyak perempuan memperihatinkan, namun baru kali ini yang kelihatan nyata membutuhkan simpatinya. Bukan buatan semata.

"Jika tanggal muda tidak akan seperti ini." Mova merilekskan tubuhnya pada kursi.

"Berapa memangnya gajimu?" Baiklah, keingintahuan Raven bertambah lagi.

"Cukup banyak sebenarnya." Mova menerawang jauh ke luar melalui jendela kaca, langit berbintang mengacaukan hatinya.

Kriukk

Wajah Mova memerah. Dasar perut! Dia mengumpat. Bisa-bisanya dihadapan pria tampan seperti Raven perutnya berteriak.

"Mau makan dulu?" tawar Raven.

"Tidak perlu, pak. Rumah saya sudah di depan, yang bercat putih." Raven kontan menatap lurus jalanan dihadapannya. Melihat gaya hidup Mova, ia kira gadis itu tinggal di kolong jembatan. Ternyata sebuah perumahan kelas atas dengan pagar tinggi.

Sebenernya jarak rumah dan kantor Mova tidak jauh, dia bisa berjalan kaki tadi jika saja tidak mengingat lelah di tubuhnya. Tadinya ia pikir istirahat tiga puluh menit tidak akan masalah, nyatanya malah membuatnya bertemu Raven.

"Rumah yang bagus," puji Raven berhenti pada sebuah rumah besar bercat putih elegan.

"Terimakasih, pak." Mova mendorong pintu mobil. Langkahnya lemah, barangkali dipengaruhi tubuhnya yang kurus pikir Raven.

"Darimana saja kau?" Gerbang terbuka, menampilkan sosok perempuan berpakaian nyentrik. Sifat hedonis di wajah jahatnya membuat pencernaan Mova mendadak mual.

"Bajuku banyak yang belum kau cuci." Perempuan lain muncul, berpakaian minim dengan surai kecoklatan. Kamara namanya.

"Kamarku juga belum kau rapikan," tambah Samara. Dia adik Kamara yang berperawakan cantik dengan rambut emas. Bulan lalu dia mewarnainya sama seperti Kamara, namun karena beberapa hal dia mengubahnya lagi.

"Tunggu-tunggu..." Nyonya Maverick baru sadar kehadiran mobil sport di depannya bersamaan dengan pria tampan yang ia yakin pernah ia lihat di sampul majalah favoritnya. "Siapa ini?"

"Kau bekerja di perusahaan besar saja masih menimbulkan tanda tanya bagiku dan sekarang kau pulang bersama titisan dewa. Tanda tanyaku semkin banyak, Mova. Cepat jelaskan padaku siapa dia!" Nyonya Maverick menyenter galak Mova.

"Raven Seantinel, pemilik Seantinel Corp."

"Pantas saja aku pernah melihatnya," gumam Kamara.

"Rumahmu besar, aku kira kalian punya supir." Raven membalas tanpa repot-repot keluar dari mobilnya. Wajah Nyonya Maverick menjadi pias mendengarnya.

Mampuslah kau, Mova. Kesalahan pasti akan diletakkan di bahumu semua.

"Selamat malam, Tuan CEO." Samara menyungging senyum manisnya. Fix, kepala nyonya Maverick bertambah pusing.

"Apa aku mengenalmu?"

"Tentu saja." Rumah bersebelahan, satu bangku di kelas yang sama, teman bermain petak umpet. Samara mengingatnya. " Aku Samara."

Samara membentuk love dengan jarinya. Seperti dihantam besi, potongan masa lalu melintas di kepala Raven.

"Kau Samara Maverick?" Mata Raven penuh ketidakyakinan, ia menscan segera tubuh Samara dari atas ke bawah. Tidak sama lagi dengan little Samara, tapi garis wajah gadis itu masih membawa kenangan bagi Raven.

"Itu aku." Senyum Samara melebar hingga ke mata. Kamara dipenuhi kecemburuan melihatnya. Raven Seantinel, teman Samara. Itu berarti bocah tengil yang suka meneriakinya norak karena belajar memakai lipstik mamanya. Bagiamana mungkin bisa menjadi CEO.

Nyonya Maverick masih ingat jelas anak itu suka merusak kebunnya. Ah siapa yang peduli kebun itu lagi. Jika Raven menjadi menantunya, semua kerugian itu bahkan bisa tertutupi malah melebihi. Dia bisa menikmati masa tuanya dengan bahagia.

"Aven, ah aku tidak percaya ini kau." Nyonya Maverick menerima perannya sebagai mertua yang baik dengan cepat. "Ayo, masuk. Aku akan menyiapkan sup kesuakaanmu."

"Ayo." Samara menyelipkan tangannya di jendela yang terbuka, menarik tangan Raven untuk bergerak.

"Aku tidak percaya ini kau " Raven masih menscan tubuh Samara ketika mereka melangkah bersama menuju rumah.

"Apa yang tidak kau percayai? Nah." Samara menyodorkan pergelangan tanganya. Sebuah tato kecil berbentuk bulan dililit sakura ada disana. Tidak besar tapi cukup besar mengingatkan Raven pada masa kecilnya.

"Aku mendapat masalah karena ini di SMA tahu," gerutu Samara. "Ibu bahkan hampir memotong tanganku untuk ini."

"Salahmu dulu memintaku mengambarnya," ejek Raven.

"Reunian para iblis," gumam Mova menarik bibirnya untuk sebuah senyum miris.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!