Karimova Liana, perempuan serba pink dengan tubuh kurus serta jerawat pasir di wajahnya. Tidak cantik, tentu saja. Menarik? Cih bahkan tikus got lebih menarik. Begitulah sosok Mova dimata Mandy. Dia tidak harus khawatir Hansen jatuh hati pada gadis itu, toh kenyataanya tidak akan pernah mungkin terjadi.
Tapi gadis itu pintar. Mandy mengetuk-ngetuk jarinya gelisah ke meja, matanya melirik terus jam di dinding. Sudah tiga jam lebih, namun Hansen belum kembali. Ketakutan-ketakutannya berseliweran.
"Akhirnya." Pintu terkuak, Hansen masuk dengan jas tersampir di bahu. Langsung saja ia menjatuhkan penatnya pada sofa.
"Darimana saja kau?" Mandy menggerutu.
"Sekalipun aku dari pluto, itu bukan urusanmu." Hansen menutup wajahnya dengan jas setelahnya. Ia tahu wajah Mandy berubah merah seperti apel, lah bodo amat. Dia sangat lelah, saat ini yang dia butuhkan hanyalah istirahat.
"Aku sudah memesan makanan untukmu." Dalam sekejap kemarahan Mandy dibutakan oleh cinta. Ia meraih kotak di hadapannya. Itu Sup Kepiting, makanan favorit Hansen.
"Aku sudah kenyang." Hansen menarik nafas, membuang semua pemikirannya ke udara. Oke, waktunya tidur.
Jari-jemari lentik Mandy bersatu, menjadi tinju yang bisa menghantam kesadaran Mova. Lihat saja gadis itu. Mandy bangkit meninggalkan mejanya. Ia menutup pintu hati-hati, menjaga agar Hansen tidak terganggu dari tidurnya.
***
"Kau darimana saja?" Seperti figur ibu yang melihat anaknya terlambat pulang. Elin berkacak pinggang di pintu, memblok Mova untuk masuk.
"Urusan kerja," jawab Mova santai. Ia mencuri pandang Helen dibelakang Elin yang melintaskan tangannya di depan leher. Mati lah kau, itu yang ia tangkap.
"CEO tampan kita mencarimu." Elin memutar tubuh, jika memang urusan kerja dia tidak akan banyak bertanya.
Blackardnya. Mova teringat. Jangan-jangan CEO tidak makan gara-gara kartu tersebut di tangannya. Matilah dia. Mova tergesa-gesa mencapai lift. Yey, akhirnya dia bisa ke ruangan mewah itu.
Ting
Kotak lift sampai di lantai 23, lantai teratas yang merupakan milik para petinggi. Kaki Mova baru melangkah keluar ketika Jenifera menghadangnya. Wanita yang menurutnya datang ke kantor hanya untuk pamer outfit tersebut menatap sinis padanya dari atas ke bawah.
"Sejelek ini, hmm aku yakin Tuan Raven sedang mabuk?"
Mova tidak mengerti, tapi ia membalas dengan tatapan tajam. Jangan kira hanya para atasan yang bisa memiliki mata seperti itu, dia juga punya. Bahkan lebih tajam mengintimidasi mereka.
"Kenapa kau melihatku seperti itu hah?" teriak Janifera tidak senang. "Kau marah? Ayo teriak."
"Dasar gila!" cibir Mova.
"Kau bilang apa?" Tangan Jenifera terangkat bersama panas yang memuncak di kepalanya.
Plak
Mova meringis, memegang pipinya yang mungkin sudah memerah. Kekuatan Janifera memang jelas lebih kuat darinya. Wanita berlekuk tersebut punya porsi tubuh kuat yang tidak dimiliki Mova.
"Periksa kesehatan mentalmu, Jenfier."
Tidak hanya Jenfier yang tersambar petir, tapi juga Mova. Raven melangkah mendekati mereka tanpa ekspresi. Langkahnya tegap dan berwibawa, aura tak terbantahkan yang berbaur ketampanannya membuat Mova menahan nafas. Tidak, dia tidak boleh terpesona dengan pria itu.
"Dia yang memulai, Pak." Secepat jet Jenfiera melemparkan kesalahan pada Mova.
"Ya, aku yang memulai." Mova mengiyakan. Dia malas bergelut dengan perempuan ular tersebut. Mengalah saja. Nanti karmanya juga akan ditransfer kepada Jenfiera, bukan dia.
Jenfiera ingin meneriaki Mova lagi. "Sok baik!" cetusnya dalam hati. Tapi dia sadar wajah tidak senang Raven sudah menghujaninya.
"Tidak ini salahku." Bak aktris, air muka Jenfiera berubah menjadi bawang putih yang teraniaya. "Aku tidak bisa mengontrol emosiku. Maaf."
"Sungguh bermuka dua," batin Mova jijik. Dia yakin Jenifera bisa menjadi salah satu aktris di televisi. Dengan peran antagonis pastinya.
"Pergi!" usir Raven menggerakkan segera kaki Jenfiera yang dilapisi heels 7 cm untuk melangkah.
"Ini, pak." Mova mengambil kesempatan cepat. Ia menyodorkan blackard Raven.
"Ada yang ingin saya bicarakan." Setelah menerima blackardnya kembali, Raven memimpin Mova menuju ruangannya.
"Mulai besok kamu akan menjadi sekretaris saya." Belum sempat Mova menikmati keindahan ruangan Raven, pria itu sudah memberikan kejutan.
"Maaf, bukannya sekretaris bapak Jenfiera ya?" Mova yakin 100 persen, no boraks dan formalin. Setelah ini dia pasti akan diintai oleh Jenfiera untuk masuk ke dalam bahaya.
"Apa ini maksudnya kamu menolak?" Raven menatap Mova dengan tatapan tidak mengerti. Ada banyak karyawati yang memanjat ingin menjadi sekretarisnya. Selain ingin merangkak lebih dekat padanya mereka juga tergiur untuk menjadi karyawati yang paling berpenghasilan tinggi. Menginjak kepala orang lain, mereka tidak akan peduli hal tersebut asal bisa mendapatkan posisi. Namun kelihatannya Mova malah lebih senang kepalanya yang menjadi pijakan wanita lain.
"Tidak, pak." Mova menggeleng segera.
"Bagus, tadi kamu sudah ke HRD bukan?"
HRD? Bahkan sampai, dia langsung lari ruangannya. Meninggalkan Hansen yang mengumpatnya tidak tahu terimakasih.
"Belum, Pak."
"Dasar tidak becus!" desis Raven tertuju spesial pada Hansen pastinya. Ia menarik dua tangannya untuk menyatu di depan dada. "Sana pergi ke HRD! Pastikan besok pagi kamu tidak terlambat untuk tugas pertamamu."
"Baik, pak." Mova undur diri di menit berikutnya, meninggalkan Raven dalam keheningannya lagi.
"Bahkan terimakasih pun tidak." Raven membanting tubuhnya pada punggung kursi.
Tidak berharap.Tapi rasanya sedikit kesal.
****
Raven menyipitkan matanya. Ini sudah larut, seluruh karyawan sudah pulang. Dia dan Hansen lah yang biasanya selalu terakhir. Namun di halte seorang perempuan dengan kuncir dua rendah duduk dengan kepala tertunduk. Dia mencoba tidak peduli, tapi mengingat si kuncir dua identik dengan calon sekretarisnya ia menghentikan mobil di depan gadis itu.
"Berniat menjadi penunggu halte, nona?" katanya menyembulkan kepala lewat jendela mobil.
Bibir Mova berkedut atas suara dingin tersebut. "Tentu saja tidak," teriaknya kesal. Bodo amat CEO, yang penting kesalnya terlampiaskan.
"Lantas pulang lah. Kau mungkin terlalu jelek untuk dibegal, tapi aku yakin kau cukup bagus untuk disantap hantu."
Ih. Mova bangkit dengan kesal. Menjauhi halte dengan kaki dihentak-hentakkan ke tanah.
"Naik lah!" Kaki Mova berhenti. Ia menoleh untuk mendapati wajah tampan CEO-nya yang welcome namun tanpa seberkas senyum.
"Aku tidak uang untuk membayar bensinmu."
Pantas saja dia tidak pulang, pikir Raven. "Aku akan menagih bayarannya lain kali."
Raven mendorong pintu penumpang di sebelahnya. Mova berpikir beberapa kali sebelum akhirnya menapak masuk kesana. Apa yang dia pikirkan adalah bagiamana jika Jenfiera melihat ini, hidupnya akan dalam bahaya. Tapi jika tidak menerima, mungkin dia tidak akan mendapatkan kesempatan lain untuk pulang.
"Apa selalu seperti ini?" Raven merutuki dirinya. Tidak seperti biasa, rasa ingin tahunya meletup. Melihat wajah berminyak Mova yang memaparkan lelah, simpatinya berkumpul satu.
Dia melihat banyak perempuan memperihatinkan, namun baru kali ini yang kelihatan nyata membutuhkan simpatinya. Bukan buatan semata.
"Jika tanggal muda tidak akan seperti ini." Mova merilekskan tubuhnya pada kursi.
"Berapa memangnya gajimu?" Baiklah, keingintahuan Raven bertambah lagi.
"Cukup banyak sebenarnya." Mova menerawang jauh ke luar melalui jendela kaca, langit berbintang mengacaukan hatinya.
Kriukk
Wajah Mova memerah. Dasar perut! Dia mengumpat. Bisa-bisanya dihadapan pria tampan seperti Raven perutnya berteriak.
"Mau makan dulu?" tawar Raven.
"Tidak perlu, pak. Rumah saya sudah di depan, yang bercat putih." Raven kontan menatap lurus jalanan dihadapannya. Melihat gaya hidup Mova, ia kira gadis itu tinggal di kolong jembatan. Ternyata sebuah perumahan kelas atas dengan pagar tinggi.
Sebenernya jarak rumah dan kantor Mova tidak jauh, dia bisa berjalan kaki tadi jika saja tidak mengingat lelah di tubuhnya. Tadinya ia pikir istirahat tiga puluh menit tidak akan masalah, nyatanya malah membuatnya bertemu Raven.
"Rumah yang bagus," puji Raven berhenti pada sebuah rumah besar bercat putih elegan.
"Terimakasih, pak." Mova mendorong pintu mobil. Langkahnya lemah, barangkali dipengaruhi tubuhnya yang kurus pikir Raven.
"Darimana saja kau?" Gerbang terbuka, menampilkan sosok perempuan berpakaian nyentrik. Sifat hedonis di wajah jahatnya membuat pencernaan Mova mendadak mual.
"Bajuku banyak yang belum kau cuci." Perempuan lain muncul, berpakaian minim dengan surai kecoklatan. Kamara namanya.
"Kamarku juga belum kau rapikan," tambah Samara. Dia adik Kamara yang berperawakan cantik dengan rambut emas. Bulan lalu dia mewarnainya sama seperti Kamara, namun karena beberapa hal dia mengubahnya lagi.
"Tunggu-tunggu..." Nyonya Maverick baru sadar kehadiran mobil sport di depannya bersamaan dengan pria tampan yang ia yakin pernah ia lihat di sampul majalah favoritnya. "Siapa ini?"
"Kau bekerja di perusahaan besar saja masih menimbulkan tanda tanya bagiku dan sekarang kau pulang bersama titisan dewa. Tanda tanyaku semkin banyak, Mova. Cepat jelaskan padaku siapa dia!" Nyonya Maverick menyenter galak Mova.
"Raven Seantinel, pemilik Seantinel Corp."
"Pantas saja aku pernah melihatnya," gumam Kamara.
"Rumahmu besar, aku kira kalian punya supir." Raven membalas tanpa repot-repot keluar dari mobilnya. Wajah Nyonya Maverick menjadi pias mendengarnya.
Mampuslah kau, Mova. Kesalahan pasti akan diletakkan di bahumu semua.
"Selamat malam, Tuan CEO." Samara menyungging senyum manisnya. Fix, kepala nyonya Maverick bertambah pusing.
"Apa aku mengenalmu?"
"Tentu saja." Rumah bersebelahan, satu bangku di kelas yang sama, teman bermain petak umpet. Samara mengingatnya. " Aku Samara."
Samara membentuk love dengan jarinya. Seperti dihantam besi, potongan masa lalu melintas di kepala Raven.
"Kau Samara Maverick?" Mata Raven penuh ketidakyakinan, ia menscan segera tubuh Samara dari atas ke bawah. Tidak sama lagi dengan little Samara, tapi garis wajah gadis itu masih membawa kenangan bagi Raven.
"Itu aku." Senyum Samara melebar hingga ke mata. Kamara dipenuhi kecemburuan melihatnya. Raven Seantinel, teman Samara. Itu berarti bocah tengil yang suka meneriakinya norak karena belajar memakai lipstik mamanya. Bagiamana mungkin bisa menjadi CEO.
Nyonya Maverick masih ingat jelas anak itu suka merusak kebunnya. Ah siapa yang peduli kebun itu lagi. Jika Raven menjadi menantunya, semua kerugian itu bahkan bisa tertutupi malah melebihi. Dia bisa menikmati masa tuanya dengan bahagia.
"Aven, ah aku tidak percaya ini kau." Nyonya Maverick menerima perannya sebagai mertua yang baik dengan cepat. "Ayo, masuk. Aku akan menyiapkan sup kesuakaanmu."
"Ayo." Samara menyelipkan tangannya di jendela yang terbuka, menarik tangan Raven untuk bergerak.
"Aku tidak percaya ini kau " Raven masih menscan tubuh Samara ketika mereka melangkah bersama menuju rumah.
"Apa yang tidak kau percayai? Nah." Samara menyodorkan pergelangan tanganya. Sebuah tato kecil berbentuk bulan dililit sakura ada disana. Tidak besar tapi cukup besar mengingatkan Raven pada masa kecilnya.
"Aku mendapat masalah karena ini di SMA tahu," gerutu Samara. "Ibu bahkan hampir memotong tanganku untuk ini."
"Salahmu dulu memintaku mengambarnya," ejek Raven.
"Reunian para iblis," gumam Mova menarik bibirnya untuk sebuah senyum miris.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments