Kembali ke ruangan. Raven langsung mencari keberadaan Mova, ternyata perempuan itu tengah merapikan rambut di mejanya. Jelas, dia terlihat risih dengan rambutnya yang jatuh ke punggung. Tapi bagi Raven begitulah Mova seharusnya. Meskipun tidak cantik, kesan menarik langsung ada jika Mova menggerai rambut panjangnya.
"Bukankah tadi kau sudah setuju dengan syarat yang aku ajukan, Mova?"
Mova mengangkat kepala. Apa-apaan orang ini. Datang-datang langsung bertanya hal tidak penting.
"Ya, aku setuju." Tetap saja Mova membalas. Dia memperjelas bahwa mulai besok dia akan kembali menjadi dirinya tanpa perlu berpikir lagi.
Raven melipat tangannya di depan dada bidangnya. "Lantas, kenapa tadi kau mengacuhkanku? Hubungan kita sudah baik-baik saja semenjak kau setuju, bukan?"
"Kapan aku mengacuhknmu?"
"Kau tidak ingat?" Astaga. Raven menjatuhkan kedua lengannya. Ingin menjambak Mova rasanya dengan dua tangan itu. Sungguh. Lagipula, bagaimana bisa Mova tidak sadar akan perbuatannya sendiri.
"Tadi,saat aku bilang ingin ikut ke kantin kau hanya membalas ketus dan di dalam lift kau sama sekali tidak mengajak aku berbicara atau bahkan melirikku. Kamu pikir aku apa? Dinding berjamur?"
"Kemudian di kantin, kau dan Hansen terus berbicara seperti lebah, sementara aku? Kau sama sekali tidak berbicara padaku. Padahal aku jelas ada di sebelahmu. Dibandingkan pria norak itu aku bahkan lebih pantas untuk kamu ajak bicara. Kita bisa membicarakan tentang alasan aku tetap tampan di setiap menitnya, bagimana tanggapanku akan makanan di kantin atau bahkan menggosipi Sanders. Tapi apa? Kau memilih berbicara dengan Hansen dengan topik murahan. Kau sama sekali tidak sedih melihat aku ditertawakan oleh cicak-cicak karena terlihat seperti orang ketiga yang tidak diinginkan. Kau benar-benar keterlaluan," tandas Raven dengan nafas menggebu-gebu.
Mova sampai speechless menyaksikannya. "Sejak kapan kau secerewet ini?
"Kan! Bahkan saat aku kesal, kau malah meledek. Ah kurasa Hansen memang benar."
"Benar soal apa?"
"Kau marah padaku." Raven menjatuhkan maniknya pada manik Mova. "Karena aku memberikanmu tugas-tugas tidak penting. Itu sebabnya kau memperlakukanku buruk. Benar kan?"
"Aku tidak marah," bantah Mova. "Aku hanya tidak suka."
"Jadi? Apa alasanmu mengacuhkanku tadi?"
"Tidak mood saja." Mova sibuk lagi dengan rambutnya. Dia ingin menguncirnya satu saja agar tidak gerah.
"Kenapa tidak mood? Apa karena aku tidak sejelek Hansen?"
Mova melirik Raven ngeri. "Kamu ini kenapa?"
"Dengar, Mova. Meskipun aku pernah membullymu habis-habisan dan mulai merasa bersalah, namun aku tidak akan mentoleransi jika kamu megabaikan aku lagi seperti kejadian hari ini. Mengerti?"
Mengerti apanya? Mova justru kian tidak mengerti akan sikap Raven.
"Mova.." rengek Raven kesal.
"Ah iya, apa?"
Raven tertawa miris. "Astaga, kau tidak mendengarkan rupanya. Benar-benar keterlaluan sekali."
"Pak.." panggil Mova sopan. "Minum obat dulu sana."
"What?"
Argh. Raven membalikkan tubuh, kembali ke kursinya dengan kesal.
***
"Kau pulang dengan siapa?" Raven kembali ke mode cool setelah hampir 6 jam mencak-mencak karena insiden Mova mengacuhkannya.
Mova menjinjing tas laptopnya."Sendiri," jawabnya.
"Ayo aku antar." Raven menjinjing sendiri tas laptopnya. Begitu keluar dari ruangan dia menyerahkannya pada Gerald.
"Pulang lah lebih dulu," katanya pada Gerald.
Gerald tidak bisa berpikir jauh. Dia yakin. Raven dan Mova tengah memiliki urusan bisnis. Karena mustahil bosnya menyukai gadis model begituan.
"Kau suka lagu apa?" Raven menyalakan radio mobil untuk menemani perjalanan.
Mova menghela nafas malas. "Lagu apapun," ujarnya.
"Oke."
Raven memilih lagu The Beatles. Alunan rock segera mengudara. Raven meracau mengikuti alunan lagu, membuat Mova menatapnya gerah.
"Apa kau tidak ada lagu selain ini hah?"
"Kau bilang suka lagu apapun."
"Tapi tidak seperti lagu seperti itu."
"Jadi seperti apa?"
"Terserahmu."
Nah kan terserah. Jangan salahkan Raven yang memutar pop tahun 80-an. Mova jadi mengantuk dibuatnya.
"Bisakah kau matikan saja lagu itu?"
"Hoho sopan sekali kau dengan atasanmu," sindir Raven. Mova pun diam memasang wajah masam. Semenjak dia tahu Raven adalah Aven dari masa kecilnya, dinding bernama rasa hormat hilang begitu saja. Alih-alih atasan, Raven kini seperti orang biasa baginya.
"Sudah." Raven benar-benar mematikan lagu. Simpel saja. Dia takut Mova merajuk.
Tidak ada balasan. Raven dalam kebimbangan sekarang. Mova pasti merajuk dan dia tidak tahu bagaimana caranya membujuk.
Raven menatap ke luar kaca, mencari tempat menarik untuk mengajak Mova duduk.
Restauran Seafood. Raven menghentikan mobil disana. Dia tahu, sejak kecil itu jenis makanan favorit Mova.
"Ayo keluar." Raven melepas seatbelt.
"Kenapa berhenti disini?" rutuk Mova. Dia bahkan tidak bergerak dari kursinya sedikitpun.
"Ayo kita makan dulu. Tenang saja, aku yang akan membayar."
"Aku tidak lapar."
"Lantas?"
"Aku lelah. Ngantuk berat malah."
Mova tidak bohong. Dia memang mengantuk. Rasa ingin bertemu dengan kasur semakin tinggi saja. Tapi dia tahu, bahkan jika dia pulang dan bertemu kasur. Dia tidak akan bisa tidur. Ya, tentu. Dia harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dulu.
"Kamu makan saja sana. Aku tidur disini." Mova menutup matanya.
"Baiklah, karena kamu benar-benar mengantuk kita pulang saja."
"Jangan pulang ke rumahku," cegah Mova.
"Jadi?"
"Aku menumpang di mobilmu saja. Tidak lama, hanya 30 menit."
"Baiklah."
Raven menyadarkan tubuhnya pada kursi. Ia memalingkan wajah pada Mova yang telah menutup mata. Hanya sekitar 10 menit saja sudah terdengar dengkuran halus dari bibir Mova.
"Bagaimana mungkin dulu aku bisa menindas gadis lemah ini?"
Harusnya dulu Raven punya rasa kasihan pada Mova, tapi tidak. Yang ia punya hanya rasa tidak suka yang tidak logis. Sekarang dia benar-benar menyesali perbuatannya tersebut.
"Aku janji.." Raven menyentuh lembut puncak kepala Mova. "Kedepannya aku akan memperlakukanmu dengan sangat baik."
***
Raven meletakkan Mova dengan hati-hati ke ranjang King sizenya. Sebenarnya Gerald telah menyiapkan kamar sebelah untuk Mova, hanya saja Raven merasa kamarnya adalah yang terbaik.
Raven bergerak menuju kaki Mova. Ia melepaskan sepatu Mova, meletakkannya ke dekat meja rias. Raven juga melepas kacamata Mova, membuat ia melihat jelas sipitnya mata Mova.
Eungg
Perempuan itu melenguh. Raven merasa tenang melihatnya. Tidur Mova begitu nyenyak, pasti akan semakin nyenyak dengan begini.
Raven menarik selimut sebatas dada Mova. Dia tidak langsung pergi, melainkan duduk di sampingnya. Ia mulai memandangi wajah damai Mova. Siapa sangka hatinya juga tertular damai.
Drettt
Tas Mova di nakas bergerak karena getaran ponsel di dalamnya. Raven mengambil cepat. Ia kira Nyonya Maverick yang menelpon, ternyata Han Han.
"Han Han?" gumam Raven. "Jangan-jangan si curut itu."
Dan benar saja. Setelah Raven menekan ikon hijau di layar, suara Hansen menyapa.
"Mova." Ceria seperti musim panas. "Ayo makan sate di tempat biasa."
Tempat biasa?
Wow, darah Raven sedikit panas. Hanya sedikit. Mungkin karena suhu AC belum dinaikkan. Yak, positif thinking saja.
"Mova sedang tidur. Anda siapa?" Raven sengaja membuat suaranya terdengar lebih serak khas orang bangun tidur. Tujuannya adalah agar Hansen berpikir dia pria di samping Mova yang baru terbangun. Ide cemerlang, kepala Hansen pasti akan dipenuhi oleh skenario-skenario aneh.
Tut
Panggilan langsung dimatikan. Raven tersenyum miring. Berhasil.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments