"Ini, antarkan ke meja nomor empat."
"Baik chef," sahut Miya bersemangat pada Ibunya.
Terlihat sebuah restoran berukuran cukup besar sedang disesaki oleh puluhan pengunjung. Miya dan dua orang pelayan sama-sama sibuk mengantarkan piring-piring yang berisi ragam masakan khas korea itu ke setiap meja.
"Hei, pria di meja enam belas terus melihat ke arahmu. Dia sangat tampan," bisik Ramsey, pelayan sekaligus teman dekat Miya.
"Kerja yang benar sebelum Ibuku memotong gajimu lagi," jawab Miya sembari memberikan lap meja pada Ramsey.
Ketika Miya berbalik, seorang pengunjung memanggilnya. Ia menoleh dan tanpa sengaja bertatapan dengan pria yang sedang duduk di meja nomor enam belas. Miya terpaku sesaat memandangi pria yang mirip dengan seseorang itu, sembari memukul jantungnya yang mulai berdetak tak karuan.
"Jika kau memukul jantungmu lebih keras dari itu kau bisa mati," ujar Sam, pelayan lainnya, yang juga teman dekat Miya.
Miya tak menjawab Sam. Tampak Miya sangat kaget dan tiba-tiba saja memandang ke sekelilingnya seperti orang yang sedang kebingungan.
"Apa kau juga bisa mendengar lagu ini?"
i miss you kiss you..
give you my coat when you're cold..
need you feed you..
even let you hold the remote control..
"Tidak hanya aku yang bisa mendengar lagu ini tapi semua orang di sini pun bisa mendengarnya dengan jelas," balas Sam pada Miya.
"Apa itu kau? Tidak, pasti tidak. Hanya sedikit mirip," gumam Miya sembari melihat lagi ke arah pria di meja enam belas. "Dan lagu ini, kenapa bisa sekebetulan ini?"
Miya berjalan dengan tergesa menuju toilet. Ia menutup pintu toilet itu dan langsung jatuh terduduk. Ia masih memukul jantungnya, dan perlahan air matanya mulai menetes. Ternyata pria di meja nomor enam belas, serta lagu yang sedang diputar sekarang mengingatkannya pada Kingston, pria yang sangat dicintainya.
...***...
Umurku sembilan tahun ketika pertama kali bertemu dengannya. Hari itu aku duduk seorang diri di deretan kursi gereja paling depan. Aku menunduk sambil memandangi kedua sepatuku. Itu adalah sepatu yang kukenakan dengan sangat hati-hati karena Ibu yang memberikannya.
"Terima kasih, Bu. Aku berjanji akan selalu menjaga mereka," lirihku.
Aku meraih ujung sepatuku yang kotor dan mengusapnya dengan ujung sweaterku sambil tersenyum. Senyum yang kemudian diiringi tetes demi tetes air mata. Aku tidak menahan tangisku, karena tidak mungkin ada orang yang datang. Orang-orang pasti akan memilih menyapa Tuhan di gereja yang jauh lebih layak.
"Apa kau hantu?"
Tangis piluku terhenti seketika. Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Terlihat seorang gadis kecil dengan gaun kuning selutut berdiri membelakangi pintu masuk gereja. Di samping kaki kanannya tergeletak tas ransel berukuran besar.
"Apa kau hantu yang sedang tersesat?" tanya gadis kecil itu lagi.
Aku tak menjawabnya karena saat itu hanya jawaban konyol yang terlintas di pikiranku. Dibandingkan aku, ia lebih terlihat seperti hantu. Kulitnya yang teramat putih dan tatapan tajamnya yang tidak cocok dimiliki oleh anak kecil yang bahkan tidak lebih tinggi dari lulut orang dewasa. Aku tak mungkin menjawabnya seperti itu.
Ia kembali bertanya, "apa kau kesepian?"
Aku diam sejenak, lalu tanpa sadar mengangguk padanya. Dengan cepat ia mengambil tas ransel hijaunya lalu membopong tas itu ke depan tubuhnya dengan susah payah. Ia berjalan ke arahku sambil menyenandungkan sebuah lagu.
i wanna make you smile..
whenever you're sad..
carry you arround..
when your arthritis is bad..
all i wanna do is grow old with you..
i miss you kiss you..
give you my coat when you're cold..
Aku berusaha sangat keras menahan tawaku, namun semakin lama ia bersenandung semakin tidak bisa kutahan. Lagu yang seharusnya terdengar manis dan romantis itu, dibuatnya menjadi lagu anak-anak. Aku terbahak, kubuat gaduh lantai gereja setengah hancur itu dengan sepatu pemberian Ibu.
"Mmm aku lupa bagian selanjutnya," ucapnya pelan.
"Ya, jangan sampai kau ingat bagian selanjutnya. Sudah cukup sampai di bagian itu saja," balasku sambil terus terbahak.
Hari yang terasa menyenangkan, padahal hari itu adalah hari peringatan ke sembilan tahun kematian Ibu. Hari itu, pertama kalinya aku bisa terbahak selain dengan Ibu. Hari yang menyenangkan, bersama gadis kecil berisik dan tas gendut hijaunya.
...***...
KLEK!
"Teringat anak itu lagi?"
Saat Miya membuka pintu toilet, langsung didapatinya sang ibu yang sedang bersandar di depan wastafel tepat di depannya. Miya melihat ke arah Ibunya sebentar, lalu berjalan menuju wastafel lain dan membasuh wajahnya.
"Tadi Ibu melihatmu tergesa-gesa ke toilet. Ibu mengira sakit perutmu kambuh lagi karena kau belum makan siang. Jadi Ibu ke sini," terang Feriha sambil menyodorkan beberapa lembar tisu pada Miya.
"Begitu. Aku baik-baik saja, Bu. Aku akan kembali membantu yang lain."
Langkah Miya tertahan ketika Ibunya tiba-tiba saja menarik tangannya dan berdiri di depannya. Miya hanya tertunduk. Ia tahan dirinya dengan sekuat tenaga agar tidak kembali menangis.
"Sudah hampir lima tahun berlalu. Tapi tampaknya kau tidak bisa melupakan anak itu sedikit pun. Apa permintaan Ibu terlalu berat untuk kau penuhi?"
Miya tidak menjawab. Namun butir demi butir air matanya yang mulai jatuh menetes membasahi pipinya seolah sudah memberi Ibunya jawaban atas pertanyaan itu.
"Sudahilah jika memang kau tidak bisa melupakan anak itu. Ibu sudah cukup dengan kau yang tidak lagi memaksa untuk menemuinya. Terima kasih, Miya."
HIKS.. HIKS.. HIKS..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Else Widiawati
dari miya umur 5 tahun sampe miya umur 20 tahun....sedangkan miya sejak umur berapa mulai menyukai kingston?? duuhhhh apa mereka akan bertemu thor....
2023-07-21
0
🌹Dina Yomaliana🌹
hubungan Miya masih ditentang ibunya😭😭😭 udah selama itu memendam rasa namun ujung2 nya, apakah akan terus sakit seperti itu?😭😭😭 kapan Miya bisa mendapat restu atas cintanya 😭😭😭 ah nyesek hati ku💔💔💔
2021-10-21
0
Pena Remaja
Miya yang sabar ya suatu saat nanti kamu pasti bakal dapat restu dari kedua orang tua kamu
2021-05-02
0