"Di sebelah sana tidak ada," tutur Elizabeth.
"Aku juga tidak menemukannya. Akan kucari di sebelah sana," timpal Jessica.
Hatiku terus berteriak mengatakan jika Miya masih berada di sekitarku. Aku menjelajahkan pandanganku ke segala arah, namun tidak kunjung menemukannya. Kaki-kaki ini pun entah kenapa mendadak lemas, padahal aku sama sekali tidak berniat menyerah sedikit pun.
"Kingston, Miya di dalam kereta," bisik Jeff sambil memapahku.
Terlihat Miya berdiri dari dalam kereta sembari melihatku dengan wajah khawatir. Ia mendekat pada pintu kereta dengan air mata yang terus berlinang. Namun belum sempat aku menghampirinya, perlahan kereta itu mulai melaju.
"Hei, Paul membuat keributan di ruangan cctv."
"Yang benar saja," balas Elizabeth pada Jessica.
...***...
Semua orang di dalam kereta itu tertegun melihat Miya yang saat ini sedang terduduk di lantai sambil terus menangis histeris. Miya langsung bergegas ketika mendengar kereta akan berhenti di stasiun pertama.
"Kumohon, tetaplah di sana, Kingston."
Miya berlari menyeberangi jembatan penyeberangan itu dan dengan terburu masuk ke dalam kereta untuk kembali ke stasiun. Ia mengatur napas sambil memejamkan matanya, dan seketika itu juga gambaran wajah Ibunya langsung terlihat jelas.
"Ibu, maafkan aku. Hanya sebentar saja, aku ingin melihatnya sebentar saja."
Saat tiba di stasiun, Miya langsung menyelidik sekitarnya. Ia mencoba mencari sosok itu, pria bertubuh besar dan sangat tinggi, dengan rambut hitam pekat dan tatapan tak bersahabat yang membuat siapa pun tidak berani menyapanya.
"Syukurlah. Terima kasih, Tuhan," gumam Miya lega.
Miya menemukan sosok itu, Kingston, sedang berjalan lambat dengan ditopang oleh Jeff dan seorang pria lain yang sama besar dengan keduanya. Miya berusaha menyusul, namun ia sadar tidak sanggup lagi untuk melangkah. Akhirnya, untuk pertama kali, ia menyerukan sebuah nama.
Miya berteriak, "Kingston.."
Suara itu, aku mengenal betul siapa pemilik suara itu. Aku langsung berbalik dan menoleh ke arah suara itu berasal. Kudapati Miya berdiri cukup jauh dariku dengan bertelanjang kaki. Aku menghampirinya, dan ia pun berusaha dengan langkahnya yang gontai untuk menghampiriku.
"Hah sialan, pada akhirnya aku melukai kaki-kaki cantik itu!" umpatku dalam hati.
DEG! DEG! DEG! DEG! DEG!
Kuharap, ia yang saat ini berdiri tepat di hadapanku bukanlah mimpi atau hanya halusinasiku semata karena setengah mati merindukannya. Tangannya yang menyentuh pipiku membuat aku tersadar jika ini nyata. Aku meraih tangan kecil itu dan menghujaninya dengan ciuman menggebu.
"Aku sangat amat merindukanmu, Miya."
...***...
"Aku tidak menyangka dia akan membuat gadis itu pingsan dan membawanya ke sini secara paksa," kata Elizabeth.
"Benar sekali. Jika dia memukul bagian belakang kepala gadis itu sedikit lebih keras, gadis itu pasti celaka," balas Jessica.
KLEK!
Sontak Elizabeth dan Jessica beranjak bersamaan ketika mendapati Miya yang tiba-tiba keluar dari kamar Kingston. Tampak Miya kebingungan dengan keadaan sekitarnya yang penuh dengan kertas berserakan, belasan komputer, botol-botol alkohol bahkan senjata api.
"Hai, aku Jessica. Panggil saja Jess. Dan ini Eli, Elizabeth."
"Apa ada yang kau butuhkan?"
Miya mengangguk pada Eli. "Aku harus menghubungi seseorang."
Miya langsung menghubungi Ramsey dan Sam. Miya berkata jika saat ini ia sedang bersama Kingston, dan ia meminta mereka berdua untuk tidak memberitahukan perihal tersebut kepada Ibunya.
Eli kembali bertanya, "sudah? Kau tidak menghubungi orang tuamu?"
Miya menggeleng. Ia mengatakan pada Eli dan Jess jika saat ini Ibunya sedang menghadiri pesta pernikahan salah seorang temannya di New Delhi. Ia tidak tahu pasti kapan Ibunya akan kembali, namun sudah terhitung dua hari Ibunya berada di sana.
KLEK!
Aku kembali bersama Jeff dan Paul. Sesaat setelah membuat Miya pingsan dan membawanya paksa ke dorm, aku meminta Eli dan Jess untuk mengawasinya, sementara aku bersama Jeff serta Paul pergi untuk mencari tahu di mana Miya tinggal dan hal lain yang berkaitan dengannya.
"Aku harus pulang," ujarnya.
Aku tidak menjawabnya. Kalimat yang langsung membuat telingaku sakit bukan main. Aku duduk bersimpuh di depannya sambil meraih kedua kakinya yang penuh dengan luka lecet.
"Aku benar-benar harus segera pu--."
"Bunuh saja aku," potongku akhirnya.
DEG!
"Aku harus terus melihatmu. Karena jika tidak aku bisa mati."
DEG! DEG!
Aku merogoh pistol dari dalam saku jaketku lalu kugengamkan padanya. "Maka dari itu sebelum kau pulang, bunuh aku dulu."
DEG! DEG! DEG!
...***...
Aku memandangi Miya yang saat ini sedang terlelap. Padahal beberapa saat yang lalu ia masih menangis ketakutan karena kupaksa untuk menembakku. Aku tersenyum sambil meraih dan menciumi rambutnya.
"Bukan aroma melon," gumamku.
Dengan hati-hati aku ikut masuk ke dalam selimut yang menutupi separuh tubuh Miya itu. Aku berniat mengganti bantal di kepalanya dengan lenganku. Tapi tiba-tiba saja ia berbalik, dan dengan cepat aku pun langsung membawanya dalam pelukanku.
Aku bergumam lagi, "hah, aku hidup."
Irama detak jantungnya yang kembali bisa kudengar, tarikan napasnya yang kembali bisa kuhitung, dan suhu sejuk tubuhnya yang kembali bisa kurasakan, benar-benar bisa membuatku kembali hidup dalam sekejap, membuatku bisa terlelap dengan cepat.
Keesokan harinya..
BUG!
"Ada apa denganmu? Ini masih pagi."
"Kenapa kau bisa berada di dalam kamarku?" teriak Miya padaku.
Beberapa menit yang lalu kami masih tidur bersama dengan damai sambil berpelukan mesra. Hingga kemudian Miya terbangun dan langsung menjambak rambutku serta tanpa ragu melempariku dengan bantal dan benda-benda lain yang ada di sekitarnya.
"Ini kamarku," jawabku sambil memungut bantal yang dilempar Miya.
Miya langsung menoleh ke dalam kamarku. "Bukankah aku sudah bilang jika aku harus pulang?"
"Lupakan untuk pulang. Ayo kita kembali tidur saja. Aaakkk.."
"Siapa yang kau ajak tidur hah? Dasar cabul! Seharusnya kau meminta maaf karena diam-diam tidur dengan seorang gadis yang belum menikah," teriaknya lagi tanpa berhenti melancarkan jambakannya.
"Kalau begitu ayo kita menikah."
Miya berteriak semakin nyaring. "Dasar tidak tahu malu!"
"Baiklah-baiklah jika tidak mau menikah, ayo kita tidur bersama saja seumur hidup."
Miya hendak menjambak rambutku lagi, tapi dengan cepat aku memegang kedua tangannya dan menggendongnya di bahuku. Tak kupedulikan ia yang terus meronta sambil berteriak memakiku. Aku hanya melanjutkan langkahku untuk kembali masuk ke dalam kamar.
BRAK!
"Itu adalah pemandangan pasti yang akan kita lihat setiap hari jika kelak mereka menikah," ujar Jeff.
"Benar sekali. Kehidupan rumah tangga yang akan selalu dipenuhi perdebatan barbar seperti yang baru saja terjadi," tambah Paul.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
☆chika
astaga kingston bucin nya luar biasa.
di mana lagi bisa cari laki kayak ginii ...
oh dunia nyataaaa aq mau laki kayak gini 1 ajaaaaa
tapi sayang cuma adanya di dunia novel 🥺😢
2021-07-04
0
💞istrinya jungkook💕
sukaaaaa🥰🥰
2021-06-17
0
Arthi Yuniar
Duhh sweetnya mereka berdua tidur berdua sepanjang malam
2021-04-23
0