Terlihat Ayah Kingston, Aldrich, sedang mengobrol serius dengan orang kepercayaannya, Susan, di sebuah markas militer angkatan darat Amerika. Susan tampak sedang menyampaikan sesuatu dengan penuh semangat, yang perlahan membuat raut wajah Aldrich berubah menjadi kesal.
"Ibu dan anak itu masih tinggal di Jepang. Aku sangat penasaran kenapa Ibunya tidak mencari pekerjaan lain dengan gelar doktornya itu dan malah membuka restoran masakan korea," terang Susan.
Susan mengatakan jika restoran itu hanya mempekerjakan dua orang pekerja paruh waktu, Samuel Ransom dan Ramsey Ivy. Restoran itu hanya buka tiga kali dalam seminggu, yaitu di hari senin, rabu dan jumat. Lalu menu yang dihidangkan di restoran itu adalah menu matang yang sudah dimasak sehari sebelumnya, dan tinggal dipanaskan kembali saat restoran buka.
"Bagaimana dengan gadis itu?" tanya Aldrich.
"Gadis itu adalah kebanggaan di Universitas Le Cordon Bleu. Dia terkenal cerdas dan berbakat di jurusannya."
"Apa lagi?"
Susan merogoh ponselnya. "Ini, aku memotret restoran mereka. Lokasinya cukup terpencil, namun pengunjungnya datang dari berbagai kota. Aku juga memotret rumah mereka, ini lihatlah."
Tampak Aldrich mengernyitkan dahinya. Dia terlihat sangat tidak nyaman karena Susan yang tiba-tiba saja menunjukkan hasil potretannya tersebut. Spontan Aldrich membuang pandangannya ketika Susan menunjukkan potret Miya.
"Kenapa? Tidakkah kau juga merasa jika gadis ini memiliki kecantikan yang tidak main-main? Ia tumbuh de--"
"Apa gadis itu memiliki kekasih? Atau mungkin sedang dekat dengan seseorang?" sela Aldrich.
"Gadis itu hanya dekat dengan Ibunya dan dua orang pelayan yang bekerja di restoran mereka saja."
"Ada lagi yang lainnya?"
"Hei, kau tahu aku ini pakar mikro ekspresi yang sangat profesional, bukan? Menurutku, kau sedang salah membenci orang. Ibu dan an--"
"Sampaikan informasi yang penting saja," sela Aldrich lagi.
...***...
Aku mengerang kesakitan ketika dua butir peluru yang bersarang di bawah tulang selangka kananku sedang berusaha dikeluarkan oleh rekanku, Elizabeth. Erangan itu spontan membuat Elizabeth menghentikan upaya pertolongannya.
"Yang benar saja," gumam Elizabeth.
"Haruskah aku menyumpal mulutnya dengan kaus kakiku?" tanya Jeff serius pada Elizabeth.
Elizabeth, Jeff, serta rekan-rekanku yang lain sedang memandangi tubuhku yang kini dibanjiri keringat sambil mengehela napas bersamaan berulang kali. Aku lalu merogoh selembar foto di saku celanaku. Kuletakkan foto itu di jantungku sambil meminta Elizabeth untuk kembali melanjutkan tugasnya.
"Dasar gila! Hei, lagipula kenapa kau tiba-tiba masuk ke daerah musuh? Mati sendiri jika memang ingin mati!" seru Jeff.
"Dia bilang ingin memetik bunga mawar," ujar rekanku yang lain, Paul.
"Hanya demi bunga mawar dan dia diam saja ditembaki? Itu gila," timpal rekan terakhirku, Jessica.
"Tunggu. Mungkinkah hari ini hari ulang tahunnya?" tanya Jeff padaku.
Aku tersenyum, "selamat ulang tahun gadis kecilku yang berisik. Bersabarlah, kita akan bertemu sebentar lagi," gumamku sambil mengusap fotonya yang masih tertempel di jantungku.
"Ternyata benar. Hei, berhati-hatilah kalian. Dia akan jadi gila di tanggal ini dan ketika melihat bunga. Ah, aku ingat. Dulu dia hampir mencuri bunga milik seorang nenek," imbuh Jeff.
...***...
"Haruskah aku menghadiahinya sebuah ciuman?" tanyaku pada Jeff.
"Apa kau seorang cabul?"
Esok adalah hari ulang tahun Miya, tetapi sampai hari ini tidak terbesit satu pun di pikiranku tentang hadiah apa yang akan kuberikan padanya. Aku membolos, dan menghabiskan waktu seharian berbaring di atap sekolah sambil memandangi hamparan langit yang tampak murung.
"Berikan saja kue ulang tahun," ujar Jeff.
"Itu tidak akan berkesan."
"Untuk apa repot-repot memberikan kesan pada balita."
"Duel?" tanyaku sambil menoleh pada Jeff yang juga sedang berbaring di sampingku.
"Bukan bermaksud menolak, tapi aku pasti akan berduel dengan Kakekku saat di rumah nanti karena ketahuan membolos. Jadi, cukup Kakekku saja."
Aku mendecak, dan kembali memandangi hamparan langit yang maha luas itu. Tak lama, suara gemuruh mulai terdengar. Aku sudah berniat tidak akan beranjak dari tempatku sekarang sampai kutemukan hadiah apa yang bisa membuatnya terkesan.
"Bagaimana dengan bunga?"
"Benar, bunga," sahutku senang. "Dulu dia pernah meminta bunga padaku."
"Baguslah, kalau begitu masalah selesai."
"Tunggu," balasku sambil menahan Jeff yang hendak beranjak. "Aku tidak akan membeli bunganya. Ayo ikut aku ke suatu tempat."
Aku mengajak Jeff ke pemukiman penduduk yang terletak tidak jauh dari sekolah kami. Di salah satu halaman rumah milik penduduk itu kutemukan yang aku cari, segerombolan bunga marigold dan bunga lili berwarna oranye yang dulu diinginkan Miya
"Jangan bilang kau mau mencuri bunga-bunga ini."
"Sedang kupikirkan."
"Apa? Hei Kingston, lupakan soal mencuri dan ayo kita berduel saja."
KLEK!
Seorang wanita berusia kisaran lima puluh tahun keluar dari rumahnya dengan menenteng dua kantong plastik hitam berukuran sedang.
"Oh, anak-anak sekolah. Apa ini sudah tiba waktunya jam pulang?"
"Mmm sudah, Nek. Ah tidak, maksudku, ah bukan maksudku tapi maksud saya. Iya maksud saya hampir. Ya, hampir, hampir tiba waktunya jam pulang," sahut Jeff terbata-bata.
"Begitu. Lalu apa yang kalian lakukan di depan rumahku?"
"Apa bunga itu dijual?"
"Hei, Kingston!" bisik Jeff sembari menyenggolku.
"Bunga? Ah, kau menginginkannya?"
Aku mengangguk. Si Nenek lalu meletakkan dua buah kantong plastik yang sejak tadi ditentengnya itu di depan pintu, dan dengan hati-hati berjalan menuruni anak tangga rumahnya.
"Bunga apa yang kau inginkan?"
"Ini dan ini," sahutku bersemangat sambil menunjuk bunga marigold dan bunga lili berwarna oranye.
"Kenapa kau lebih memilih mereka dibandingkan bunga yang lain?"
"Karena kedua bunga itu yang diinginkannya dulu," jawabku pada si Nenek.
"Kekasihmu?"
Aku tidak menjawab pertanyaan dari si Nenek. Karena seketika jantungku berdegup tak terkendali mendengar kata kekasih. Entah kenapa aku teramat senang mendengar satu kata itu, kekasih.
"Jika untuk seseorang yang sangat berarti, bunga-bunga seperti mawar merah, tulip merah, dandelion, dan gerbera akan lebih cocok," terang si Nenek.
Aku terdiam. Si Nenek yang seakan tahu aku sangat menanti jawabannya, langsung memberikan jawaban yang kunanti tanpa menungguku bertanya kenapa padanya.
"Setiap jenis bunga memiliki maknanya tersendiri. Jadi jangan sampai bunga yang kau berikan pada orang terkasihmu memiliki makna yang buruk." Si Nenek lalu menyodorkan sekuntum bunga mawar merah padaku.
Hujan mulai turun, berawal dari rintik-rintik kecil, sedang, hingga bak air bah. Aku berteduh di bawah pohon tua raksasa sambil memandangi sekuntum bunga mawar merah yang sedang kugenggam. Aku berpikir akan apa yang terjadi jika waktu itu kupetikkan bunga yang pernah diminta Miya.
"Marigold adalah kedukaan, lili adalah kebenciaan," lirihku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Else Widiawati
kingston emang bener2 gila segitunya sampe rela ditembak....
2023-07-22
0
Else Widiawati
aku baru tau kali bunga lily artinya kebencian.... padahal banyak yg suka bunga lily ketika memberi kado bunga waktu baca novel2🤔🤔
2023-07-22
0
🌹Dina Yomaliana🌹
ya ampun🤣 sampai rela kena tembak cuma buat bunga untuk si gadis kecil🤣🤣🤣🤧🤧🤧 sungguh mengharukan, tapi sepertinya kau harus melupakan Miya, Kingston! Karna Ayahmu tidak ingin kau bersama dengan gadis itu🥺🥺🥺🥺 kebencian di masa lalu nih kayaknya💔💔💔💔
2021-10-21
0