Aku langsung menyusul Miya ketika ia mengirimkan lokasi dimana ia berada saat ini. Aku masih tidak percaya Miya tiba-tiba saja mengirimkan fotonya sendiri dan menulis pesan singkat seperti itu. Aku terus merasa yakin jika itu sama sekali bukan Miya.
"Miya tidak suka memamerkan fotonya dan tidak pernah menjadikan pernikahan sebagai candaan," gumamku dalam hati.
Lokasi yang diberikan Miya mengarah ke sebuah butik khusus gaun pesta. Saat aku tiba, seorang perempuan dengan pakaian super ketat langsung menyapaku. Aku menoleh, dan kudapati ponsel Miya ada padanya. Kini aku tahu siapa sebenarnya si pengirim foto dan pesan singkat itu.
"Kau pasti Kingston. Wah, kau sangat menyilaukan, seperti tidak datang dari planet ini," tutur seorang perempuan berambut cepak, sambil tertawa.
Aku tak menjawab apapun pada perempuan itu. Ia yang seakan paham aku sedari tadi hanya fokus pada ponsel Miya yang digenggamnya, tiba-tiba saja menyerahkan ponsel itu dan mengakui jika dirinyalah yang mengirim lokasi, foto, dan pesan singkat padaku beberapa menit lalu.
Perempuan itu berlalu. "Miya sedang ganti baju. Ayo tunggu di ruanganku saja."
Sebuah ruangan mewah, dengan banyak lemari kaca terjejer di setiap sudutnya. Terdapat ratusan koleksi botol bekas wine di dalam lemari kaca itu. Aku melirik sebentar ke papan nama di meja, lalu beralih melirik ke sebuah lukisan seorang perempuan bugil yang membuat darahku mendadak berdesir.
"Maaf membuatmu menunggu," ucap perempuan itu sambil menunjukkan sebotol wine.
"Cheval blanc, 1947."
"Tepat sekali," balas perempuan bernama Reiko itu padaku.
Dengan senang hati aku menyambut segelas wine yang dituangkan Reiko untukku, dan langsung kutenggak habis dalam sekali telan. Rasa jengkelku pada sikap Reiko yang tidak sopan lenyap seketika karena guyuran lezat segelas cheval blanc yang baru saja melewati tenggorokanku.
"Kupikir aku akan merasakan segelas screaming eagle cabernet untuk dua belas menitku yang terbuang sia-sia di sini."
Reiko tertawa. "Kurasa aku harus menjual butik ini jika ingin menyuguhimu segelas wine dengan harga yang tak masuk akal itu."
"Jadi, kenapa Miya bisa ada di sini?" tanyaku sambil menggoyangkan gelas wine.
Reiko tak langsung menjawab, ia terlebih dahulu menjelaskan awal dirinya bertemu dengan Miya. Seorang pria bernama Sam yang adalah kekasihnya, bekerja paruh waktu di restoran milik Ibu Miya. Reiko dan Miya bertemu ketika Sam membawanya makan siang di restoran itu.
"Miya itu memiliki kecantikan yang terpancar dari sana," imbuh Reiko sambil menunjuk jantungku.
Reiko mengaku pernah sekali meminta Miya untuk mencoba gaun rancangannya, tapi Miya menolak dengan dalih sudah cukup sibuk dengan kegiatan di universitasnya dan pekerjaan di restoran sang ibu. Lalu Reiko pun meninggalkan kartu namanya dan meminta Miya menyimpan itu jika suatu hari membutuhkannya.
"... Kemarin sore Miya menghubungiku, ia berkata ingin mencoba gaunku. Kurasa Miya membutuhkan banyak uang untuk rencananya."
"Rencana apa?" tanyaku lagi pada Reiko.
"Yang kudengar dari Sam, setelah lulus kuliah Miya berencana untuk tinggal sendiri dan menjadi koki di hotel bintang lima. Ku--"
TOK.. TOK.. TOK..
Miya masuk ke ruangan Reiko sambil menggerutu jika wajahnya menjadi gatal karena menggunakan riasan sejak pagi. Miya terus menggerutu sambil fokus bercermin pada cermin kecilnya. Hingga akhirnya Miya melihatku dan langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
"Kau? Bukankah seharusnya ada di perjodohan?"
Aku beranjak. "Bagaimana bisa aku ada di perjodohan sementara jodohku ada di sini?"
Reiko terbahak melihat wajah Miya yang mendadak memerah. Aku melanglah menghampiri Miya dan mengucap terima kasih pada Reiko untuk lima gelas cheval blanc yang cukup menyejukkan dahagaku. Aku lalu membawa paksa Miya untuk keluar dari ruangan itu menuju tempat dimana sepeda motorku terparkir.
"Hei tunggu sebentar, aku masih ada perlu dengan Kak Reiko," bisik Miya.
"Upahmu aku yang bayar," jawabku sambil memakaikannya helm.
"Hm? Apa maksudnya itu? Hei tunggu, ponselku ada pada Kak Reiko."
Aku menyalakan mesin motorku. "Sudah ada padaku. Cepat naik."
...***...
Setelah keluar dari butik itu, aku membawa Miya ke pantai. Sepanjang perjalanan Miya hanya bersandar malas di punggungku sambil bersenandung pelan. Kuperlambat laju kendaraku untuk menikmati semilir angin yang berpadu dengan senandung Miya yang merdu.
so i lay my head back down..
and i lift my hands and pray..
to be only yours i pray..
to be only yours..
i know now..
you’re my only hope..
Saat kami tiba, Miya langsung melepas helmnya dan berlari kegirangan mendekati bibir pantai. Tadinya aku ingin membawanya ke taman bunga, tapi kurasa Miya juga harus mencoba tempat yang baru. Tampak Miya dengan terburu melepas sepatunya dan mencelupkan kakinya ke dalam air.
"Hei, lepas sepatumu dan cepat ke sini," teriak Miya kegirangan.
Kami berjalan menyusuri pantai itu hingga tak terasa senja telah datang. Sedari tadi aku hanya mengekor pada Miya dan tertawa menikmati keberisikannya. Tapi tiba-tiba saja Miya berhenti berjalan, dan terlihat memungut sesuatu.
"Aku ingin menulis sesuatu dan menghanyutkannya bersama botol ini," tutur Miya sembari menunjukkan botol bekas alkohol.
Aku menoleh ke arah matahari. "Kita harus segera kembali. Hari mulai gelap."
"Ayolah, ini tidak akan memakan waktu yang lama. Kumohon, hm?"
Ekspresi wajah Miya ketika memohon benar-benar mematikan. Spontan membuatku kehilangan kesadaran dan mengangguk begitu saja pada Miya. Lalu dengan bersemangat Miya pun mengeluarkan kertas serta pulpen dari dalam tasnya. Tampak Miya mulai menuliskan sesuatu, dan dengan cepat memasukkan kertas itu ke dalam botol.
"Kembali padaku nanti ya," gumam Miya sambil menghanyutkan botol itu bersama ombak.
"Apa yang kau tulis?"
"Memohonlah jika mau kuberitahu. Sudah, ayo pergi," balas Miya padaku sambil berlalu.
Aku tertawa. "Hei, kemari," pintaku sembari memberi Miya kode untuk duduk di sampingku.
Miha menuruti pintaku sambil menggerutu dengan kesal. Miya mendorongku untuk pergi mengejar botol itu karena ingin menulis lagi permohonannya dengan lebih khidmat jika tahu kami masih bisa berlama-lama berada di pantai ini. Mendengar itu aku pun kembali tertawa. Aku lalu menggeser posisiku hingga membuat kami duduk sangat dekat.
"Aku akan mencari uang yang lebih banyak. Jadi fokus saja untuk menyelesaikan pendidikanmu."
"Hm? Aku hanya sedang mencoba dunia kerja," sahut Miya padaku.
"Kau sudah mencoba dunia kerja ketika kau membantu Ibumu di restoran."
Tampak Miya diam. Aku yakin saat ini Miya sedang berusaha sangat keras untuk mencari-cari alasan. Aku menoleh pada Miya yang sedang mengalihkan pembicaraan kami dengan meyibukkan diri bermain pasir. Terlihat Miya terkejut dan langsung menoleh padaku ketika tiba-tiba aku menyentuh telinganya.
"Hei, jangan sia-siakan waktumu dengan Ibumu. Perlakukan Ibumu sebaik mungkin meski saat ini kau sedang sangat marah. Jangan sampai kau menyesalinya nanti."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Ika Sartika
lanjut
2021-04-02
0
Nofi Kahza
aah..mataku gk bisa melek nih. karna kingston yg begitu berkilau.. silau banget.. tolongin mataku..🤣
2021-03-08
0
MyNameIs
Sweet 🥰🥰🥰
2021-02-08
0