Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, dan Miya masih tertidur lelap dalam pelukanku. Aku tertawa pelan karena teringat insiden pagi tadi, ketika ia berteriak memakiku sambil menjambak rambutku dengan semangat berapi-api.
"Ah, aku tak ingin beranjak."
Kupindahkan tubuhnya dengan sangat hati-hati, lalu kupandangi wajahnya yang tak lebih besar dari telapak tanganku. Wajah yang begitu damai, seperti bayi yang tertidur dengan perutnya yang kenyang.
DRRTT.. DRRTT. DRRT..
Aku menoleh ke atas meja di mana aku biasa meletakkan ponselku, tampak nama Susan tertera di layarnya. Perlahan aku turun dari ranjang dan mengangkat panggilan itu dengan malas.
Aku menguap. "Ya, halo."
Aku membuka jendela kamarku, namun dengan segera langsung kututup kembali karena sinar matahari yang terlalu membakar. Kutingkatkan volume panggilan itu dan menaruh ponselku di atas meja. Aku lalu duduk di pinggiran ranjang sambil membenahi selimut Miya yang berantakan.
"... Dia bahkan sudah membuat janji bermain golf dengan teman-temannya," ujar Susan.
"Jika tahu dia akan pulih secepat ini, seharusnya waktu itu tidak kubuat tembakanku meleset," balasku pada Susan.
"Hah, jangan mempersulitku Kingston. Bekerja samalah. Saat ini, citra burukmu sebagai putra dari seorang jenderal sudah tersebar luas."
"Baiklah, katakan saja apa yang harus kulakukan. Lalu sampaikan padanya untuk duduk saja dengan tenang. Karena tidak akan ada ampun jika dia mengusikku sekarang."
...***...
KLEK!
Aku baru saja keluar dari kamar mandi dan kudapati Miya sudah berdiri mematung sambil melihat ke luar jendela. Tampak ia menghela napasnya berkali-kali. Ia yang tak menyadari keberadaanku, langsung terkejut ketika menoleh dan melihatku sudah berdiri di sampingnya.
"Berencana untuk lompat?"
"Ya Tuhan," teriak Miya sambil memukul lenganku. "Sebenarnya ini di mana?"
Aku berjalan menuju lemari pakaian. "Tidak akan kuberi tahu."
Aku bersiul dan sengaja berlama-lama memilih pakaian yang akan kukenakan. Kukira Miya akan menghampiriku dan merengek untuk diberi tahu di mana ia berada saat ini, namun ia masih di tempatnya, menatapku dengan ekspresi terkejut lebih dari sebelumnya.
"Itu, tato di punggungmu, kapan kau membuatnya?"
Aku menyentuh bekas luka di bawah tulang selangkaku sambil berkata, "kukira kau akan lebih dulu menanyakan bekas-bekas luka ini."
Miya tak memberikan jawaban apa-apa, hanya menatap tajam ke arahku dengan mimik wajah sangat serius.
"Aku tidak ingat kapan aku membuat tato ini karena sudah lama sekali."
"Seberapa lama?" balas Miya cepat.
"Mmm sepertinya empat tahun lalu. Saat aku ditugaskan ke Vietnam."
DEG!
"Apa arti tato yang ada di bagian tengah?"
"Julukanku di medan perang."
DEG! DEG!
Tiba-tiba Miya melangkah dengan cepat menghampiriku. Ia langsung membalikkan tubuhku dan membuatku membelakanginya. Terasa tangan hangatnya menyentuh punggungku.
"Bagaimana bisa?" gumamnya.
"Tentu saja bisa. Hanya tinggal mendatangi pembuat tato."
Lagi-lagi Miya mengabaikanku. Ia masih menyentuh tatoku yang terbujur horizontal di bagian tengah. Karena tidak sabar mendengar alasannya, spontan aku berbalik dan menghadap ke arahnya.
"Sudah? Sekarang jawab, kenapa tiba-tiba menanyakan tatoku?"
DEG! DEG! DEG!
"Hm? Tidak, lupakan saja," jawabnya sambil berjalan tergesa ke kamar mandi.
...***...
Terlihat Chin Mae dan Susan sedang terlibat aksi kejar-kejaran dengan dua orang buronan pria. Keduanya bersamaan mengejar para buronan itu sambil terus bersumpah serapah.
BRUK!
"Sialan! Apa kau tidak memakai kedua matamu itu hah?"
Seorang buronan tak sengaja menabrakku, dia terpental dan bangun dengan susah payah sembari memakiku tanpa henti. Aku yang tak menghiraukan buronan itu membuat si buronan naik pitam dan langsung meninjuku tanpa ragu.
BUG!
"Hah, rasakan itu. Dasar kau sialan!"
Aku meludah. "Aku akan menemui Miya dan kau malah membuat penampilanku menjadi berantakan?"
Si buronan tertawa geli. "Kau pikir aku pe-"
BUG! BUG! BUG!
Aku menghajar buronan itu hingga dia tak lagi bisa bergerak. Tak berselang lama, seorang buronan lain datang dan langsung ikut menyerangku. Kurasa mereka berdua akan mati jika Chin Mae dan Susan sedikit saja datang terlambat.
"Hei Kingston, sudah cukup. Mereka bisa mati. Atau mungkin sudah mati?" ujar Chin Mae sambil menghentikanku yang sedang menginjak-injak salah satu buronan.
"Wah, lagi-lagi kau membuat orang dewasa sekarat," timpal Susan.
Susan membawaku ke sebuah markas rahasia, sementara Chin Mae mengurusi dua orang buronan yang kuyakin nyawanya tidak akan tertolong.
"Ini, minumlah."
Aku mengambil sebotol kecil air mineral yang disodorkan oleh Susan. Aku meneguk minuman itu sambil mengamati ruangan mewah Susan dengan teliti.
"Berapa gaji seorang agen FBI?"
"Aku tidak bisa menyebutkan nominalnya dengan pasti. Tapi menurutku jumlahnya lebih dari cukup."
"Apakah cukup untuk membeli sebotol screaming eagle cabernet sauvignon?"
Susan tertawa. "Kurasa cukup jika kau menyelesaikan banyak misi."
Aku meremukkan bekas botol air mineral yang telah kosong dan melemparkannya ke dalam tempat sampah yang terletak paling jauh dariku.
"Apa ada yang ingin kau sampaikan?" tanyaku sambil beranjak.
"Kenapa selama ini kau diam saja diawasi oleh orang-orangku?"
Aku beranjak. "Karena orang-orangmu tidak mengusik Miya."
"Begitu. Aku ada di pihak Ayahmu karena aku berhutang nyawa padanya."
"Bagiku tidak penting kau ada di pihak siapa. Cukup dengan tidak mengusik Miya saja."
KLEK!
"Ah, kau sudah mau pergi?" tanya Chin Mae.
Chin Mae hendak masuk ke ruangan pribadi Susan. Dia datang membawa beberapa kantong burger dan soda. Aku mengambil segelas soda yang dipegangnya dan langsung melepaskan dahagaku yang masih tersisa. Lalu kulanjutkan langkahku tanpa mengatakan apapun padanya.
"Hei, Kingston. Terima kasih atas bantuanmu hari ini," teriak Chin Mae. "Hei Susan, kita harus merekrutnya."
"Tapi bayarannya setara dengan screaming eagle cabernet sauvignon."
Chin Mae berteriak lagi. "Apa? Wah, ternyata bocah itu memang benar-benar berandalan."
...***...
Miya dan Ramsey sedang duduk di ruang tamu rumah Miya sambil bersulang beberapa kaleng bir. Mereka mulai kehilangan kesadarannya dan berceloteh tak tentu arah.
"Luar biasa, yang dikatakan peramal itu benar-benar terjadi."
"Benar. Dia menemukanmu dan langsung menculikmu," balas Ramsey pada Miya.
"Lalu, tato itu juga benar."
"Hm? Tato? Kau bertato? Dimana? Cepat tunjukkan padaku."
Ramsey tiba-tiba saja menerkam Miya, dan dengan antusias memeriksa setiap bagian tubuhnya. Miya tertawa geli karena Ramsey juga menggelitikinya.
"Kingston yang bertato. Tato di punggungnya persis seperti yang dikatakan peramal itu. Cepat menyingkir dariku."
"Hm? Tato di punggung? Aku tidak ingat peramal itu pernah mengatakan soal tato."
Miya tak menjawab, karena waktu itu kunjungan keduanya ke peramal hanya seorang diri. Miya lalu beranjak dengan langkah sempoyongan untuk kembali ke kamarnya.
Ramsey berteriak, "hei, jawab aku dulu baru pergi."
KLEK!
"Kau? Bagaimana bisa masuk ke sini?" tanya Miya padaku.
"Jendelanya tidak terkunci."
Tampak Miya memiringkan kepalanya sebagai ungkapan tidak percaya. Aku tersenyum sambil beranjak dari sandaranku di tembok dan melangkah mendekat padanya.
"Lalu kenapa kau di sini?"
"Untuk melihatmu."
Miya menggerutu, "apa itu masuk akal?"
"Tentu saja. Bukankah sudah kubilang aku bisa mati jika tidak melihatmu?"
Aku kembali tersenyum menikmati wajah Miya yang kesal. Tak kubiarkan Miya berlama-lama mendongak menatapku. Kuraih dan kuangkat pinggangnya yang ramping, hingga kini aku berganti mendongak padanya.
"Wah, ternyata selama bertahun-tahun aku telah membuat lehermu pegal."
"Turunkan aku," ketus Miya.
Sesuai pintanya, aku menurunkan tubuhnya yang ringan dengan hati-hati, lalu memijakkan kakinya di atas sepatuku. Miya menghindari tatapanku karena sadar wajahnya mulai memerah. Terus kukejar bola mata abu-abunya yang berlarian itu hingga akhirnya ia menyerah dan kembali menujukan tatapannya hanya padaku.
"Kau pergi ke peramal?"
"Tidak akan kuberi tahu," ketusnya.
Spontan aku tertawa, karena kembali merasakan deja vu. Aku teringat pernah menjawabnya sama persis seperti saat ini. Namun belum sempat aku membuat Miya terpojok, tiba-tiba saja ia sudah terjatuh lemas dalam pelukanku.
Miya bergumam, "peramal itu berkata jika aku tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari pria tiran."
"Hm? Mungkinkah pria tiran itu adalah aku?"
Miya mengangguk, "aku akan menikahi pria tiran itu di masa depan dan memiliki tiga orang anak laki-laki, dan nama anak-anak itu sudah tertulis di punggung ayahnya sejak lama."
"Ah, jadi itu alasanmu menanyakan tato di punggungku tempo hari."
Miya kembali mengangguk. Dengan hati-hati aku menggendongnya dan kubaringkan ia di ranjangnya yang berukuran kecil. Aku duduk di lantai karena merasa ranjang itu terlalu ringkih untuk menopangku.
"Jika kita menikah nanti, tidak bisakah kita memiliki seorang anak saja?"
Spontan aku terpingkal. "Tidak bisa. Karena sudah tertulis tiga buah nama di punggungku."
"Baiklah, ayo menikah dan punya banyak anak."
Aku kembali terpingkal menikmati obrolan tengah malam itu dengannya. Kusentuh kedua pipinya secara bergantian, terasa begitu lembut, seolah bisa meninggalkan memar jika sedikit saja tidak kusentuh dengan hati-hati.
"Eagle, Helios, Oscar, bantu Ayah dan Ibu untuk melewati semua cobaan ini, agar kita bisa segera bertemu," gumamku sambil mengecup sebelah pipinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
🌹Dina Yomaliana🌹
wah ternyata ramalan nya betul semua🤤 dan tiga anak yang akan menjadi anak Kingston dan Miya, keren semua😍😍😍😍😍😍😍
2021-11-02
0
🌹Dina Yomaliana🌹
Kingston bukan berandalan, tapi prajurit bertenaga kuda bahkan lebih😌😌😌 semua musuh bisa kalah dalam sekejap karna tangan kekarnya🤧 ampun deh bang, kau membuatku bergidik ngeri😬😬😬
2021-11-02
0
USWA ,
novel nya bagus.penulisannya berbeda...keren..
terimakasih..
2021-09-15
0