Aku terus tersenyum memandang ke setiap tempat yang saat ini sedang kulewati. Lima tahun lalu, hampir setiap hari tidak pernah kulewatkan untuk mengantar dan menjemput Miya ke sekolah. Masih bisa kurasakan tubuh kecilnya yang bersandar malas di punggungku.
"Sebentar lagi, bisa kembali kupeluk tubuh kecil itu sepuasnya."
Senyumku kembali mengembang ketika kulihat gerbang sekolah Miya dari kejauhan. Aku teringat masa-masa ketika aku menunggu kepulangannya di depan gerbang sekolah, ia selalu berlari riang menujuku, bosan yang kurasakan seketika sirna ketika aroma melon dan vanila menyeruak di sekitarku.
"Sebentar lagi pun aku bisa kembali menikmati aroma itu, sepuasnya."
Terlihat juga toko kue favorit Miya. Spontan aku tertawa, teringat bibir mungilnya yang penuh dengan kue tart telur. Ia terus mengunyah sambil berbicara tanpa henti, bahkan kadang bersenandung mengikuti lagu khas yang selalu diputar di toko kue itu.
"Aku datang, Miya."
Namun..
"Nyonya Feriha dan putrinya sudah pindah dari sini sejak lima tahun lalu," terang seorang perempuan yang tinggal tepat di samping rumah Miya.
"Pindah ke mana?" balasku.
"Entahlah. Meraka tidak mengatakan apapun. Bahkan mereka tak menunggu rumahnya terjual dan langsung pergi begitu saja."
Jantungku terasa dihantam oleh sesuatu yang sangat keras, hingga membuat napasku sesak bukan main. Pandanganku kabur, dan kaki-kaki ini mendadak lemas. Aku jatuh terduduk sambil memukul jantungku berkali-kali, dan dengan sekuat tenaga aku mencoba menyelaraskan laju napasku kembali.
...***...
Aku langsung mendatangi Ayahku di markas militernya setelah kudapati rumah Miya telah ditempati oleh orang lain. Dia nampak santai, seolah sudah bisa menebak jika aku pasti akan mendatanginya hari ini.
BRAK!
"Sudah kuperingatkan untuk jangan mengusiknya, bukan?"
"Bisakah kita bicara setelah Ayah menyelesaikan rapat ini?"
Aku merogoh pistol FN Five-Seven yang kuselipkan di dalam saku jaketku. Sontak membuat semua orang yang ada di ruang rapat itu gaduh. Kegaduhan itu hilang dalam sekejap ketika kutodongkan senjataku tepat ke jantung Ayah.
"Wah, hati Ayah sangat sakit melihatmu tanpa ragu menodongkan pis--"
DORR!
Kegaduhan kembali mencuat, bahkan sepuluh kali lipat lebih gaduh dari sebelumnya. Semua orang berhamburan menghampiri Ayah yang seketika itu juga jatuh tersungkur dari singgasananya. Tembakan ke arah jantungnya yang kubuat meleset beberapa sentimeter, langsung membuatnya tak kuasa bergerak sedikit pun.
"Jika dalam tiga hari aku tidak menemukannya, kau benar-benar akan tamat, jenderal!"
...***...
Terlihat Miya dan seorang perempuan berambut cepak sedang mengobrol dengan asyik. Perempuan itu adalah seorang pembuat tato.
"Apa arti tato ini? Nama-nama mantan kekasihmu?" tanya si pembuat tato.
"Tidak, itu nama anak-anakku di masa depan," jawab Miya sambil membalikkan lembar buku yang dibacanya.
Spontan si pembuat tato itu tertawa geli. "Mungkinkah kau mendatangi seorang peramal? Hei, jika ramalannya tidak tepat bukankah malah akan jadi konyol?"
"Peramal itu berkata kelak aku akan memiliki tiga orang anak laki-laki, dan nama anak-anak itu sudah tertulis di punggung ayahnya sejak lama. Lalu peramal itu juga tahu jika saat ini aku sedang berlari dari seorang pria tiran."
"Pria tiran? Membayangkannya saja sudah membuat bergidik. Bagaimana bisa gadis baik-baik sepertimu berurusan dengan pria tiran?"
Miya berganti tertawa. "Kurasa itu hanya sebatas julukan. Penampilannya memang menyeramkan seperti seorang tiran, tapi hatinya sangat baik."
Mereka terus mengobrol santai sambil menjalankan kegiatannya masing-masing. Miya yang asyik membaca buku, dan si pembuat tato yang fokus menggerakkan jarum tatonya di bawah tulang punggung Miya.
...***...
Aldrich terbaring di ranjang rumah sakit sambil menonton sesuatu pada layar tabnya. Terlihat Susan dan seorang agen FBI pria bernama Chin Mae juga ikut serta menonton bersama Aldrich. Yang sedang mereka tonton saat ini adalah Kingston yang tampak sangat bersemangat mengobrak-abrik setiap sudut tempat di Korea.
"Dia berkeliling Korea mencari gadis itu bersama empat orang temannya."
"Jangan sampai memberi tahunya di mana gadis itu berada. Berpura-puralah tidak mengetahui apapun," balas Aldrich pada Susan.
"Siapa gadis itu sebenarnya? Dan kenapa kalian menghalangi mereka untuk bertemu?" tanya Chin Mae antusias.
"Gadis itu adalah keturunan dari wanita pendosa yang telah merenggut seseorang yang sudah kuanggap seperti adik kandungku sendiri."
Chin Mae mengangguk-anggukkan kepalanya sambil membalas tatapan Aldrich yang saat ini sedang dipenuhi amarah. Chin Mae berdeham berulang-kali untuk mencairkan suasana sambil perlahan melangkah menuju pintu keluar.
"Aku akan terus mengawasinya dan memberimu informasi terbaru."
Aldrich mengangguk pada Susan. "Terima kasih. Kau sudah bekerja keras."
"Mmm boleh aku berpendapat?" tanya Chin Mae lagi.
Tidak ada yang memberikan jawaban untuk Chin Mae. Chin Mae mengurungkan niatnya untuk keluar dari kamar pasien bertipe president suite itu dan tiba-tiba saja berbalik lalu melangkah menghampiri Aldrich dan Susan.
"Jangan pernah memisahkan dua insan yang saling mencintai hanya karena masalah pribadi. Jika kau melakukannya, pertolongan untuk mereka akan langsung datang dari Tuhan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Else Widiawati
kereeenn kata2nya thor....love it...🥰🥰
2023-07-23
0
Else Widiawati
buussyyeettt dahhh.....edan bener2 nih kingston...aduhh jangan ditiru ahh...masa ayahnya sendiri di dorrr😒😒😴
2023-07-23
0
🌹Dina Yomaliana🌹
haduh💆🏻♀️💆🏻♀️💆🏻♀️ kepala ku mendadak pusing pas baca part Kingston nembak ayahnya tanpa gemetar😲😲😲 ngak nyangka, gila banget kamu King😲😲😲😲 itu ayahmu loh, bukan teman😂 demi Miya kamu rela melukai ayahmu sendiri😌😌😌😌 ampuni lah dosa Bang King ya Tuhan😌
2021-10-25
0