The Dark Slayer
Kepalaku begitu pusing, kedua tangan terus memijatnya agar tidak sakit lagi. Seperti sedang memulai ulang sebuah data, ingatanku tentang mereka yang selalu bersamaku, mendadak hilang. Hanya beragam jenis benda dan makanan yang masih menempel dalam memori.
Rasa sakit itu lenyap setelah beberapa saat, dada terasa begitu sesak, dan keringat membasahi sekujur tubuh. Mata terbuka, pemandangan dari pepohonan rindang, kini dapat terlihat dengan jelas.
“Di mana aku?” Aku tersentak dan melompat ke belakang, sementara mata masih melirik ke sana kemari. “I-Ini ....”
Sekali lagi kepala terasa nyeri, lalu terbersit sebuah ingatan lain. “Namaku, Leon,” Aku bergumam pelan, “Leonal ....”
Lalu, ingatan lainnya pun datang. “Aku tidak sendirian?” Yang benar saja, aku bahkan terkejut ketika mulutku melontarkan kalimat itu.
Tiba-tiba, suara orang yang meminta pertolongan menggema di dalam telinga. Aku pun bergegas mencari sumber suara tersebut, hingga akhirnya menemukan seorang pemuda dengan tubuh tidak terlalu tinggi, berambut abu-abu, tengah terikat di sebatang pohon. Pemuda itu terdiam dan mematung kaku tanpa mampu berkata apa-apa setelah melihat diriku.
Dia sedikit tersenyum. “Hei, Leon. Bisakah kau membantuku melepaskan ikatan ini?”
Mulutku terbuka lebar, aku melongo ketika dia menyebutkan namaku.
“Kenapa kau begitu terkejut?”
Bagaimana mungkin aku tidak terkejut ketika orang yang tidak kukenal, menyebutkan namaku dengan benar.
Tidak, tunggu. Apa mungkin dia adalah orang yang membawaku kemari? Atau seseorang yang ikut terjebak di hutan ini juga tanpa tahu apa-apa. Namun, semua itu terasa tidak logis. Mungkinkah dia hanya menyebutkan nama secara acak dan kebetulan itu adalah namaku? Ah, sebaiknya konfirmasi secara langsung saja.
“Bagaimana kau bisa tahu siapa aku?”
Pemuda itu memiringkan kepala. “Lepaskan ikatan ini, maka aku akan menjawab.”
Dasar rubah licik, dia sengaja mengambil keuntungan dari keadaan.
“Baiklah.” Aku berdecak kesal. “Sebelum itu, beritahu aku siapa namamu?”
“Namaku, Wolf.”
Aku melangkah mendekati pemuda bernama Wolf tanpa mau berbicara lagi. Tali yang melilit tubuhnya, satu persatu mulai kulepas, hingga akhirnya dia bebas.
“Hei, mau ke mana kau?” Aku lantas berteriak ketika melihat Wolf, berjalan ke arah semak-semak.
Sial, apakah dia ingin pergi begitu saja setelah kuselamatkan? Namun, tak lama berselang sebelum aku menyusulnya, Wolf datang sambil membawa sebuah tas besar berwarna hitam.
“Tenang saja, aku tidak mungkin meninggalkanmu.” Dia membuka tas dan mengambil sebotol air dari sana. “Ini, ambillah.”
Tangan kananku terangkat, mengambil sebotol air pemberian Wolf. Aku merasa tidak enak karena telah berburuk sangka kepada pemuda ini.
“Sudahlah, tidak perlu dipikirkan,” kata Wolf sembari duduk bersandar di bawah sebatang pohon.
“Ya, baiklah.”
Aku hanya bisa menurut dan ikut duduk di sana. Suasana begitu hening, matahari juga mulai condong ke arah barat, dan memancarkan sinar berwarna jingga. Tiba-tiba, aku mengingat sesuatu hal.
“Jadi, apa jawabanmu?”
Tanpa perlu kujelaskan lebih lanjut, dia sudah mengerti apa maksudku.
“Kurasa, lain kali saja kita membahasnya.”
Dasar pendusta, dia sangat tidak ingin aku mengetahui rahasia yang dia pegang. Padahal, informasi itu pasti akan sangat bermanfaat untukku. Meskipun sudah berdebat sangat lama, pemuda ini tetap menutup mulut dan tak mau menjawab. Sampai akhirnya aku lelah lalu tertidur pulas di bawah pohon.
***
Malam itu, kami tidur di bawah pohon begitu pulas, sehingga dapat bangun dengan kondisi bugar pada pagi hari cerah ini. Embun pagi terasa menyejukkan, udara segar sangat nyaman saat dihirup.
Ketika mentari mulai tinggi, aku dan Wolf berpisah mencari apa saja yang kami perlukan. Beberapa saat mencari, aku melihat sebuah busur, lengkap dengan lima buah anak panah, tergeletak begitu saja di dekat pohon. Segera kakiku melangkah ke depan, lalu mengambil benda tersebut.
"Ini nampak masih bagus, sepertinya aku sedang beruntung."
Aku akhirnya bergegas mencari Wolf. Terlihat dari jarak yang tidak begitu jauh, pemuda tersebut sedang berdiri menatap pepohonan.
“Hei!”
Wolf sedikit melompat ketika mendengar seruanku. “Ada apa?”
“Aku menemukan ini.” Satu set panahan tadi, kuserahkan pada Wolf.
“Ini ....” Dia tampak sedikit murung melihat benda tersebut.
Apakah ada sesuatu yang membuatnya terganggu saat melihat busur ini?
“Dari mana kau mendapatkannya?”
“Tidak jauh, hanya di sekitar sini.”
Wolf menghela napas berat. “Semuanya akan segera dimulai.”
“Apa yang akan segera dimulai?”
“Akan kuceritakan informasi penting yang perlu kau ketahui.” Sekali lagi, Wolf menghela napas. “Hutan ini berada di sebuah pulau terpencil, terpisah sangat jauh dari negara mana pun. Dan, tempatnya terdiri atas sembilan wilayah, masing-masing ditempati oleh sebuah Klan. Meskipun pada awalnya kau tidak saling kenal, jika kau menemukan dirimu terbangun di wilayah tersebut, secara otomatis kau akan menjadi rekan mereka.”
“Jadi, kenapa kita bisa ada di sini sekarang?”
“Itu karena ....” Dia menjadi sedikit ragu. “Aku juga tidak tahu, hehe.”
Orang ini terus saja membodohiku. Ah, terserahlah, aku tidak peduli.
***
Setelah berbincang panjang lebar, kami akhirnya pergi berburu dengan bersenjatakan sebuah panah. Kian lama waktu berlalu, Wolf dapat menembak mati seekor kijang, lalu membawanya ke tepi sungai untuk di bersihkan.
Pemuda itu membongkar tas hitamnya, dan megambil sebuah pisau pendek serta sekotak korek api yang dia berikan padaku. Aku bergegas mencari ranting kayu, kemudian membakarnya agar dapat memanggang kijang tadi.
Selesai mengerjakan tugas dari Wolf, aku pun pergi menemui dirinya. Terlihat kalau dia sedang bersiap membelah perut kijang. Sontak mataku terbelalak lebar ketika Wolf mengeluarkan sebuah pistol dan sekotak kecil peluru dari dalam hewan tersebut.
“Sepertinya, kita sudah tidak mempunyai banyak waktu,” gumam Wolf, pelan, sembari membersihkan sisa-sisa darah yang menempel pada pistol dan sekotak peluru tadi.
Sesungguhnya ini sangat menyebalkan. Perkataannya tidak dapat aku pahami.
***
Usai memakan hasil buruan, kami berjalan menyusuri jalan setapak di antara pepohonan. Secara tak sengaja, mataku melihat sosok seorang gadis tengah terbaring di bawah sebatang pohon. Aku menyuruh Wolf berhenti kemudian mendekati gadis berambut hitam panjang itu, secara perlahan.
Tangan kananku terulur, menyentuh kening gadis itu. “Badannya sangat panas.”
“Taruh ini di atas kepalanya!” Wolf menyodorkan sepotong kain basah.
Kuletakkan benda itu ke atas kening si gadis, lalu mengalihkan pandangan ke arah Wolf. “Apakah dia akan baik-baik saja?”
“Entahlah,” jawab Wolf, tak acuh, sembari pergi meninggalkan kami.
Segera pandangan ini berpaling ke arah gadis tadi. Entah kenapa, sebuah rasa hangat langsung menyelimuti hati, aku seperti pernah mengenal gadis ini, tetapi tak tahu di mana.
“Mungkin aku harus mencari sesuatu untuk menjadi hidangannya ketika sadar.”
Saat melirik ke sana sini, mataku sekilas melihat sebuah lubang besar pada salah satu pohon. Terlanjur penasaran dengan apa yang ada di dalamnya, tangan kanan pun terulur mengambil sesuatu di sana. Aku langsung bergeming, tak percaya ini nyata. Ternyata aku berhasil menemukan sepotong roti tanpa perlu bersusah payah.
Segera setelah berkeliling dan meminta sebotol air kepada Wolf, aku kembali menemui gadis tadi. Terlihat olehku dia sudah siuman dan bersandar di bawah sebatang pohon. Langkah kaki semakin cepat dan hati menjadi lega.
“Hei!” Aku menyapa gadis itu.
Dia memalingkan pandangan ke sekitar, dapat dilihat kalau dirinya sedang kebingungan. Namun, aku salut karena sifat tenangnya.
“Di mana aku?”
“Aku juga tidak tahu kita di mana, tetapi jangan khawatirkan hal itu.” Sepotong roti dan sebotol air tadi, kusodorkan padanya. “Ambillah, jangan sampai kau pingsan karena lapar.”
“Terima kasih.” Dia mengambil roti di tanganku, lalu mulai memakannya.
“Ngomong-ngomong ....”
“Hm?” Gadis itu memalingkan pandangannya padaku.
“Siapa namamu?”
“Aku Ellise.”
Gadis yang menyebut dirinya Ellise masih makan dengan lahap. Aku terpana melihat raut wajah manisnya ketika sedang mengunyah.
Ellise mendadak berhenti mengunyah, lalu berpaling padaku. “Apa kau juga lapar?”
Astaga, tanpa sadar aku menatapnya terlalu lama. Tangan kananku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Bu-bu-bukan begitu, hanya saja ... bagaimana aku mengatakannya. Itu ... mm, aku tidak lapar saat ini.”
Sangat memalukan, aku bahkan tak dapat berbicara dengan normal. Ellise sedikit tertawa melihat tingkah konyolku tadi. Dia kemudian berkata, “Siapa namamu?”
“Namaku, Leon. Senang bertemu denganmu, Ellise.”
“Senang bertemu denganmu juga, Leon.”
Dalam sekejap, suasana canggung berubah menjadi santai. Kami pun mulai bercanda dan membicarakan banyak hal.
“Gawat!” Sontak aku berdiri ketika mendengar seruan itu.
Wolf datang dari arah depan dengan napas terengah usai berlari.
“Hei, tenangkan dirimu!” Aku mencoba menenangkan Wolf yang terlihat panik.
“Gawat ... Leon.” Kalimatnya terjeda oleh tarikan napas. “Aku menemukan teman kita.” Wolf langsung tertawa setelah mengatakan itu.
Sialan, dia menipuku. Sepertinya aku harus memberikan dia sebuah pelajaran berharga agar tak berani lagi mempermainkanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Sena Fiana
😃😃😃😃
2023-08-04
0
վմղíα | HV💕
KK yunia hadir
2023-06-20
0
Dr. Rin
udh sepuh juga thor dri tahun 2020
2023-05-30
0