Kepalaku begitu pusing, kedua tangan terus memijatnya agar tidak sakit lagi. Seperti sedang memulai ulang sebuah data, ingatanku tentang mereka yang selalu bersamaku, mendadak hilang. Hanya beragam jenis benda dan makanan yang masih menempel dalam memori.
Rasa sakit itu lenyap setelah beberapa saat, dada terasa begitu sesak, dan keringat membasahi sekujur tubuh. Mata terbuka, pemandangan dari pepohonan rindang, kini dapat terlihat dengan jelas.
“Di mana aku?” Aku tersentak dan melompat ke belakang, sementara mata masih melirik ke sana kemari. “I-Ini ....”
Sekali lagi kepala terasa nyeri, lalu terbersit sebuah ingatan lain. “Namaku, Leon,” Aku bergumam pelan, “Leonal ....”
Lalu, ingatan lainnya pun datang. “Aku tidak sendirian?” Yang benar saja, aku bahkan terkejut ketika mulutku melontarkan kalimat itu.
Tiba-tiba, suara orang yang meminta pertolongan menggema di dalam telinga. Aku pun bergegas mencari sumber suara tersebut, hingga akhirnya menemukan seorang pemuda dengan tubuh tidak terlalu tinggi, berambut abu-abu, tengah terikat di sebatang pohon. Pemuda itu terdiam dan mematung kaku tanpa mampu berkata apa-apa setelah melihat diriku.
Dia sedikit tersenyum. “Hei, Leon. Bisakah kau membantuku melepaskan ikatan ini?”
Mulutku terbuka lebar, aku melongo ketika dia menyebutkan namaku.
“Kenapa kau begitu terkejut?”
Bagaimana mungkin aku tidak terkejut ketika orang yang tidak kukenal, menyebutkan namaku dengan benar.
Tidak, tunggu. Apa mungkin dia adalah orang yang membawaku kemari? Atau seseorang yang ikut terjebak di hutan ini juga tanpa tahu apa-apa. Namun, semua itu terasa tidak logis. Mungkinkah dia hanya menyebutkan nama secara acak dan kebetulan itu adalah namaku? Ah, sebaiknya konfirmasi secara langsung saja.
“Bagaimana kau bisa tahu siapa aku?”
Pemuda itu memiringkan kepala. “Lepaskan ikatan ini, maka aku akan menjawab.”
Dasar rubah licik, dia sengaja mengambil keuntungan dari keadaan.
“Baiklah.” Aku berdecak kesal. “Sebelum itu, beritahu aku siapa namamu?”
“Namaku, Wolf.”
Aku melangkah mendekati pemuda bernama Wolf tanpa mau berbicara lagi. Tali yang melilit tubuhnya, satu persatu mulai kulepas, hingga akhirnya dia bebas.
“Hei, mau ke mana kau?” Aku lantas berteriak ketika melihat Wolf, berjalan ke arah semak-semak.
Sial, apakah dia ingin pergi begitu saja setelah kuselamatkan? Namun, tak lama berselang sebelum aku menyusulnya, Wolf datang sambil membawa sebuah tas besar berwarna hitam.
“Tenang saja, aku tidak mungkin meninggalkanmu.” Dia membuka tas dan mengambil sebotol air dari sana. “Ini, ambillah.”
Tangan kananku terangkat, mengambil sebotol air pemberian Wolf. Aku merasa tidak enak karena telah berburuk sangka kepada pemuda ini.
“Sudahlah, tidak perlu dipikirkan,” kata Wolf sembari duduk bersandar di bawah sebatang pohon.
“Ya, baiklah.”
Aku hanya bisa menurut dan ikut duduk di sana. Suasana begitu hening, matahari juga mulai condong ke arah barat, dan memancarkan sinar berwarna jingga. Tiba-tiba, aku mengingat sesuatu hal.
“Jadi, apa jawabanmu?”
Tanpa perlu kujelaskan lebih lanjut, dia sudah mengerti apa maksudku.
“Kurasa, lain kali saja kita membahasnya.”
Dasar pendusta, dia sangat tidak ingin aku mengetahui rahasia yang dia pegang. Padahal, informasi itu pasti akan sangat bermanfaat untukku. Meskipun sudah berdebat sangat lama, pemuda ini tetap menutup mulut dan tak mau menjawab. Sampai akhirnya aku lelah lalu tertidur pulas di bawah pohon.
***
Malam itu, kami tidur di bawah pohon begitu pulas, sehingga dapat bangun dengan kondisi bugar pada pagi hari cerah ini. Embun pagi terasa menyejukkan, udara segar sangat nyaman saat dihirup.
Ketika mentari mulai tinggi, aku dan Wolf berpisah mencari apa saja yang kami perlukan. Beberapa saat mencari, aku melihat sebuah busur, lengkap dengan lima buah anak panah, tergeletak begitu saja di dekat pohon. Segera kakiku melangkah ke depan, lalu mengambil benda tersebut.
"Ini nampak masih bagus, sepertinya aku sedang beruntung."
Aku akhirnya bergegas mencari Wolf. Terlihat dari jarak yang tidak begitu jauh, pemuda tersebut sedang berdiri menatap pepohonan.
“Hei!”
Wolf sedikit melompat ketika mendengar seruanku. “Ada apa?”
“Aku menemukan ini.” Satu set panahan tadi, kuserahkan pada Wolf.
“Ini ....” Dia tampak sedikit murung melihat benda tersebut.
Apakah ada sesuatu yang membuatnya terganggu saat melihat busur ini?
“Dari mana kau mendapatkannya?”
“Tidak jauh, hanya di sekitar sini.”
Wolf menghela napas berat. “Semuanya akan segera dimulai.”
“Apa yang akan segera dimulai?”
“Akan kuceritakan informasi penting yang perlu kau ketahui.” Sekali lagi, Wolf menghela napas. “Hutan ini berada di sebuah pulau terpencil, terpisah sangat jauh dari negara mana pun. Dan, tempatnya terdiri atas sembilan wilayah, masing-masing ditempati oleh sebuah Klan. Meskipun pada awalnya kau tidak saling kenal, jika kau menemukan dirimu terbangun di wilayah tersebut, secara otomatis kau akan menjadi rekan mereka.”
“Jadi, kenapa kita bisa ada di sini sekarang?”
“Itu karena ....” Dia menjadi sedikit ragu. “Aku juga tidak tahu, hehe.”
Orang ini terus saja membodohiku. Ah, terserahlah, aku tidak peduli.
***
Setelah berbincang panjang lebar, kami akhirnya pergi berburu dengan bersenjatakan sebuah panah. Kian lama waktu berlalu, Wolf dapat menembak mati seekor kijang, lalu membawanya ke tepi sungai untuk di bersihkan.
Pemuda itu membongkar tas hitamnya, dan megambil sebuah pisau pendek serta sekotak korek api yang dia berikan padaku. Aku bergegas mencari ranting kayu, kemudian membakarnya agar dapat memanggang kijang tadi.
Selesai mengerjakan tugas dari Wolf, aku pun pergi menemui dirinya. Terlihat kalau dia sedang bersiap membelah perut kijang. Sontak mataku terbelalak lebar ketika Wolf mengeluarkan sebuah pistol dan sekotak kecil peluru dari dalam hewan tersebut.
“Sepertinya, kita sudah tidak mempunyai banyak waktu,” gumam Wolf, pelan, sembari membersihkan sisa-sisa darah yang menempel pada pistol dan sekotak peluru tadi.
Sesungguhnya ini sangat menyebalkan. Perkataannya tidak dapat aku pahami.
***
Usai memakan hasil buruan, kami berjalan menyusuri jalan setapak di antara pepohonan. Secara tak sengaja, mataku melihat sosok seorang gadis tengah terbaring di bawah sebatang pohon. Aku menyuruh Wolf berhenti kemudian mendekati gadis berambut hitam panjang itu, secara perlahan.
Tangan kananku terulur, menyentuh kening gadis itu. “Badannya sangat panas.”
“Taruh ini di atas kepalanya!” Wolf menyodorkan sepotong kain basah.
Kuletakkan benda itu ke atas kening si gadis, lalu mengalihkan pandangan ke arah Wolf. “Apakah dia akan baik-baik saja?”
“Entahlah,” jawab Wolf, tak acuh, sembari pergi meninggalkan kami.
Segera pandangan ini berpaling ke arah gadis tadi. Entah kenapa, sebuah rasa hangat langsung menyelimuti hati, aku seperti pernah mengenal gadis ini, tetapi tak tahu di mana.
“Mungkin aku harus mencari sesuatu untuk menjadi hidangannya ketika sadar.”
Saat melirik ke sana sini, mataku sekilas melihat sebuah lubang besar pada salah satu pohon. Terlanjur penasaran dengan apa yang ada di dalamnya, tangan kanan pun terulur mengambil sesuatu di sana. Aku langsung bergeming, tak percaya ini nyata. Ternyata aku berhasil menemukan sepotong roti tanpa perlu bersusah payah.
Segera setelah berkeliling dan meminta sebotol air kepada Wolf, aku kembali menemui gadis tadi. Terlihat olehku dia sudah siuman dan bersandar di bawah sebatang pohon. Langkah kaki semakin cepat dan hati menjadi lega.
“Hei!” Aku menyapa gadis itu.
Dia memalingkan pandangan ke sekitar, dapat dilihat kalau dirinya sedang kebingungan. Namun, aku salut karena sifat tenangnya.
“Di mana aku?”
“Aku juga tidak tahu kita di mana, tetapi jangan khawatirkan hal itu.” Sepotong roti dan sebotol air tadi, kusodorkan padanya. “Ambillah, jangan sampai kau pingsan karena lapar.”
“Terima kasih.” Dia mengambil roti di tanganku, lalu mulai memakannya.
“Ngomong-ngomong ....”
“Hm?” Gadis itu memalingkan pandangannya padaku.
“Siapa namamu?”
“Aku Ellise.”
Gadis yang menyebut dirinya Ellise masih makan dengan lahap. Aku terpana melihat raut wajah manisnya ketika sedang mengunyah.
Ellise mendadak berhenti mengunyah, lalu berpaling padaku. “Apa kau juga lapar?”
Astaga, tanpa sadar aku menatapnya terlalu lama. Tangan kananku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Bu-bu-bukan begitu, hanya saja ... bagaimana aku mengatakannya. Itu ... mm, aku tidak lapar saat ini.”
Sangat memalukan, aku bahkan tak dapat berbicara dengan normal. Ellise sedikit tertawa melihat tingkah konyolku tadi. Dia kemudian berkata, “Siapa namamu?”
“Namaku, Leon. Senang bertemu denganmu, Ellise.”
“Senang bertemu denganmu juga, Leon.”
Dalam sekejap, suasana canggung berubah menjadi santai. Kami pun mulai bercanda dan membicarakan banyak hal.
“Gawat!” Sontak aku berdiri ketika mendengar seruan itu.
Wolf datang dari arah depan dengan napas terengah usai berlari.
“Hei, tenangkan dirimu!” Aku mencoba menenangkan Wolf yang terlihat panik.
“Gawat ... Leon.” Kalimatnya terjeda oleh tarikan napas. “Aku menemukan teman kita.” Wolf langsung tertawa setelah mengatakan itu.
Sialan, dia menipuku. Sepertinya aku harus memberikan dia sebuah pelajaran berharga agar tak berani lagi mempermainkanku.
Kami bertiga berjalan menyusuri hutan, sampai akhirnya menemukan sebuah pemukiman yang dikelilingi oleh pagar kayu. Di antara deretan pagar kayu tersebut, terdapat sebuah jalan masuk, tetapi dijaga oleh dua orang penjaga. Salah satu dari mereka adalah seorang pemuda tinggi berkulit hitam dan rambut kriting. Sedangkan satunya lagi, seorang pemuda pendek dengan rambut acak-acakan.
Wolf menuntun kami mendekati mereka. Dengan dia santai hendak masuk ke pemukiman. Namun, kedua penjaga tadi menghentikannya.
“Siapa kalian?” tanya penjaga berambut kriting, menghentikan Wolf.
“Hei, tenanglah! Kami baru saja terkapar di sini. Jadi secara otomatis, kami adalah rekan baru kalian. Bukankah begitu?” Wolf mencoba meyakinkan mereka.
Kedua penjaga itu saling pandang selama beberapa saat, lalu penjaga berambut kriting menjawab, “Baiklah, kalian boleh masuk. Tapi jika kalian adalah mata-mata, maka bersiaplah untuk mati.”
“Ya, terserah kalian saja.” Tanpa berlama-lama Wolf menerobos masuk ke dalam pemukiman.
Pemukiman yang kami masuki ini adalah sebuah lingkungan sederhana. Rumah-rumah di sini masihlah berbahan kayu serta berbentuk gubuk ala orang-orang primitif.
Masuk lebih jauh, kami menemukan sebuah gubuk dengan ukurannya lebih besar dari yang lain. Langsung saja Wolf masuk ke dalam gubuk tersebut tanpa permisi.
Aku dan Ellise bertukar pandang sambil berdiri mematung di depan gubuk. Beberapa saat kemudian, terjadi keributan dari dalam gubuk. Di saat yang bersamaan, Wolf melayang keluar dari sana.
Tanpa ada jeda, seorang pria paruh baya berbadan kekar, memasang raut wajah kesal, keluar dari gubuk itu juga. Pria tersebut berjalan mendekati Wolf—yang terbaring dengan wajah pucat—lalu memandanginya sambil membunyikan jari-jari tangan.
Wolf menegakkan tubuh sambil mengangkat kedua tangan kemudian mundur perlahan. Namun, pria paruh baya itu tidak mempedulikan tanda menyerah dari Wolf.
Saat pria itu semakin dekat dari Wolf, tiba-tiba Ellise berdiri di depannya sembari merentangkan kedua tangan.
Pria itu memasang raut wajah ganas. “Minggir!”
Ellise menggeleng untuk menanggapi. “Tidak bisa! Anda tidak boleh menyakiti teman saya.”
Pria itu bersikap tak acuh dan berjalan sampai hampir menabrak Ellise. Belum sempat pria tersebut melangkah lebih jauh, pria lain yang memiliki tubuh tinggi, lantas memegang pundak pria tadi hingga membuatnya berpaling ke belakang.
Suasana menjadi hening, pria paruh baya tadi menghela napas, dengan berat hati membiarkan masalah yang dibuat Wolf, berlalu begitu saja.
“Baiklah, Roman. Aku akan membiarkannya kali ini,” kata pria itu pada orang yang menghentikannya sembari kembali masuk ke dalam gubuk.
“Haih, lain kali jangan seperti ini, Eric,” jawab pria bernama Roman, sambil tersenyum.
Roman mengulurkan tangan untuk membantu Wolf berdiri. Uluran tangan tersebut disambut baik oleh Wolf, tetapi wajahnya masih saja pucat akibat kejadian tadi.
“Tolong maafkan perbuatan temanku tadi,” Roman berbicara selembut mungkin.
Menanggapi perkataan itu, Wolf mengangguk beberapa kali, lalu melepaskan genggaman tangannya dari tangan Roman. Kemudian, aku pun segera mendekati mereka.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku pada Wolf.
Wolf mengangkat kepalanya yang tertunduk, mengatur napas perlahan-lahan untuk menenangkan diri.
“Ya, aku sudah tidak apa-apa,” jawab Wolf, datar.
Aku mengalihkan pandangan pada Ellise. “Bagaimana denganmu, Ellise?”
Ellise tersenyum hangat. “Aku juga baik-baik saja.”
Jujur, aku merasa malu kali ini. Pada saat mereka sedang dalam masalah, aku tak sanggup berbuat apa pun untuk menolong. Diriku sungguh orang yang buruk.
“Sebaiknya kalian mengikutiku agar dapat beristirahat dengan tenang. Meskipun hanya di dalam gubuk sederhana,” ajak Roman sembari menuntun kami menuju sebuah gubuk, tak jauh dari sini.
Sesampainya di sana, Roman langsung mempersilakan kami masuk. Gubuk yang kami masuki ini memiliki lantai beralaskan tikar berbahan daun pandan yang dikeringkan serta dianyam sedemikian rupa.
Bagian dalam gubuk ini juga sederhana, tidak memiliki banyak barang. Di pojok ruangan, aku dapat melihat perlatan berburu seperti tombak, busur, serta tas besar yang sedikit rusak. Sedangkan bagian lainnya tidak berisikan apa-apa.
“Silakan menunggu di sini.” Roman lantas pergi menuju pintu belakang gubuk.
Aku, Wolf, dan Ellise duduk membentuk setengah lingkaran. Suasana sangat sunyi, tidak ada percakapan. Kesunyian itu berlangsung selama beberapa saat, sampai akhirnya aku memutuskan memulai obrolan. "Kenapa kau sangat ceroboh, Wolf?" Kulirik Wolf yang sedari tadi hanya duduk diam sambil menundukkan kepala.
Selain karena aku tidak mengerti tindakan Wolf beberapa waktu lalu, pertanyaan itu juga dimaksudkan untuk memuaskan rasa ingin tahu pada alasan kenapa diriku hilang ingatan. Dan kenapa Wolf bisa tahu namaku. Aku mulai curiga kalau dia adalah penyebabnya.
Ah, nampaknya tidak mungkin.
Segera aku menepis kecurigaan tersebut, karena aku masih belum bisa memastikan kebenarannya.
Wolf menengadah, menatap langit-langit sembari menghela napas. “Awalnya kupikir gubuk itu adalah tempat yang digunakan oleh semua orang di sini.”
“Dengan kata lain, kau pikir gubuk besar itu digunakan untuk melakukan perkumpulan atau semacamnya?”
“Karena memang seharusnya begitu.”
Astaga, kenapa dia bisa sesuka hati mengambil kesimpulan tanpa pikir panjang? Tidakkah dia tahu kalau bangunan besar tidak selalu dijadikan sebagai tempat perkumpulan?
Tak lama kemudian, pintu belakang gubuk terbuka, seorang pria yaitu Roman, masuk ke dalam gubuk melalui pintu itu. Tangannya membawa sebuah karung kecil yang terbuat dari kain serta berisikan sesuatu.
Roman duduk bersila di depan kami bertiga. Dia mengeluarkan beberapa potong roti dan botol air minum, lalu meletakkannya di tengah-tengah kami.
“Silakan dinikmati! Semoga saja kalian tidak bosan memakan makanan seperti ini,” kata Roman.
“Ini sudah lebih dari cukup,” jawabku sambil tersenyum lebar.
“Ya, itu benar. Justru kami yang harus berterimakasih karena Anda telah menolong kami,” sahut Ellise.
“Hahaha, jangan terlalu sungkan padaku.” Roman tertawa kecil. “Oh iya, namaku Roman, salam kenal.”
Sebenarnya aku sudah tahu namanya, tetapi aku tidak ingin mengaku.
“Aku Leonal, salam kenal.” Aku memperkenalkan diri, diikuti oleh Ellise dan Wolf.
“Aku Ellise.”
“Aku Wolf.”
Roman tersenyum ramah pada kami. “Salam kenal juga, kalian bertiga.”
Aku sangat senang sebab ada orang baik seperti dia di sini. Namun, aku juga tidak boleh lengah sedikit pun dilingkungan yang masih sangat baru ini.
***
Tidak terasa, hari sudah gelap ketika kami selesai bercakap-cakap. Kuakui kalau hal itu tidaklah buruk untuk membuang waktu sembari mengakrabkan diri dengan orang-orang baru.
Aku duduk di depan gubuk milik Roman, memandangi bintang-bintang sambil diterangi oleh cahaya bulan. Beberapa saat kemudian, Ellise datang, duduk di sebelah kananku. Aku memalingkan pandangan, melirik wajahnya yang manis. Entah kenapa, mata ini tidak bisa beralih darinya.
Semakin lama kupandang, kian sejuk juga hati melihat rambutnya yang terurai dan lesung pipi Ellise yang manis bagai gula. Sejenak aku terpikir untuk dapat lebih dekat dengan gadis cantik ini. Namun, sesegera mungkin pikiran itu kutepis dari dalam kepala.
“Ekhm ....” Ellise berdeham sambil memalingkan wajah ke arah lain, kemudian berkata dengan nada gugup. “Apa ada yang aneh dengan wajahku?”
Sesaat setelah dia mengatakan itu, aku jadi tersadar kalau ternyata diriku memandanginya terlalu lama.
Aku secepat mungkin memalingkan wajah ke arah lain. “Ng, maaf ... aku tidak bermaksud. I-tu, anu, maksudku ....”
Ah, sialan. Kenapa aku menjadi gugup seperti ini? Dan kenapa juga aku tidak bisa berkata dengan jelas?
Sebuah tawa kecil bernada lembut, terdengar oleh telinga. Mendengarnya membuat aku semakin malu menunjukkan muka pada Ellise, yang berada tepat di sampingku.
“Aku tidak menyangka kalau kau adalah orang yang pemalu.”
Astaga, tolong hentikan itu!
Meskipun aku tidak dapat melihat raut wajah Ellise saat mengatakan kalau diriku pemalu. Dari cara dia mengatakannya sambil sedikit tertawa, aku dapat tahu kalau dia sedang mengejek. Namun, sudahlah, tidak ada gunanya terus berdebat di sini.
Aku menghela napas sembari menenangkan diri. Kemudian, memalingkan pandangan ke arah Ellise. Nampaknya dia masih tertawa sambil menutup mulut menggunakan tangan kanan, serta memalingkan wajah ke arah lain.
“Hm ... ngomong-ngomong, Wolf ada di mana?” tanyaku, mengubah topik pembicaraan.
Mendengar itu, Ellise mencoba berhenti tertawa, tetapi tubuhnya masih gemetar menahan tawa.
“Sepertinya dia pergi ke arah sana,” jawab Ellise—yang sudah berhenti tertawa—sambil menunjuk ke arah kanannya.
Aku pun berdiri. “Baiklah, aku akan memeriksa keadaannya.”
Aku mengatakan itu karena merasa sedikit khawatir pada keadaan Wolf sekarang. Takutnya, nanti dia malah tersesat jika terus menyusuri hutan luas ini seorang diri.
“Ya, baiklah. Aku akan menunggu di dalam gubuk,” kata Ellise sembari berdiri dan berjalan menuju gubuk.
“Tunggulah, aku tidak akan lama.”
Kakiku melangkah menuju arah yang ditunjuk oleh Ellise tadi, walaupun aku tidak membawa penerangan sebab bulan tengah bersinar terang.
***
Aku masuk ke dalam tenda setelah berpisah dari Leon. Jika boleh jujur, diriku masih ingin mengobrol lebih lama dengannya. Namun, nampaknya dia sedang khawatir pada Wolf. Hm ... apakah mereka memiliki hubungan khusus?
Ah, mana mungkin itu benar.
Aku segera menepis pemikiran tersebut dari dalam kepala. Tidak mungkin kalau hubungan mereka lebih dari sekedar teman. Dan, jauh di dalam lubuk hati, aku tidak ingin itu terjadi.
Kenapa bisa begitu?
Jika ada yang bertanya, aku dengan tegas akan menjawab kalau diriku juga tidak tahu.
Sembari tenggelam di dalam ruang pikiran, aku duduk bersila di atas tikar, meskipun duduk sini tidak terlalu nyaman.
Beberapa saat kemudian, telingaku mendengar suara langkah kaki. Aku pun segera menoleh ke sumber suatu.
Mendadak, seseorang menyekapku dari belakang. Tangan kiri orang itu menutup hidungku, hingga membuat diriku susah bernapas. Sedangkan tangan kanannya mengarahkan sebuah pisau pendek, tepat di depan mata.
Eh, Siapa orang ini?
Aku mencoba memberontak dengan mengerakkan tubuh sekuat tenaga. Semakin berusaha memberontak, pisau yang diarahkan padaku kian mendekat.
Gawat, jika terus begini, aku bisa mati.
Keringat dingin mulai bercucuran membasuh sekujur tubuh, detak jantung kian kencang, dan dada menjadi sesak karena tidak dapat bernapas.
Ah, matilah aku.
Rasa takut menghantui benakku. Lama-kelamaan raga ini semakin lemas dan tak bertenaga. Sekujur tubuh yang tadinya kering, menjadi basah kuyup oleh keringat.
Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Apakah aku sudah ditakdirkan untuk mati hari ini?
Saat aku diombang-ambingkan oleh perasaan tak menentu, orang yang menyekap berbisik dengan pelan di telingaku.
“Berhenti bergerak! Atau pisau ini akan menancap di kepalamu.”
Mentalku menjadi ciut setelah dia mengatakan itu, dengan pasrah, aku melemaskan badan, berhenti memberontak.
Leon ... tolong a—
Kepalaku menjadi pusing karena kehabisan oksigen. Tak lama kemudian, penglihatanku menjadi gelap dan tidak ingat apa-apa lagi.
Semakin jauh aku berjalan setelah berpisah dari Ellise, mataku melihat Wolf sedang duduk mengobrol di bawah pohon bersama seorang laki-laki tidak kukenal. Dilihat dari arah samping, laki-laki itu nampak seumuran dengan kami. Dia mengenakan kaos hitam dan celana pendek.
“Yo!” sapaku pada mereka berdua.
“Oh, hei, Leon!” jawab Wolf sembari melirik ke arahku.
“Siapa orang itu?” Aku memiringkan kepala, melirik orang di samping Wolf.
Wolf memalingkan pandangan ke arah orang yang kulirik selama beberapa saat. “Namanya Morfin, aku baru saja bertemu dia di sini.”
“Apa dia adalah rekan kita?”
“Menurutmu, apa aku akan berteman dengan musuh?”
“Entahlah. Aku hanya ingin memastikan.”
Orang bernama Morfin itu, hanya diam mendengarkan percakapan kami. Nampaknya, dia juga tidak tertarik untuk ikut mengobrol.
Aku berjalan ke arahnya, kemudian mengulurkan tangan kanan padanya.
“Namaku Leon, salam kenal.”
Dia tersenyum dan menjabat tanganku. “Aku Morfin, salam kenal, Leon.”
Setelah mengatakan itu, aku menarik kembali tanganku, berpaling ke arah Wolf.
“Apa kau sudah tidak apa-apa?”
“Ya, begitulah.” Nada suara Wolf terdengar datar ketika menjawab.
Tiba-tiba, angin dingin berembus dari arah selatan. Bulu kudukku jadi merinding, di saat yang bersamaan, aku merasakan sebuah firasat buruk.
Selang beberapa detik, Wolf dan Morfin yang tadinya duduk tenang, tiba-tiba berdiri. Dilihat dari tingkah dan ekspresi mereka, aku dapat tahu kalau bukan hanya diriku yang memiliki firasat buruk.
“Mungkinkah ini sudah dimulai?” Wolf bergumam pelan.
“Apa yang sudah dimulai?” Aku tidak mengerti dengan apa yang digumamkannya.
Wolf menghela napas, menatap lurus ke arahku. “Bukankah aku pernah mengatakan tentang ini di awal pertemuan kita?”
“Mu-mungkinkah ....” Aku tanpa sadar mundur beberapa langkah. Keringat mulai bercucuran hingga membasahi sekujur tubuh, kaki ini pun tak berhenti gemetar.
Angin berembus sekali lagi, di saat yang sama, Wolf menatap mataku dengan tajam. “Tidak ada waktu untuk takut, Leon.” Wolf menegaskan. “Sebaiknya kita segera pergi menuju ke utara.”
Aku mengatur napas perlahan-lahan untuk menjernihkan kembali isi pikiran. Seiring berjalannya waktu, keringat berhenti keluar dan kakiku tidak lagi gemetar.
Meskipun sedang tidak berlari, napasku entah kenapa begitu berat sehingga membuat dada sedikit sesak. Aku mengelus-elus dada menggunakan tangan kanan selama beberapa saat, hingga akhirnya diriku tenang kembali.
“Kau sudah tenang?” tanya Wolf dengan nada datar.
Sesaat sebelum hendak menjawab, aku teringat pada seseorang. “Oh iya, aku hampir lupa. Kita juga harus membawa Ellise pergi.” Aku bergegas menuju ke jalan yang tadinya kulalui.
“Kau mau ke mana?” Wolf menghadang jalanku menggunakan tangan kiri.
“Bukankah sudah jelas!”
“Tidak, kau tidak boleh membawa dia bersama dengan kita.”
“Apa-apaan kau ini?” Aku membentak sambil menepis lengan kiri Wolf dengan tangan kiri.
“Asal kau tahu saja.” Wolf balas mendorong. “Dia itu hanya akan memperlambat kita.”
Aku mendorong Wolf lebih kencang daripada yang dia lakukan padaku. “Jika kau memang tidak ingin bersamanya, maka aku tidak akan mau ikut bersamamu lagi.” Amarahku memuncak begitu cepat.
Hati begitu panas ketika dia menyuruhku meninggalkan Ellise, hingga aku ingin mengoyak dirinya menjadi beberapa bagian. Dipenuh amarah, aku berjalan menyusuri hutan menuju gubuk di mana Ellise berada sekarang.
Sesampainya di sana, saat hendak membuka pintu gubuk, aku mendengar sedikit keributan di dalam. Situasi ini cukup aneh, aku pun membuka pintu perlahan-lahan. Bagian dalam gubuk diterangi oleh lentera di atas lantai. Ketika mataku melirik ke samping kanan, nampak lima orang pemuda tengah berkerumun, di dekat mereka ada beberapa tombak yang tersusun rapi.
Aku mencoba mendekati mereka dengan perlahan, tetapi salah satu dari mereka menyadari kehadiranku. Orang itu lantas mengambil tombak di dekat mereka lalu melemparkannya ke arahku.
Aku langsung melompat ke samping kanan sambil terus melirik ke arah mereka. Di antara mereka, aku dapat melihat seorang gadis yang pakaiannya sudah berantakan.
Dalam sekejap, hatiku yang sudah panas semakin memanas karenanya. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari ke arah mereka kemudian melancarkan tinju menggunakan tangan kanan kepada salah satu dari mereka.
Saat orang yang kuserang itu terkena pukulan, empat orang lainnya menyerangku dengan tinjuan mereka satu persatu.
Wajahku dipukul sampai membuatku mundur beberapa langkah, satu pukulan lagi mendarat di perutku hingga aku merasa ingin muntah. Sebelum sempat mengambil napas, sebuah tendangan diluncurkan lagi pada wajahku. Aku kehilangan keseimbangan dan terbaring lemah.
Saat akhirnya aku pikir serangan akan mereda, salah satu dari mereka menginjak perutku sampai membuat aku menjerit sangat keras. Rasa sakit menyebar ke sekujur tubuh, dan mulut ini mulai memuntahkan darah.
“Argh ....” Aku sekali lagi menjerit ketika orang itu menginjak perutku.
Gelak tawa menggema di dalam gubuk, salah satu dari mereka yang tidak lain adalah Roman, berkata kepadaku, “Hahaha, kau pikir kami akan menjadi rekan kalian dengan senang hati?”
“Breng-sek kau ....” Ucapanku terbata-bata serta pelan.
Sebenarnya, aku sangat ingin menghajar Roman saat ini juga, tetapi tubuhku benar-benar tidak dapat bergerak. Ketika aku memaksakan diri untuk menggerakkan badan, rasa sakit langsung menghampiri dan menyebar ke sekujur raga.
Roman semakin mendekat, tanpa sebuah peringatan, dia langsung menendang kepalaku. Salah satu gigiku melayang keluar akibat tendangan itu, dan darah mulai memenuhi mulut ini.
Rasa sakit yang kurasakan semakin bertambah karena tendangan tadi. Namun, sekarang aku sudah tidak berdaya lagi untuk membalas.
Argh! Aku benci pada diriku yang begitu lemah. Padahal, sekarang teman berhargaku sedang membutuhkan pertolongan. Akan tetapi, kenapa aku begitu lemah.
Sial! Sial! Sial!
Kumohon! Siapa saja! Tolong selamatkan Ellise!
Hatiku menjerit, dan isi kepala menjadi kacau.
Aku mencoba menggerakkan tangan dan kaki. Namun, lagi-lagi perutku diinjak. Mulut menyemburkan darah hingga jatuh membasahi pakaian.
Aroma amis dan menyengat semakin membuat pikiranku kacau. Napasku tidak karuan, dan kepala sangat sakit.
Pandanganku perlahan kabur, dan hati sekali lagi menjerit.
Tolong aku!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!