Aku tanpa sengaja melepaskan tali yang kugenggam. Saat ini tubuhku terasa ringan dan waktu di sekitar seolah berputar dengan perlahan.
Dug-dug. Dug-dug.
Jantung ini berdetak dengan kencang, pikiran terasa kosong, dan tubuh masih terus terjatuh. Menyadari hal itu, mendadak aku merasa kalau waktu sudah kembali normal. Sehingga membuat tubuh ini seolah jatuh lebih cepat.
“Hua!” Suara teriakanku yang begitu nyaring, menggema di dalam jurang.
Byur.
Dentuman tubuhku dengan air, sontak membuat diri ini merasa lemas.
Sakit, perih dan lelah bercampur dalam tubuh. Isi di dalam kepala ini langsung hilang begitu saja, dan diriku tidak lagi merasakan apa-apa.
Hampa dan gelap, mata ini tidak dapat melihat sepercik cahaya pun untuk dijadikan sebagai penerang. Suasana juga sangat senyap, hampir mirip dengan saat pertama kali aku datang ke hutan ini.
Ah ... apakah ini adalah alam baka?
“Le ....”
Di saat aku mulai pasrah akan apa yang menimpa diri ini, telinga tiba-tiba mendengar suara yang terdengar samar entah dari arah mana.
“Le ... o.”
Suara itu semakin terdengar jelas, namun tetap saja, aku tidak tahu dari mana asal suara tersebut.
“Leon ....”
Kubuka mata ini selebar mungkin lalu melirik ke sekitar. Akan tetapi, apa yang kulihat saat ini hanyalah warna hitam.
“Leon!”
Kini suara itu terdengar sangat nyaring di telinga. Dan tiba-tiba, kesadaran diri tertarik oleh sesuatu yang tidak kuketahui.
Air terburas keluar dari mulut, dan suasana yang tadinya begitu gelap telah berubah sepenuhnya menjadi terang.
“Uhuk, uhuk, uhuk ....” Aku terbatuk-batuk sambil memukuli dada dan menegakkan tubuh ini.
Setelah berhenti batuk, aku melirik ke samping kanan dan melihat sosok Mischie yang sedang mengatur napas. Perban berwarna putih yang membalut luka di dadanya kini dipenuhi oleh warna merah.
“Hei! Apa kau baik-baik saja?” tanyaku dengan nada khawatir.
Mischie tersenyum hangat lalu menjawab, “Ya. Aku ba—”
Sebelum Mischie sempat menlanjutkan perkataannya, ia tiba-tiba ambruk dan terbaring lemah di atas tanah. Melihat itu, aku segera bangkit berdiri lalu menghampirinya.
Saat kulihat dari dekat, tubuhnya ternyata pucat, dan saat disentuh, aku dapat merasakan betapa dinginnya tubuh itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung membetulkan tubuhnya yang terbaring.
Tanpa sadar, aku melirik Mischie yang sedang terbaring, dengan mata yang berbinar-binar.
“Aneh, sangat aneh ... kenapa dia mengabaikan dirinya yang terluka hanya untuk menyelamatkanku?” ucapku dengan sangat terharu.
Air mata mengalir membasahi pipi ini tanpa kusadari. Namun, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk terharu. Karena aku harus menemukan cara agar Mischie bisa bertahan.
Aku mengusap air mata yang mengalir dengan kedua tanganku, lalu segera bangkit berdiri dan mengawasi sekitar. Tidak ada tanda-tanda kehadiran seseorang di sekitar kami. Dan setelah kuamati lebih jauh, tempat kami berada saat ini adalah sebuah tanah kosong yang berada di dekat sungai serta tebing yang sangat tinggi.
“Baiklah, ke mana aku dapat menemukan makanan?” ucapku sembari berjalan menuju tepi sungai.
Kupandangi air yang begitu jernih dan mengalir dengan derasnya. Sejenak diri ini termenung menikmati pemandangan itu.
“Ah ... ingin rasanya aku menikmati hari-hariku tanpa ketegangan dan mengalir dengan mulus seperti air.”
Kata-kata itu terlontar dari mulut tanpa kusadari. Karena di lubuk hati yang paling dalam, aku sangat menginginkan hal itu.
“Ah, sudahlah. Mengharapkan hal seperti itu hanya akan membuang waktu.”
Dengan ucapan itu, aku menepis sebuah keinginan yang telah lelah untuk kugapai. Karena saat ini, hanya satu yang dapat kulakukan, yaitu bertahan hidup di lingkungan yang begitu kejam.
Perlahan-lahan kulangkahkan kaki ini bergerak ke dalam sungai. Dalam sekejap, dinginnya air sungai langsung terasa ke sekujur tubuh.
“Ini dingin ...,” kataku yang sedang gemetaran dan segera keluar dari sungai.
Kenapa aku begitu bodoh? Bagaimana mungkin aku bisa menangkap ikan tanpa bantuan suatu alat. Lagipula, aku tidak memiliki sesuatu yang dapat digunakan untuk menyulut api.
Baiklah, sekarang mari pikirkan. Di mana kiranya aku dapat menemukan sepotong roti untuk mengisi perut ini. Sembari terus memutar otak, aku berjalan menuju ke hulu sungai.
Langkah kaki ini terhenti saat melihat beberapa orang remaja sedang duduk membuat lingkaran. Tepat di seberang mereka, terdapat jembatan gantung yang sudah terputus dan bergelantungan di dinding jurang.
Segera aku berbelok dan bersembunyi di balik sebuah batu besar agar tidak ditemukan oleh mereka. Deru angin berhembus dengan kencang, langsung menyejukkan diri ini.
Setelah beberapa saat menunggu, aku akhirnya mulai mengendap-endap pergi kembali ke tempat Mischie berada. Saat di perjalanan, aku tak sengaja menemukan sebuah lubang yang tidak terlalu besar, pada dinding jurang.
Sebenarnya aku sangat ingin mencari tahu apa yang ada di dalam sana, tetapi kejadian sebelumnya membuatku menjadi ragu. Meskipun begitu, perlahan-lahan aku menjulurkan tangan ke arah lubang tersebut. Akan tetapi, belum sempat tanganku masuk ke dalam lubang, aku langsung menariknya kembali.
“Periksa atau tidak, ya?” gumamku karena kebingungan.
Periksa! Tidak! Periksa! Tidak!
Kedua kata itu terus berulang di dalam kepala sampai beberapa saat. Dari sini aku mulai menjadi ragu untuk memutuskan.
Kruuk.
Perutku yang sedang sangat lapar ini, berbunyi dengan keras hingga membuatku tidak peduli apakah di dalam lubang itu berisi ular atau roti.
“Ah sudahlah, perutku sedang lapar, aku tidak peduli dengan apa yang akan kutemukan di dalam sana." Aku menggerutu lalu kembali menjulurkan tangan ke dalam lubang.
Tangan ini lagi-lagi terhenti karena keraguan di dalam hati.
“Ah tidak, tunggu sebentar,” ucapku sembari menarik kembali tangan ini.
Oh, ayolah. Apa yang harus kulakukan?
Kruuk.
Panggilan alam itu lagi-lagi menggema di telinga. Dan kini, dengan menguatkan tekad dan menghancurkan keraguan, aku secepat mungkin memasukkan tangan kananku ke dalam lubang.
Saat tangan ini masuk ke dalam lubang, aku perlahan-lahan meraba apa yang ada di sana. Tiba-tiba aku menyentuh sesuatu hingga membuatku menarik kembali tangan ini dan sedikit menjauh.
“Eh? Apa itu?” gumamku dengan sedikit menaikkan nada suara.
Kupandangi lubang itu selama beberapa saat lalu kembali mendekat.
“Hm ... sepertinya aku salah mengira.” Sekali lagi aku berucap, kemudian kembali memasukkan tangan kanan ke dalam lubang itu.
Ketika tangan ini menyentuh sesuatu yang ada di dalamnya, aku dengan perlahan mengeluarkan benda itu dari sana. Kutarik napas lega, saat melihat kalau apa yang ada di dalam sana, adalah sepotong roti yang biasa kutemukan di dalam lubang pohon.
“Fiuh ... untunglah bukan ular.”
Setelah menemukan sepotong roti itu, aku mulai berjalan kembali sambil melihat-lihat apakah masih ada lubang yang menyimpan roti. Dan aku cukup beruntung karena dapat menemukan 3 potong roti lagi saat di perjalanan.
Setibanya di tempat tujuan, aku langsung duduk bersila di sebelah kanan Mischie sembari meletakkan roti-roti yang kubawa. Sejenak, aku menyentuh keningnya untuk memeriksa kondisi pemuda tersebut.
Sekali lagi aku menarik napas lega, karena suhu tubuh Mischie sudah mulai stabil akibat hangatnya sinar matahari.
Sejujurnya aku tidak tahu, apakah sinar matahari dapat menstabilkan kondisinya. Namun, karena tidak ada yang bisa kulakukan untuknya, aku memutuskan untuk membiarkan hal itu.
Kuambil sepotong roti yang aku bawa tadi, lalu mulai memakannya. Akan tetapi, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki yang berjalan mendekati kami hingga membuatku berhenti makan.
Astaga! Aku ini sebenarnya sedang beruntung atau sial, sih?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Dr. Rin
Fix jelmaan bon clay ini, sama2 diperban pula 😂
2023-05-31
0
–
Sampai sini, ku berikan lumayan dari pada lumayun
2020-04-22
0
–
toh, ketahuan nih. "menlanjutkan"
saya menemukan yang satu ini. Gak terlalu jauh dari judul
2020-04-22
0