Aku meletakkan roti—yang baru kulahap seperempat bagian—ke samping kanan lalu bangkit berdiri dengan perlahan. Suara langkah kaki yang kudengar beberapa saat yang lalu, sudah tak terdengar lagi.
Tanpa mau menunggu, aku langsung berbalik dan melihat sekelompok remaja yang terdiri dari tiga orang laki-laki dan dua orang gadis. Mereka berjajar dengan rapi sambil menatapku.
“Apa yang kalian inginkan?” tanyaku pada mereka dengan sedikit menaikan nada suara.
Mendengar pertanyaanku itu, gadis berambut pirang panjang yang diikat kucir kuda, dengan tubuh langsing, dan memakai celana hitam panjang serta kaos putih yang sudah terlihat lusuh karena tanah, memandangiku dengan saksama. Tak lama kemudian, gadis itu memalingkan pandangannya ke arah pemuda dengan tubuh kekar, lalu berkata, “Hm ... bagaimana menurut kalian?”
Aku menaikkan sebelah alis, karena tidak mengerti apa yang sedang ditanyakan oleh gadis itu kepada temannya. Mungkinkah mereka sedang berdiskusi tentang apakah mereka akan menghajar dan merampas semua makananku? Kuharap itu tidak benar.
Aku menghela napas dan melihat para remaja tadi sedang sibuk berdiskusi. Sebenarnya, aku sangat ingin menguping pembicaraan mereka. Akan tetapi, pikiran ini tidak dapat fokus untuk mencerna kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Malahan, apa yang kudengar dari mulut mereka hanya seperti angin lalu.
Setelah beberapa saat berdiskusi, mereka akhirnya beralih memandangiku. Aku tidak tahu kenapa mereka melakukannya, tetapi yang jelas, aku tidak suka dengan situasi ini.
Tiba-tiba seorang pemuda bertubuh tinggi, berambut pirang yang dipotong pendek dan acak-acakan, berada di depanku sambil menatap diri ini dengan sorot mata tajam. Suasana menjadi hening, dan keringat mulai bercucuran dari kulit kepala.
Beberapa menit kemudian, pemuda itu akhirnya membuka mulut dan berkata dengan suara yang sedikit serak. “Hei, kamu!”
“I-i-i-iya ....” Hanya dengan dua kata, orang itu berhasil membuat mentalku menciut, sampai-sampai tubuh ini menjadi kaku.
“Hah? Kenapa kau begitu tegang?”
Dia serius bertanya seperti itu? Apakah dia tidak tahu betapa menakutkatnya raut wajah yang dipancarkan oleh dirinya?
Kuangkat tanganku setinggi bahu lalu berkata dengan suara yang gemetar. “Ti-Tidak, itu ... maafkan aku!”
“Hm, kenapa kau meminta maaf?”
Sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya, seorang pemuda tinggi dengan rambut hitam pendek, datang dan meletakkan tangannya ke atas pundak pemuda berambut pirang, lalu berkata, “Sudahlah, James! Jangan menakutinya seperti itu!” Pemuda berambut hitam itu, kemudian berpaling ke arahku dan melanjutkan dengan penuh senyum. “Maafkan dia. Karena James ini bukan orang yang jahat, hanya saja, dia tidak dapat berekspresi dengan benar karena gugup.”
Dalam sekejap, ketegangan yang kurasakan, sirna begitu saja dan digantikan oleh kelegaan. Sambil terus mengangkat tangan di atas bahu, aku berkata dengan raut wajah konyol. “Ah, itu aku tidak mempermasalahkannya.”
“Haha.” Pemuda berambut hitam itu tertawa kecil lalu kembali berkata, “oh iya, perkenalkan, namaku Flicker.”
Pemuda berambut hitam yang memperkenalkan dirinya sebagai Flicker, menjulurkan tangan kanannya padaku. Kuturunkan kedua tangan yang terangkat, lalu berjabat tangan dengan Flicker.
“Namaku Leon, salam kenal, Flicker, ” kataku padanya, lalu mengakhiri jabat tangan.
Ini aneh. Kenapa dia terlihat sangat baik padaku? Bukankah seharusnya kami ini musuh? Namun sudahlah, tidak ada gunanya aku memikirkan hal itu sekarang. Karena jika aku tidak bersikap baik pada mereka, maka itu adalah akhir bagiku dan juga Mischie.
Setelah aku dan Flicker berkenalan, orang yang disebut James oleh Flicker, juga ikut berkenalan. Lalu satu per satu para remaja tadi mulai mengerubungi kami. Gadis berambut pirang yang kuperhatikan sebelumnya, mengatakan namanya dan dilanjutkan oleh gadis berambut hitam.
“Hai! Aku Villy.”
“Aku Geisa.”
Tak lama berselang, pemuda bertubuh kekar dengan rambut hitam panjang, juga ikut memperkenalkan diri.
“Namaku Gawk yang merupakan ketua mereka,” katanya dengan acuh.
Aku dengan terpaksa memasang senyum di wajah, lalu menjawab, “Aku Leon. Salam kenal.”
Setelah aku menjawab, mata ini melihat Flicker yang sedang melirik ke arah Mischie yang terbaring lemah, lalu bertanya dengan nada sedikit pelan. “Apa yang terjadi padanya?”
Kutundukkan kepala dan dengan berat hati diri ini menghela napas. Namun, sebelum aku sempat menjawab, Flicker langsung memotong dengan berkata, “Jika kau tidak ingin mengatakannya, aku tidak akan memaksamu untuk melakukan hal tersebut.”
Dari nada bicaranya, aku dapat tahu kalau dia menyesal karena menanyakan, kenapa Mischie bisa seperti itu. Mengetahui hal itu, aku pun berkata, “Ya, maafkan aku.”
“Tidak, tidak, tidak. Seharusnya aku yang meminta maaf. Mohon maafkan aku.”
“Tidak masalah.”
Sesaat kemudian, aku jadi terpikir akan sesuatu dan dengan segara bertanya pada mereka. “Kenapa kalian mau berteman denganku?”
Sejenak mereka semua saling bertukar pandang. Ekspresi yang terlihat di wajah mereka, tidak lain adalah ekspresi bertanya-tanya.
Kenapa mereka? Apakah aku salah bicara?
Di saat aku sedang bingung dan bertanya-tanya di dalam kepala, Gawk akhirnya angkat bicara.
“Bukankah sudah jelas karena kita ini rekan,” kata Gawk kepadaku.
“Hah? Benarkah?” tanyaku karena tidak percaya.
Para remaja itu menghela napas dengan serentak, sampai akhirnya Gawk melanjutkan, “Lihatlah tanda di lengan kirimu itu!”
Tanpa menunggu lagi, aku langsung saja melirik lengan kiriku, lalu melihat tato ular yang masih sama seperti sebelumnya. Sebelum aku sempat meminta mereka untuk menunjukkan lengan kiri mereka, dengan serentak para remaja itu menunjukkan lengan mereka kepadaku.
“Eh?”
Satu kata itu keluar dari mulut tanpa kusadari. Hati ini rasanya sangat senang karena akhirnya dapat menemukan rekan. Namun, entah kenapa, ada sisi diriku yang masih tidak dapat percaya pada seseorang, karena sesuatu yang terjadi di waktu itu.
“Kenapa kau terlihat murung? Apa kamu menganggap kalau kami ini lemah?” kata Geisa yang sedikit kesal melihatku.
Kuhela napas ini dan segera tersenyum hangat pada mereka, kemudian berkata, “Maaf, aku tidak bermaksud begitu. Hanya saja, aku terpikir pada sesuatu yang pernah kualami beberapa hari lalu.”
“Oh, maafkan aku karena bersikap sok tahu.”
“Tidak perlu dipikirkan.”
Tiba-tiba angin berhembus dengan kencang. Menyadari hal itu, aku langsung berbalik karena mendapatkan sebuah firasat buruk. Beberapa saat kemudian, aku melihat Gawk dan James berjalan ke depan. Aku tidak tahu apakah tebakan ini benar atau salah, tetapi yang jelas, mereka terlihat seolah menuju ke arah angin berhembus itu dengan terheran-heran.
Byur.
Sontak aku berbalik ketika mendengar suara itu menggema di belakangku. Arus air yang tadinya tenang, mendadak berubah menjadi penuh gelombang. Karena kejadian itu, aku semakin bertanya-tanya pada diri ini, tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Apa itu?” ucap Villy saat melihat seekor mahluk keluar dari dalam air.
Mahluk itu memiliki badan yang berukuran 3 kali manusia dewasa, dan memiliki tinggi sekitar 10 meter. Sekujur tubuh mahluk itu dilapisi oleh bulu yang berwana hitam layaknya seekor Gorilla. Akan tetapi, kepalanya bertanduk menyerupai kepala banteng, dan kedua tangannya memiliki cakar seperti harimau.
Saat melihat wujud mahluk itu, kelopak mataku terbelalak sangat lebar. Tubuh ini lagi-lagi menjadi kaku, dan detak jantung sudah menjadi semakin kencang. Kedua kaki tidak berhenti gemetar, dan keringat lagi-lagi membasuh sekujur tubuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
–
Tokoh utama yang....
Pengecut
2020-04-22
0
☠ᵏᵋᶜᶟ⏤͟͟͞R❦🍾⃝ͩɢᷞᴇͧᴇᷡ ࿐ᷧ
lah si leon ngapa dah? yang lain biasa aja kenapa dia gemeteran terus hmmm
2020-04-08
0
Re-Kun
masih banyak kesalahan penulisan, Thor... ayok revisi...
semangat...
2020-03-09
3