Segera setelah mereka menyiram cairan di sekujur tubuh kami, yang sudah terbujur lemah, mereka tanpa pikir panjang, langsung meninggalkan kami begitu saja. Dalam kondisi sulit itu, aku memutar otak berulang kali, untuk mencari tahu apa tujuan mereka.
“Argh, sakit sekali.” Flicker yang terbaring di sebelah kananku, merintih kesakitan.
Setelah Flicker sadar, teman-temanku yang lain juga mulai tersadar satu persatu.
Aku memaksa tubuh yang sangat sakit dan penuh luka, untuk bangun. Kedua kaki yang masih terasa nyeri, kupaksa untuk menopang tubuh ini agar dapat berdiri. Karena hal itu, darah kembali mengalir dari luka-luka yang masih belum tertutup. Ketika aroma amis itu memenuhi hidung, pikiranku menjadi kacau dan mulut terasa mual, hingga membuatku hampir muntah.
Kututup mulut, menggunakan kedua tangan agar dapat menahan isi perut yang hendak keluar. Tiba-tiba, aku mendapat sebuah firasat buruk bersamaan dengan datangnya hembusan angin.
“Groarr!”
Sebuah raungan yang membuat diri ini menjadi kalang kabut, mendadak terdengar sangat nyaring di telinga. Aku berpaling ke sana kemari mengawasi sekitar.
“Kroak! Kroak! Kroak!”
Suara kicauan gagak dan burung lainnya pun menggema. Mereka terbang ke arah utara, seperti hendak menjauh dari para pemangsa. Melihat itu, aku langsung melirik teman-temanku. “Sebaiknya kita segera pergi dari sini!”
Mereka semua berdiri, sambil menekan luka yang ada di tubuh mereka. Nampak dari raut wajah mereka, kalau kenyataannya mereka ingin segera lepas dari belenggu penderitaan yang mengikat diri mereka sekarang ini.
“Ayo kita pergi!” kata Flicker sembari menuntun kami semua berjalan dengan perlahan, menuju ke arah utara.
Sedetik kemudian, tanah beguncang hebat, hingga membuat tubuh ini semakin oleng dan begerak tak karuan. Aku terjatuh, karena tak kuasa menyeimbangkan diri ini, tetapi dengan gigih, aku kembali berdiri.
Hush.
Angin berhembus kencang, menghantarkan sebuah firasat buruk ke dalam pikiran. Aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak, tetapi yang jelas, suara raungan tadi sudah membuatku gelisah, sampai-sampai aku tak mau berlama-lama di tempat ini.
Semakin jauh berjalan, kami akhirnya menemukan sebidang tanah tandus, yang tidak ditumbuhi oleh apa pun. Seketika itu, terik matahari langsung menyengat ke sekujur tubuh, serta menghangatkan luka-lukaku. Namun, terik matahari itu juga membuat keringat bercucuran, dan tenggorokan ini menjadi kering.
“Groarr!”
Raungan itu menggelegar di seluruh hutan, dan mendadak, aku ditutupi oleh banyangan dari sesuatu yang ada di atasku.
“Awas!” seru Flicker sembari menarik tanganku supaya menghindar dari banyangan tersebut.
Dum!
Bunyi sesuatu yang jatuh dari langit langsung menggelegar, dan membuat debu-debu bertebaran di sekitar sesuatu itu.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Aku terbatuk beberapa kali karena menghisap debu yang bertebaran itu.
Ketika gumpalan debu tersebut mulai menghilang, mata ini dapat melihat bayang-bayang seekor monster yang tidak asing. Ya, itu adalah monster besar aneh yang pernah kami hadapi sebelumnya, saat berada di dalam jurang.
Dalam sekejap, jantungku berdetak kencang seolah ingin copot, dan tubuh menjadi kaku. Ini sangat aneh, kenapa aku begitu takut padanya? Padahal waktu itu, aku sudah berhasil menghilangkan rasa takut ini. Apa mungkin, karena tatapan matanya lebih ganas dari yang sebelumnya?
Monster besar itu menodongkan wajahnya kepada kami, dan seketika itu pula, mentalku menjadi semakin menciut. Namun, tiba-tiba tangan ini ditarik untuk berlari menjauh dari sang monster. Lalu hal yang tak pernah diduga, akhirnya terjadi.
Mischie yang menarikku untuk berlari bersamanya, secara mendadak menghentikan langkah kaki. Karena itu, aku juga ikut menghentikan langkah. Saat mata ini melirik ke depan, aku dapat melihat sebuah jurang yang tampaknya sama seperti jurang yang sebelumnya kami temui. Akan tetapi, ada satu pembeda yang sangat mencolok disini, yaitu; jurang ini tidak memiliki jembatan gantung atau semacamnya, yang bisa membantu kami untuk menyeberang.
“Hei! Bagaimana ini?” tanya James yang tampaknya sudah mulai panik, karena didesak oleh situasi ini.
“Apakah ada cara lain?” sahut Villy, dengan sebuah bertanya.
Dum!
“Groarr!”
Suara raungan bercampur dengan guncangan, dapat didengar dan dirasakan oleh diri ini. Monster besar itu, kini berjalan mendekat ke arah kami, sambil memasang wajah ganas seperti hendak memangsa. Melihat tindakannya itu, aku menjadi teringat akan sesuatu.
“Apa mungkin monster besar ini terobsesi dengan bau darah?” gumamku dengan pelan.
“Mungkinkah mereka ingin kita mati di tangan monster ini?” tanya Mischie yang mendengar gumamanku.
Sembari terus melihat ke arah sang monster, aku perlahan-lahan melangkah ke belakang.
Krak!
Dalam sekejap, aku menghentikan langkah ini dan melirik ke belakang. Dengan gerakan cepat, aku memalingkan pandangan ke arah lain. Tarikan napasku, kini semakin tak menentu, dan dalam hati ini, aku semakin bertanya-tanya tentang apa yang telah kulakukan hingga bernasib seperti ini.
“Gawat ... monster itu semakin dekat.” Aku mengucapkan kalimat itu, dengan terbata-bata.
Hush.
***
Sementara itu, di dalam ruangan yang ada pada terowongan, tampak seorang pemuda yang duduk di atas singgasana, layaknya seorang pangeran. Di sebelah kiri dan kanan pemuda itu, terdapat masing-masing dua orang gadis di setiap sisi, dengan pakaian setinggi perut, serta celana yang sangat pendek. Dan itu, adalah apa yang membuat suasana di ruangan ini, tidak layak disebut sebagai ruangan sang raja.
Beberapa langkah di depan tempat pemuda itu duduk, terdapat beberapa remaja yang sedang berdiri dalam diam, dan menghadap ke arah pemuda yang ada di atas singgasana tersebut. Pemuda yang duduk itu, bernama Andrew, yang merupakan tokoh seorang pemuda yang, sangat ditakuti oleh sebagian besar orang yang ada di hutan ini.
Andrew menyandarkan kepala di tangan kanannya yang mengepal, lalu berkata dengan nada datar. “Bagaimana keadaan mereka?”
“Ya, sepertinya mereka sudah berada di ujung tanduk sekarang,” jawab salah satu pemuda yang berjejer, yang tidak lain adalah Creeps.
Creeps mengatakan rangkaian kata itu, dengan nada pelan dan sedikit rasa kecewa. Namun, karena satu-satunya adik perempuan dari pemuda ini, ditahan oleh Andrew. Pemuda ini hanya bisa pasrah, menerima kenyataan bahwa dirinya harus mengikuti instruksi dari Andrew.
Melihat reaksi Creeps yang seperti itu, Andrew lantas tersenyum licik dan menatap Creeps, layaknya sebuah kotoran. Pemandangan seperti ini sungguh membuatku bersemangat, pikir Andrew. Ayo kita lihat, bagaimanakah reaksi orang bernama Leon itu, menghadapi masalah yang kuberikan padanya. Andrew kini tersenyum senang, saat memikirkan apa yang selanjutkan akan terjadi, karena tujuan pemuda ini hanyalah melihat raut wajah penuh keputusasaan, dari manusia yang dianggapnya mainan.
Di antara deretan remaja yang berdiri di depan Andrew, terdapat seorang gadis bermata biru, yaitu Lize yang sedang mengepalkan kedua tangan, karena mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Andrew. Sedangkan Creeps, hanya menundukkan kepala dengan pasrah, dan menatap lantai, menggunakan tatapan kosong. Maafkan aku, Leon, pikir Creeps karena menyesal tidak dapat membantu Leon, yang sedang dalam masalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Dr. Rin
aku knapa yak ga pernah bkin paragraf narasi dlu trus dialog kaya gni. semuanya dialog dlu baru narasi. Kaidah yg bner tu gmna yak thor? 🤔
2023-06-04
0
De..
lanjut..
2021-02-13
0
Re-Kun
P9 kebanyakan "mereka"
2020-04-12
1