Suhu hangat menyelimuti tubuhku, rasa sakit yang kurasakan kini membaik. Perlahan-lahan kubuka mata, dengan segera sinar matahari membuatnya silau.
Kututup mata, mengusap wajah dengan tangan kanan. Setelah itu, kucoba membuka mata dan menyesuaikan keadaan.
Perlahan-lahan, aku berdiri, menyeimbangkan tubuh agar tidak jatuh. Pandangan masih berputar-putar, kepala menjadi pusing. Beberapa saat kemudian, kondisiku menjadi lebih stabil.
Aku berjalan menuju sebuah pohon besar berlubang di sebelah kiri sambil menahan rasa lapar. Sesampainya di sana, aku langsung menjulurkan tangan kanan ke dalam lubang tersebut.
“Eh? Apa ini?” ucapku saat memegang apa yang ada di dalam lubang pohon.
Benda itu memeliki tekstur yang kenyal, lincin, dan memiliki permukaan kasar. Langsung saja kutarik keluar benda itu dari dalam lubang.
Begitu tangan ini keluar, aku langsung mundur beberapa langkah dan membuang apa yang sedang kupegang. Ternyata itu adalah seekor ular berwarna hitam dengan bintik putih di sekujur tubuhnya.
Ular itu menggeliat-geliat di tanah. Tanpa menunggu lagi, aku langsung berlari pergi dari sana. Namun, tiba-tiba aku mendengar suara desisan yang semakin mendekat.
Saat melirik ke belakang, aku dapat melihat dengan jelas kalau ular tadi sedang mengejar. Sesegera mungkin aku memalingkan pandangan dan menambah kecepatan.
“Sssh.” Suara desisan itu sekali lagi menggema di telingaku.
Tanpa melirik ke belakang, aku menambah kecepatan. “Argh, Mama! Tolong aku!”
Berlari tunggang langgang, aku tidak peduli dengan apa yang ada di depan. Semuanya kutabrak sampai rata, baik itu semak-semak, tumpukan daun kering, serta ranting.
“Apa-apaan hutan sialan ini! Mama, tolong!”
Sekian lama berlari, tarikan napasku menjadi tidak karuan, dada pun menjadi sesak. Kupelankan langkah, medekat ke sebatang pohon, kemudian bersandar di sana.
Sambil bersandar, kuletakkan tangan di dada sembari mengatur napas. Keringat mambasahi sekujur tubuh, kaki terasa kram. Namun, untungnya, ular tadi tidak dapat mengejarku.
“Sssh.”
Tiba-tiba suara menjengkelkan itu terdengar lagi. Nampaknya kali ini aku benar-benar sial.
Detak jantung meningkat saat semak-semak di dekatku bergoyang. Sesaat kemudian, terdengar lagi suara yang dapat membuatku merinding ketika mendengarnya. Suara tersebut mendesis dan bergetar, semakin lama desisan itu terdengar sangat jelas oleh telinga.
Ah, matilah aku.
Sebenarnya aku sangat ingin berlari, tetapi kaki ini benar-benar berat untuk diangkat. Bulu kudukku sekali lagi merinding, saat desisan itu terdengar lebih dekat.
Astaga, bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Mama, tolong aku!
Kakiku gemetar, air yang hangat akhirnya membasahi celana. Pikiranku juga sangat kacau dan semakin panik.
Dari dalam semak-semak, muncullah seekor hewan melata sambil mendesis. Hewan itu merayap dengan zig-zag, menuju ke arahku.
Tarikan napas kian cepat, dan tubuh semakin menempel ke batang pohon tempatku bersandar.
Gawat! Gawat! Gawat!
“Hush ... hush .... Pergi! Pergi! Pergi!” ucapku sambil melambai-lambaikan tangan untuk mengusir ular itu.
Tidak mengindahkan perintah, ular tersebut mendekat ke arahku. Namun, sebelum dia sempat mendekat, sebuah pedang meluncur dan menembus tubuh si ular, menancap di tanah.
Ular itu menggeliat-geliat memutari pedang yang melukainya. Darah mengalir dari bekas lukanya, membasuh pedang yang tertancap di tubuhnya.
Suara langkah kaki dan ranting yang patah karena terinjak, semakin mendekat dari arah belakangku. Tak lama kemudian, seorang pemuda bertubuh tidak begitu tinggi, dengan rambut pendek berwarna hitam, bagian dadanya dibalut perban, muncul dari sana.
Pemuda itu berjalan melewatiku, memungut sepotong kayu yang berada tidak jauh dariku menggunakan tangan kanannya. Dia lantas membawa potongan kayu tersebut ke arah si ular dan mulai memukuli kepala ular tersebut.
Darah mencurat dari kepala ular itu, membasahi dedaunan kering serta rerumputan di sekitarnya. Tubuh si ular menggeliat, tetapi si pemuda berambut pendek tidak mempedulikannya dan terus memukuli ular tersebut.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu berhenti memukul, mengambil kembali pedangnya dengan tangan kanan setelah membuang potongan kayu di tangannya. Sedangkan ular yang dipukulinya tadi sudah tidak berkepala dan terbaring mati.
Pemuda itu berbalik, menatapku sambil menutup hidung. “Kau kencing di celana, ya?”
Rasanya aku sangat ingin menghajar pemuda ini, tetapi entah kenapa aku malah menjadi malu saat dia mengatakan itu padaku.
Pemuda tersebut menundukkan kepala, tubuhnya gemetar, dan tangan kirinya menutupi mulut. Suara gelak tawa kecil terdengar dari mulutnya. Lalu sambil mencoba menahan tawa, pemuda itu berkata lagi. “Jadi begitu, ya ....” Tubuhnya semakin gemetar. “Ternyata kau takut dengan ular.”
Sialan, dia membuatku kesal saja. Sepertinya aku memang harus mengingatkan dia pada satu hal.
“Hei! Hentikan itu! Apa kau tidak ingat kalau kau sudah berhutang nyawa padaku?”
“Baiklah ... pfft ... baiklah, baiklah.”
Kuhela napas dan dengan enggan membiarkan ejekan pemuda itu berlalu begitu saja.
“Oh iya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Leon,” kataku untuk mengalihkan topik pembicaraan.
Pemuda itu kembali menegakkan kepalanya, kemudian mendekat sambil mengulurkan tangan. “Namaku Mischievous Neophyte.”
Tanpa menyambut uluran tangannya, aku menatap pemuda tersebut dengan heran. “Mischie— apa tadi namamu?”
Dia menarik kembali tangannya dan berujar dengan sedikit kesal, “Mischie-vous Neo-phyte.”
“Eh? Apa-apaan nama bangsawan itu? Mungkinkah di hutan ini ada sebuah kerajaan dan kau adalah sang pangeran yang hilang?”
“He, he, he. Kau pasti iri karena aku memiliki nama yang bagus.” Dia mengatakannya dengan sombong serta angkuh.
“Cih,” kataku sambil meludah, “siapa yang akan iri pada nama seorang pangeran dari kerajaan monyet sepertimu?”
“Apa katamu?” bentaknya karena kesal ketika kuejek secara terang-terangan.
Ketika aku hendak kembali mengejeknya, secara tidak sengaja, aku melihat sebuah tato ular berwarna hitam di lengan kiri pemuda itu.
“Apakah tato itu sudah ada di sana sejak kemarin, Mischie?” Dengan heran aku menunjuk lengan kiri Mischie.
“Sudah kubilang, kalau namaku Mischievous!”
“Baiklah, baiklah.”
Mischie lalu melirik lengan kanannya dan bergumam, “Eh? Sejak kapan aku mempunyai tato seperti ini?”
“Kau bercanda? Padahal itu adalah lenganmu sendiri, tetapi kenapa kau tidak tahu kalau di sana terdapat tato?”
Mischie kemudian mengalihkan pandangan ke arah lengan kiriku. “Bukankah kau juga memilikinya.”
“Huh? Apa maksudmu?”
Ketika melirik lengan kiriku, sontak mataku terbelalak dan mulutku terbuka lebar. “Apakah aku memang mempunyai tato seperti ini?” Tentu saja aku sangat heran saat melihat sebuah tato ular berwarna hitam menempel di lenganku.
“Kukuku. Kau bercanda? Padahal itu adalah lenganmu sendiri, tetapi kenapa kau tak tahu kalau di sana terdapat tato?” Mischie mengejek menggunakan kata-kataku padanya beberapa saat lalu.
Sebelum aku sempat menjawab, tiba-tiba tanah bergetar hingga membuatku bergerak tak karuan agar tidak kehilangan keseimbangan. Beberapa saat kemudian, getaran itu berhenti, ketika mataku melirik ke depan, detak jantungku langsung berdebar kencang, dan tanpa sadar kakiku telah melangkah mundur.
“Apa lagi ini?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
PHSNR👾
alamaak namanya susah betuul, otak sama bibir q ampe keriting
2025-03-18
0
PHSNR👾
kasian anak mama, ampe ngompol gitu loo 😅😅
2025-03-18
0
PHSNR👾
astaga ngakak weee 🤣🤣😅
2025-03-18
0