Sekali lagi tubuh ini gemetaran dan kaki melangkah mundur untuk menjauh.
Dari arah yang kupandang, asap hitam membumbung ke langit dan angin yang begitu kencang, kian memperbesar nyala api yang membakar pepohonan.
“Cepat lari!” seru Mischie.
Tiba-tiba tangan kanan ini ditarik oleh Mischie hingga membuatku berlari bersamanya. Kupercepat langkah dan menyesuaikannya dengan langkah kaki Mischie.
Mischie terus berlari, tangan kirinya menggenggam pedang, dan tangan kanannya menarikku. Tetapi setelah kuperhatikan lagi, cara Mischie berlari tampak seperti orang yang sedang menahan sakit.
“Lepaskan aku!” kataku sambil melepaskan genggaman tangan Mischie, dan terus berlari.
Sejenak Mischie melirikku, kemudian ia pun lanjut berlari.
Tak berapa lama kemudian, suhu udara menjadi semakin panas, dan terik matahari semakin menyengat. Tiba-tiba Mischie jatuh terjerembab ke tanah.
Aku dengan cepat menghentikan langkah dan berbalik untuk membantunya berdiri. Mischie sangat beruntung, karena pedang yang ia bawa itu tidak mengenai tubuhnya.
Kutarik tangan kanannya agar dia bisa berdiri, tetapi Mischie malah melepaskan genggaman tanganku itu.
"Ja-Jangan pedulikan aku! Tetaplah hidup Leon!" katanya dengan tersendat-sendat.
Mischie memeluk dadanya dengan erat, lukanya yang sudah kuperban kini mulai berdarah lagi.
Saat ini aku bisa saja meninggalkan dia, namun hati kecilku tidak sanggup melakukannya. Aku berbalik lalu menggendong Mischie di punggungku.
"Apa yang kau lakukan? Tinggalkan saja aku!" Mischie membentak dengan kesal.
Punggungku yang kering kini basah oleh darah Mischie. Ketika aku mulai berjalan, langkah ini terasa lebih berat dari yang sebelumnya.
"Tu-Turunkan aku, Leon!" Sekali lagi Mischie membentakku.
"Tidak akan!" Aku menjawab dengan tegas.
Mischie memberontak, dia berusaha sekuat tenaga untuk turun dari punggungku. Namun, aku tidak membiarkannya untuk berhasil. Kuperkuat genggaman tangan dan mempercepat langkah.
Karena tidak berhasil memberontak, Mischie akhirnya bertanya, "Kenapa kau mau menolongku?"
"Itu karena kita adalah teman."
"Ha ... hahaha. Teman huh? Kau sedang bercanda, ya?"
Mischie berusaha untuk membuat nadanya menjadi seperti orang songong saat mengatakan itu. Akan tetapi, hal itu tidak dapat mengelabuhiku. Karena aku tahu, dia melakukan itu untuk membuatku menjadi benci padanya dan menurunkan dia.
"Untuk apa aku bercanda sekarang? Lagipula, kau juga bukan orang jahat."
"Dari mana kau dapat tahu kalau aku ini bukan orang yang jahat?"
Alasanku menolongnya bukan hanya karena dia baik atau jahat, tetapi karena dia memiliki tato yang sama denganku. Karena itu aku menyimpulkan kalau mungkin dia adalah rekan.
Tiba-tiba perut ini terasa sakit hingga membuatku jatuh terjerembab ke tanah.
Sekujur tubuh terasa nyeri karena terjatuh dan ditimpa oleh Mischie. Namun, tak lama kemudian, punggungku terasa lebih ringan, lalu aku pun kembali berdiri sambil menahan rasa sakit.
Di sebelah kananku, Mischie sedang menahan lukanya dengan kedua tangan agar darah tidak keluar. Dari raut wajahnya, aku dapat mengerti kalau dia sedang menahan rasa sakit yang luar biasa. Namun, karena kobaran api semakin mendekat, aku tanpa pikir panjang langsung menggendongnya di punggungku seperti sebelumnya.
Dalam sekejap, darah dan keringat Mischie langsung membasahi punggung dan tanganku. Tetapi kuabaikan semua itu dan terus berlari untuk menjauh dari kobaran api.
Semakin jauh berlari, kaki ini menjadi kram, keringat membasahi sekujur tubuh, dan napas mulai tersengal. Langkahku semakin berat dan melambat.
“Tu-Tu ... runkan saja a-ku ...,” rintih Mischie dengan nada yang terdengar berat dan terbata-bata.
“Haah, haah, haah ....” Sambil mengatur napas, aku menjawab, “Haah, Ma-Mana mungkin ... aku ... meninggalkanmu begitu saja.”
“Ta-Tapi jika seper ... ti ini terus, ki-kita akan mati ....”
“Haah, haah, i-tu tidak mungkin terjadi, haah, haah.”
Tak jauh di depan kami, aku dapat melihat sebuah padang rumput yang begitu luas. Aku pun memaksa kaki ini untuk melangkah lebih cepat.
Setibanya di tanah lapang itu, kaki ini terasa begitu lemas hingga aku jatuh terjerembab untuk kedua kalinya. Akan tetapi, efek yang timbulkan lebih parah dari yang sebelumnya, karena kali ini wajah dan tubuhku terluka.
Darah mulai mengalir dari luka-lukaku dan membasuh pakaian. Sebenarnya memang tidak mungkin aku dapat terluka saat jatuh di lapangan, tetapi lapangan tempatku jatuh saat ini dipenuhi oleh batu kerikil kecil yang tajam.
Perih ... perih, sangat perih ....
Semua lukaku mulai terasa perih dan sekujur tubuh terasa sakit.
“Argh ...,” rintihku sembari menopang tubuh ini dengan kedua tangan.
Ketika kucoba untuk berdiri, Mischie yang ada di atas punggung ini langsung berguling ke samping kanan. Aku berdiri, kemudian berbalik dan memelihat nyala api tadi merambat semakin cepat menghanguskan pepohonan.
Beberapa saat kemudian, begitu banyak remaja, baik itu laki-laki atau perempuan, yang berlarian keluar dari hutan yang sudah terbakar. Tiba-tiba sekelompok remaja berlarian ke arahku dan Mischie. Mereka mendorongku hingga terjatuh dan menginjak-injak tubuh ini.
“Argh, argh...” Aku merintih, menutup wajah dengan kedua tangan agar tidak terinjak.
Aku berguling ke kiri dan ke kanan selama beberapa saat, hingga akhirnya sekelompok orang itu telah berada jauh dariku. Aku berdiri, kepala terasa berputar-putar, dan rasa sakit akibat terinjak, menyebar ke sekujur tubuh.
Aku melangkah, memperpendek jarak dengan Mischie yang sudah sekarat karena terinjak-injak. Sesampainya aku di samping pemuda itu, aku langsung bergegas mengangkat tubuhnya ke atas punggungku dan mulai berjalan.
Sebenarnya kami bisa saja beristhirahat di lapangan luas ini untuk sementara waktu. Karena api pasti tidak akan dapat menjangkau tempat ini. Akan tetapi, nampaknya itu adalah hal yang buruk, karena di ujung lapangan terdapat sebuah jurang yang membentang begitu jauh seolah tak berujung.
Sesampainya di tepi jurang, aku melihat kerumunan para remaja sedang berbaris untuk melewati jembatan gantung yang penjangnya sekitar 50 meter agar dapat menyeberangi jurang. Alasan mereka melakukan ini sudah jelas supaya dapat bertahan hidup. Karena jika mereka tetap bertahan di hutan yang sudah terbakar, lambat laun mereka pasti akan mati karena kelaparan atau pun sesak napas akibat polusi udara.
Berjalan perlahan sambil menggendong Mischie di atas punggung, aku menerobos masuk ke dalam kerumunan yang begitu ribut dan saling dorong agar bisa berjalan melewati jembatan.
Tiba-tiba aku tersenggol ke belakang oleh beberapa orang, hingga membuatku keluar dari kerumunan dan kehilangan keseimbangan lalu jatuh terbaring. Meskipun begitu, punggung ini tidak merasakan sakit apa pun, karena aku jatuh menimpa Mischie.
Menyadari hal itu, aku langsung bangkit berdiri lalu memeriksa keadaan Mischie. Tubuhnya terbaring lemah, kedua tangannya masih tetap menekan luka di dadanya, dan dia menjadi semakin kesakitan setelah kutimpa tadi.
“Bertahanlah!” kataku sembari mengangkat kembali tubuhnya ke atas punggungku.
Aku tahu ini memang tidak berperasaan, tetapi demi kelangsungan hidup, ini adalah harga yang murah.
Perlahan-lahan kulangkahkan kaki ini menuju ke arah kerumunan. Para remaja yang berkerumun itu masih saling bertengkar untuk melewati jembatan. Aku mengabaikan itu semua dan mengendap-endap hingga akhirnya sampai di tepi jembatan.
Dengan cepat aku melangkahkan kaki ke atas jembatan, dan dalam sekejap mentalku menciut saat jembatan itu bergoyang-goyang.
Eh!? Kenapa ini!?
Otakku seolah berputar dengan cepat dan sangat kacau. Keringat mulai bercucuran dari kulit kepala, dan tarikan napas menjadi semakin cepat. Akan tetapi, kukuatkan hati dan terus melangkahkan kaki yang gemetar ini.
Tiba-tiba aku ditabrak dari arah belakang oleh seseorang hingga membuatku jatuh terjerembab. Tak lama kemudian jembatan bergungcang sangat kuat, lalu tali-tali yang digunakan untuk berpegangan saat menyeberang, mulai kendor dan jatuh bergelantungan.
Sebelum aku sempat berdiri, jembatan gantung itu menjadi miring kemudian putus. Suara teriakan dari orang-orang yang sedang menyeberang langsung menggema didalam jurang.
“Tidak!!!” teriakku saat menyadari diri ini akan jatuh.
Bulu kudukku merinding, dan rasa takut memenuhi pikiran. Dengan panik aku langsung menyambar tangan kanan Mischie dengan tangan kiri lalu menyambar salah satu tali jembatan dengan tangan kanan.
Telapak tanganku terasa sangat panas ketika menggenggam salah satu tali. Namun, aku menahan rasa sakit itu hingga akhirnya jembatan berserta orang-orang yang bergelantungan terhempas ke diding jurang.
Saat benturan itu terjadi, kepalaku terasa begitu sakit, dan sekujur tubuh terasa remuk.
“Arhg ...,” rintihku dengan sangat pelan.
Kedua tangan terasa ingin lepas karena menahan beban yang begitu berat. Lalu tanpa kusadari, tangan ini melepaskan tali untukku bergelantungan.
“Eh!?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Dr. Rin
sama lagi kata2nya kaya si bon clay 🤣
2023-05-31
0
Dr. Rin
kaya si bon clay aja baru kenal langsung baik bngt 😆
2023-05-31
0
–
Terinspirasi dari 7seeds?
Aku mulai tertarik dengan ini, mulai menimbulkan pertanyaan.
2020-04-22
0