Aku menatap monster itu dengan tajam sembari mengepal kedua tangan. Jujur saja, saat ini aku sangat ingin menyerangnya. Namun, aku paham kalau itu adalah hal yang sia-sia.
Dengan gerakan secepat kilat, aku mengambil tanah lalu melemparkannya pada wajah sang monster. Dia berpaling ke arahku sembari menatap diri ini bagaikan seekor semut.
“Hei, kau monster jelek!” kataku dengan lantang.
Menanggapi itu, sang monster lalu mengangkat kakinya dan bersiap menginjakku. Gerakan monster begitu lambat, sehingga aku dapat menghindar dengan berlari sekuat tenaga ke arah teman-temanku.
“Hei, kau baik-baik saja?” tanya Villy yang terlihat khawatir.
Sambil mengatur tarikan napas yang tak karuan, aku pun menjawab, “Ya, aku tidak apa-apa.”
Dum!
Dengan satu hentakan kaki sang monster, tanah lagi-lagi berguncang, hingga membuat kami harus menjaga keseimbangan dengan bergerak ke sana kemari agar tidak terjatuh.
Setelah guncangan itu usai, entah kenapa kepalaku menjadi sangat pusing, padangan bergoyang-goyang, dan tubuh sempoyongan. Kondisiku saat ini hampir mirip dengan kondisi orang yang sedang mabuk berat. Namun bedanya, aku seperti ini karena tanah yang berguncang, sedangkan orang mabuk karena kebanyakan minum alkohol.
Segera setelah kondisiku lumayan membaik, aku dengan cepat menghasut teman-temanku untuk pergi memasuki gua yang ditemukan oleh Villy dan Geisa.
“Lari! Kita harus bersembunyi dari monster itu,” kataku pada mereka sembari mulai berlari.
“Tidak!” tolak Geisa dengan suara serak.
Mendengar itu, aku langsung menghentikan langkah lalu berbalik menghampiri Geisa.
“Kenapa kau menolak?” tanyaku dengan panik.
“Bunuh! Bunuh!”
Aku mundur selangkah ketika Geisa mengatakan itu sambil menundukkan kepala. Wajahnya entah kenapa terlihat menggelap, dan aku merasakan kalau ada sesuatu yang aneh keluar dari tubuhnya.
Tidak salah lagi. Ini adalah hawa menbunuh yang sangat kuat. Dan sepertinya, dia akan segera mengamuk jika tidak dihentikan.
Tiba-tiba saja, Flicker menggendong Geisa seperti sedang menggendong seorang ratu, lalu berlari dengan cepat menuju ke arah gua. Namun, tampakanya Geisa tidak senang. Karena saat Flicker menggendongnya, dia masih terus meronta-ronta agar dapat diturunkan.
Melihat itu, aku, Villy, dan James langsung berlari mengejar mereka. Tidak jauh di depan kami, aku dapat melihat Mischie yang sedang bersandar di dinding pintu masuk gua sambil menekan luka di dadanya.
Tanah kembali berguncang, menanggapi itu, aku mempercepat langkah kaki ini hingga akhirnya sampai di depan gua. Dan dari sini aku sadar, kalau tempat itu bukanlah gua, melainkan sebuah terowongan. Tanpa menunggu lagi, aku masuk ke dalam gua mengikuti Flicker yang tengah berlari menggendong Geisa.
“Turunkan aku! Lepaskan!”
Kata-kata dari mulut Geisa, menggema di dalam terowongan yang sangat gelap.
“Ini menakutkan,” gumamku dengan pelan. Akan tetapi, suaraku itu tetap terdengar nyaring karena gema di dalam terowongan.
Setelah beberapa saat berlari tak tentu arah di dalam terowongan, keadaan menjadi sunyi dan hanya suara langkah kaki yang terdengar. Namun, tak lama kemudian, suara langkah kaki itu tidak terdengar lagi. Karena hal itu pula, aku menghentikan langkah kaki ini.
Gelap, sunyi, dan hampa. Itu adalah apa yang sedang kurasakan saat ini. Ketika aku melirik ke sekitar, aku tidak dapat menemukan apa pun selain warna hitam. Dan entah kenapa, kini bulu kudukku merinding.
“Sssssh!”
Tiba-tiba aku mendengar suara desisan yang berasal entah dari mana. Perlahan-lahan, suara desisan itu semakin nyaring hingga membuat detak jantungku meningkat dengan cepat.
Argh, sialan. Kenapa aku selalu saja sial seperti ini, sih?
“Sssssh!”
Bagaimana ini? apa yang harusnya kulakukan? Argh, sialan! Sial! Sial! Sial!
Sekarang pikiran ini sedang begitu panik, hingga membuatku tidak dapat berpikir dengan jernih. Dan dalam kondisi seperti itu, aku berbelok ke samping kanan lalu berjalan sambil meraba-raba apa yang ada di depanku saat ini.
Setelah beberapa saat berjalan, aku masih tak kunjung menemukan dinding terowongan. Apa yang kusentuh saat ini hanyalah udara dingin dari sunyi dan gelapnya terowongan.
Tiba-tiba bulu kudukku kembali merinding, karena suara desisan yang kian nyaring. Sebenarnya, saat ini aku sangat ingin mengutuk nasibku yang selalu sial ini. Namun, tidak ada artinya aku melakukan hal itu.
Terus berjalan dalam gelapnya terowongan, tanganku yang menjulur kedepan, akhirnya menyentuh dinding yang memiliki permukaan gersang dan sepertinya adalah tanah. Tidak, tunggu dulu, dinding ini memang keras, tetapi sepertinya bukanlah tanah. Ini berbeda, permukaannya sangat kasar dan tersusun oleh batu-batu yang berbentuk kotak.
Ah, sudahlah, ini tidak penting.
Mengabaikan hal itu, aku kemudian berbalik dan bersandar ke dinding tersebut. Dan setelah sebentar mengisthirahatkan badan, aku berbelok ke samping kanan lalu mulai berjalan sambil terus meraba-raba dinding terowongan.
“Ssssh!”
“Astaga, dia membuatku kaget saja,” kataku karena dikejutkan oleh suara desisan itu.
Karena hal itu, aku mempercepat langkah kaki sambil berharap akan menemukan jalan keluar.
“Sss—”
Saat kukira kalau telinga ini akan mendengar suara desisan itu lagi, tiba-tiba suara tersebut lenyap begitu saja sebelum terdengar sepenuhnya.
Eh? Apa yang terjadi? Kenapa suara desisan itu menghilang?
Dalam sekejap, berbagai pertanyaan muncul di dalam kepalaku. Namun, tidak ada satu pun yang dapat kujawab.
Bruuk.
Haah, haah ....
"Suara apa itu?"
Sesegera mungkin aku berpaling ke arah belakang yang merupakan sumber suara tersebut.
Kosong dan gelap, kedua mata ini tidak dapat melihat apa yang ada di ujung sana. Apa yang dapat kulihat hanyalah kegelapan yang begitu pekat tanpa ada apa pun di dalamnya.
Perlahan-lahan, aku kembali memalingkan pandangan ke depan dan terus berjalan, sambil meraba-raba dinding. Dan sejauh ini, aku tidak lagi mendengar suara apa pun selain langkah kakiku.
Semakin jauh berjalan, napasku menjadi tak menentu dan kaki ini begitu lemas. Seiring berjalannya waktu, aku hampir menyerah untuk menemukan jalan keluar, hingga ingin berhenti cukup sampai disini.
Krak.
Tanpa sadar, aku memalingkan pandangan ketika merasa kalau ada seseorang yang tengah berlari di sebelah kiriku. Namun, saat aku melirik ke arah itu, lagi-lagi aku tidak dapat menemukan apa-apa.
Tarikan napasku yang sudah tak karuan, kini menjadi semakin tidak beraturan. Keringat pun mulai bermunculan dari pori-poriku dan membasahi sekujur tubuh.
Jujur saja, saat ini aku tengah ketakutan berada di dalam terowongan gelap ini seorang diri. Karena hal itu, aku pun berseru, “Flicker! James! Villy! Mischie!”
Meskipun aku memanggil nama-nama itu, tetap saja tidak ada yang memberi jawaban.
“Mischie! Flicker!” ucapku sembari terus berjalan dengan perlahan-lahan.
Saat diri ini hampir putus asa karena merasa tidak memiliki harapan. Tiba-tiba saja aku merasakan hembusan angin yang berasal dari depanku. Menyadari hal itu, aku langsung bergegas menuju ke arah depan dengan semangat yang membara.
“Mm!”
Tanpa kusadari, mulutku sudah dibungkam oleh tangan seseorang yang ada di belakangku saat ini. Aku mencoba memberontak dengan menarik tangannya dari mulutku, tetapi naas, tenagaku tidak cukup kuat untuk melakukan hal itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
–
Bukannya abis tanda "?" "!" dan "." itu ditulisnya huruf kapital?
2020-04-24
0
☠ᵏᵋᶜᶟ⏤͟͟͞R❦🍾⃝ͩɢᷞᴇͧᴇᷡ ࿐ᷧ
Sebenarnya monster itu menginginkan apa Marekkkkk?
2020-04-08
0
Re-Kun
Mark... coba nanti kamu baca ulang, dengan bersuara.
cara itu, selain bisa menambah fokus dalam revisi, bisa juga mengasah kamu dalam penggunaan tanda baca.
2020-03-18
1