Kami bertiga berjalan menyusuri hutan, sampai akhirnya menemukan sebuah pemukiman yang dikelilingi oleh pagar kayu. Di antara deretan pagar kayu tersebut, terdapat sebuah jalan masuk, tetapi dijaga oleh dua orang penjaga. Salah satu dari mereka adalah seorang pemuda tinggi berkulit hitam dan rambut kriting. Sedangkan satunya lagi, seorang pemuda pendek dengan rambut acak-acakan.
Wolf menuntun kami mendekati mereka. Dengan dia santai hendak masuk ke pemukiman. Namun, kedua penjaga tadi menghentikannya.
“Siapa kalian?” tanya penjaga berambut kriting, menghentikan Wolf.
“Hei, tenanglah! Kami baru saja terkapar di sini. Jadi secara otomatis, kami adalah rekan baru kalian. Bukankah begitu?” Wolf mencoba meyakinkan mereka.
Kedua penjaga itu saling pandang selama beberapa saat, lalu penjaga berambut kriting menjawab, “Baiklah, kalian boleh masuk. Tapi jika kalian adalah mata-mata, maka bersiaplah untuk mati.”
“Ya, terserah kalian saja.” Tanpa berlama-lama Wolf menerobos masuk ke dalam pemukiman.
Pemukiman yang kami masuki ini adalah sebuah lingkungan sederhana. Rumah-rumah di sini masihlah berbahan kayu serta berbentuk gubuk ala orang-orang primitif.
Masuk lebih jauh, kami menemukan sebuah gubuk dengan ukurannya lebih besar dari yang lain. Langsung saja Wolf masuk ke dalam gubuk tersebut tanpa permisi.
Aku dan Ellise bertukar pandang sambil berdiri mematung di depan gubuk. Beberapa saat kemudian, terjadi keributan dari dalam gubuk. Di saat yang bersamaan, Wolf melayang keluar dari sana.
Tanpa ada jeda, seorang pria paruh baya berbadan kekar, memasang raut wajah kesal, keluar dari gubuk itu juga. Pria tersebut berjalan mendekati Wolf—yang terbaring dengan wajah pucat—lalu memandanginya sambil membunyikan jari-jari tangan.
Wolf menegakkan tubuh sambil mengangkat kedua tangan kemudian mundur perlahan. Namun, pria paruh baya itu tidak mempedulikan tanda menyerah dari Wolf.
Saat pria itu semakin dekat dari Wolf, tiba-tiba Ellise berdiri di depannya sembari merentangkan kedua tangan.
Pria itu memasang raut wajah ganas. “Minggir!”
Ellise menggeleng untuk menanggapi. “Tidak bisa! Anda tidak boleh menyakiti teman saya.”
Pria itu bersikap tak acuh dan berjalan sampai hampir menabrak Ellise. Belum sempat pria tersebut melangkah lebih jauh, pria lain yang memiliki tubuh tinggi, lantas memegang pundak pria tadi hingga membuatnya berpaling ke belakang.
Suasana menjadi hening, pria paruh baya tadi menghela napas, dengan berat hati membiarkan masalah yang dibuat Wolf, berlalu begitu saja.
“Baiklah, Roman. Aku akan membiarkannya kali ini,” kata pria itu pada orang yang menghentikannya sembari kembali masuk ke dalam gubuk.
“Haih, lain kali jangan seperti ini, Eric,” jawab pria bernama Roman, sambil tersenyum.
Roman mengulurkan tangan untuk membantu Wolf berdiri. Uluran tangan tersebut disambut baik oleh Wolf, tetapi wajahnya masih saja pucat akibat kejadian tadi.
“Tolong maafkan perbuatan temanku tadi,” Roman berbicara selembut mungkin.
Menanggapi perkataan itu, Wolf mengangguk beberapa kali, lalu melepaskan genggaman tangannya dari tangan Roman. Kemudian, aku pun segera mendekati mereka.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku pada Wolf.
Wolf mengangkat kepalanya yang tertunduk, mengatur napas perlahan-lahan untuk menenangkan diri.
“Ya, aku sudah tidak apa-apa,” jawab Wolf, datar.
Aku mengalihkan pandangan pada Ellise. “Bagaimana denganmu, Ellise?”
Ellise tersenyum hangat. “Aku juga baik-baik saja.”
Jujur, aku merasa malu kali ini. Pada saat mereka sedang dalam masalah, aku tak sanggup berbuat apa pun untuk menolong. Diriku sungguh orang yang buruk.
“Sebaiknya kalian mengikutiku agar dapat beristirahat dengan tenang. Meskipun hanya di dalam gubuk sederhana,” ajak Roman sembari menuntun kami menuju sebuah gubuk, tak jauh dari sini.
Sesampainya di sana, Roman langsung mempersilakan kami masuk. Gubuk yang kami masuki ini memiliki lantai beralaskan tikar berbahan daun pandan yang dikeringkan serta dianyam sedemikian rupa.
Bagian dalam gubuk ini juga sederhana, tidak memiliki banyak barang. Di pojok ruangan, aku dapat melihat perlatan berburu seperti tombak, busur, serta tas besar yang sedikit rusak. Sedangkan bagian lainnya tidak berisikan apa-apa.
“Silakan menunggu di sini.” Roman lantas pergi menuju pintu belakang gubuk.
Aku, Wolf, dan Ellise duduk membentuk setengah lingkaran. Suasana sangat sunyi, tidak ada percakapan. Kesunyian itu berlangsung selama beberapa saat, sampai akhirnya aku memutuskan memulai obrolan. "Kenapa kau sangat ceroboh, Wolf?" Kulirik Wolf yang sedari tadi hanya duduk diam sambil menundukkan kepala.
Selain karena aku tidak mengerti tindakan Wolf beberapa waktu lalu, pertanyaan itu juga dimaksudkan untuk memuaskan rasa ingin tahu pada alasan kenapa diriku hilang ingatan. Dan kenapa Wolf bisa tahu namaku. Aku mulai curiga kalau dia adalah penyebabnya.
Ah, nampaknya tidak mungkin.
Segera aku menepis kecurigaan tersebut, karena aku masih belum bisa memastikan kebenarannya.
Wolf menengadah, menatap langit-langit sembari menghela napas. “Awalnya kupikir gubuk itu adalah tempat yang digunakan oleh semua orang di sini.”
“Dengan kata lain, kau pikir gubuk besar itu digunakan untuk melakukan perkumpulan atau semacamnya?”
“Karena memang seharusnya begitu.”
Astaga, kenapa dia bisa sesuka hati mengambil kesimpulan tanpa pikir panjang? Tidakkah dia tahu kalau bangunan besar tidak selalu dijadikan sebagai tempat perkumpulan?
Tak lama kemudian, pintu belakang gubuk terbuka, seorang pria yaitu Roman, masuk ke dalam gubuk melalui pintu itu. Tangannya membawa sebuah karung kecil yang terbuat dari kain serta berisikan sesuatu.
Roman duduk bersila di depan kami bertiga. Dia mengeluarkan beberapa potong roti dan botol air minum, lalu meletakkannya di tengah-tengah kami.
“Silakan dinikmati! Semoga saja kalian tidak bosan memakan makanan seperti ini,” kata Roman.
“Ini sudah lebih dari cukup,” jawabku sambil tersenyum lebar.
“Ya, itu benar. Justru kami yang harus berterimakasih karena Anda telah menolong kami,” sahut Ellise.
“Hahaha, jangan terlalu sungkan padaku.” Roman tertawa kecil. “Oh iya, namaku Roman, salam kenal.”
Sebenarnya aku sudah tahu namanya, tetapi aku tidak ingin mengaku.
“Aku Leonal, salam kenal.” Aku memperkenalkan diri, diikuti oleh Ellise dan Wolf.
“Aku Ellise.”
“Aku Wolf.”
Roman tersenyum ramah pada kami. “Salam kenal juga, kalian bertiga.”
Aku sangat senang sebab ada orang baik seperti dia di sini. Namun, aku juga tidak boleh lengah sedikit pun dilingkungan yang masih sangat baru ini.
***
Tidak terasa, hari sudah gelap ketika kami selesai bercakap-cakap. Kuakui kalau hal itu tidaklah buruk untuk membuang waktu sembari mengakrabkan diri dengan orang-orang baru.
Aku duduk di depan gubuk milik Roman, memandangi bintang-bintang sambil diterangi oleh cahaya bulan. Beberapa saat kemudian, Ellise datang, duduk di sebelah kananku. Aku memalingkan pandangan, melirik wajahnya yang manis. Entah kenapa, mata ini tidak bisa beralih darinya.
Semakin lama kupandang, kian sejuk juga hati melihat rambutnya yang terurai dan lesung pipi Ellise yang manis bagai gula. Sejenak aku terpikir untuk dapat lebih dekat dengan gadis cantik ini. Namun, sesegera mungkin pikiran itu kutepis dari dalam kepala.
“Ekhm ....” Ellise berdeham sambil memalingkan wajah ke arah lain, kemudian berkata dengan nada gugup. “Apa ada yang aneh dengan wajahku?”
Sesaat setelah dia mengatakan itu, aku jadi tersadar kalau ternyata diriku memandanginya terlalu lama.
Aku secepat mungkin memalingkan wajah ke arah lain. “Ng, maaf ... aku tidak bermaksud. I-tu, anu, maksudku ....”
Ah, sialan. Kenapa aku menjadi gugup seperti ini? Dan kenapa juga aku tidak bisa berkata dengan jelas?
Sebuah tawa kecil bernada lembut, terdengar oleh telinga. Mendengarnya membuat aku semakin malu menunjukkan muka pada Ellise, yang berada tepat di sampingku.
“Aku tidak menyangka kalau kau adalah orang yang pemalu.”
Astaga, tolong hentikan itu!
Meskipun aku tidak dapat melihat raut wajah Ellise saat mengatakan kalau diriku pemalu. Dari cara dia mengatakannya sambil sedikit tertawa, aku dapat tahu kalau dia sedang mengejek. Namun, sudahlah, tidak ada gunanya terus berdebat di sini.
Aku menghela napas sembari menenangkan diri. Kemudian, memalingkan pandangan ke arah Ellise. Nampaknya dia masih tertawa sambil menutup mulut menggunakan tangan kanan, serta memalingkan wajah ke arah lain.
“Hm ... ngomong-ngomong, Wolf ada di mana?” tanyaku, mengubah topik pembicaraan.
Mendengar itu, Ellise mencoba berhenti tertawa, tetapi tubuhnya masih gemetar menahan tawa.
“Sepertinya dia pergi ke arah sana,” jawab Ellise—yang sudah berhenti tertawa—sambil menunjuk ke arah kanannya.
Aku pun berdiri. “Baiklah, aku akan memeriksa keadaannya.”
Aku mengatakan itu karena merasa sedikit khawatir pada keadaan Wolf sekarang. Takutnya, nanti dia malah tersesat jika terus menyusuri hutan luas ini seorang diri.
“Ya, baiklah. Aku akan menunggu di dalam gubuk,” kata Ellise sembari berdiri dan berjalan menuju gubuk.
“Tunggulah, aku tidak akan lama.”
Kakiku melangkah menuju arah yang ditunjuk oleh Ellise tadi, walaupun aku tidak membawa penerangan sebab bulan tengah bersinar terang.
***
Aku masuk ke dalam tenda setelah berpisah dari Leon. Jika boleh jujur, diriku masih ingin mengobrol lebih lama dengannya. Namun, nampaknya dia sedang khawatir pada Wolf. Hm ... apakah mereka memiliki hubungan khusus?
Ah, mana mungkin itu benar.
Aku segera menepis pemikiran tersebut dari dalam kepala. Tidak mungkin kalau hubungan mereka lebih dari sekedar teman. Dan, jauh di dalam lubuk hati, aku tidak ingin itu terjadi.
Kenapa bisa begitu?
Jika ada yang bertanya, aku dengan tegas akan menjawab kalau diriku juga tidak tahu.
Sembari tenggelam di dalam ruang pikiran, aku duduk bersila di atas tikar, meskipun duduk sini tidak terlalu nyaman.
Beberapa saat kemudian, telingaku mendengar suara langkah kaki. Aku pun segera menoleh ke sumber suatu.
Mendadak, seseorang menyekapku dari belakang. Tangan kiri orang itu menutup hidungku, hingga membuat diriku susah bernapas. Sedangkan tangan kanannya mengarahkan sebuah pisau pendek, tepat di depan mata.
Eh, Siapa orang ini?
Aku mencoba memberontak dengan mengerakkan tubuh sekuat tenaga. Semakin berusaha memberontak, pisau yang diarahkan padaku kian mendekat.
Gawat, jika terus begini, aku bisa mati.
Keringat dingin mulai bercucuran membasuh sekujur tubuh, detak jantung kian kencang, dan dada menjadi sesak karena tidak dapat bernapas.
Ah, matilah aku.
Rasa takut menghantui benakku. Lama-kelamaan raga ini semakin lemas dan tak bertenaga. Sekujur tubuh yang tadinya kering, menjadi basah kuyup oleh keringat.
Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Apakah aku sudah ditakdirkan untuk mati hari ini?
Saat aku diombang-ambingkan oleh perasaan tak menentu, orang yang menyekap berbisik dengan pelan di telingaku.
“Berhenti bergerak! Atau pisau ini akan menancap di kepalamu.”
Mentalku menjadi ciut setelah dia mengatakan itu, dengan pasrah, aku melemaskan badan, berhenti memberontak.
Leon ... tolong a—
Kepalaku menjadi pusing karena kehabisan oksigen. Tak lama kemudian, penglihatanku menjadi gelap dan tidak ingat apa-apa lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Dr. Rin
Fujo kah? 🤔
2023-05-30
0
Dr. Rin
baru nemu pargraf panjang gini di novelmu klw ga salah
2023-05-30
0
🎸️ᴋᴀɢᴜʀᴀ
maaf baru mampir kesini lagi 😬
aku tinggalin jejak disini 🍃
2020-06-04
0