"Dia kenapa, dok?" Kejar Mirza tak sabaran. Tanpa disadarinya tubuhnya condong ke depan lebih dekat dengan sang dokter setengah baya berambut abu-abu itu.
Dokter itu menajamkan pandangan dari balik kaca matanya. Mirza semakin penasaran dibuatnya.
"Dia terkena sindrom fibromyalgia. "Ucap dokter masih dengan wajah yang tegas.
Mirza dan Om Jaka saling pandang dalam keheranan.
"Tapi apa dia benar-benar hamil?" Tanya Mirza dengan rasa keingintahuan yang sudah tidak bisa dibendung lagi.
Dokter itu melihat Mirza dengan tatapan tak habis pikir.
"Maksud saya, apakah kondisi bayinya baik-baik saja?" Mirza meralat kalimatnya karena menyadari dokter seperti menaruh curiga padanya.
"Ya . Janinnya sehat." Sahut dokter itu dengan mantap. "Kehamilannya memasuki usia 11 minggu. "
Mirza menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi, seketika tubuhnya terasa lemas. Semangatnya meredup, wajahnya berubah sayu.
Dokter kemudian menjelaskan tentang sindrom fibromyalgia yang diderita Sofi. Tapi Mirza sedikit pun tak menghiraukannya, hanya Om Jaka yang menyimak penjelasan dokter dengan seksama sambil sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya. Mirza sibuk dengan pikirannya sendiri.
Usia kehamilan Sofi sudah 11 minggu? Itu berarti hampir jalan 3 bulan.
Mirza lantas coba mengingat kapan peristiwa itu terjadi. Peristiwa dimana dia bangun dalam keadaan satu selimut bersama Sofi.
Sekitar 2 bulan lalu, atau lebih ... atau sebelum itu? Ah, sial! kenapa persisnya tidak bisa aku ingat? Bodoh! Harusnya aku ingat kapan itu terjadi!
Mirza terus mengumpat dalam hati kebodohannya sendiri. Hingga baru tersadar ketika Om Jaka mengajaknya keluar dari ruangan dokter.
"Za, kamu masih tetep mau di sini nemenin bu dokter?" Tegur Om Jaka yang melihat Mirza diam saja tak mengikutinya berjalan ke pintu padahal Om Jaka tadi sudah pamit undur diri.
"Ha? Gimana, Om?"
Om Jaka memberi isyarat pada Mirza dengan kepalanya untuk mengajaknya keluar. Mirza yang lagi blank mengikuti dengan gontai.
"Sofi akan segera dipindah ke ruang perawatan agar kondisinya cepat membaik." Ucap Om Jaka begitu mereka keluar dari ruangan dokter.
"Aku pulang duluan." Mirza tak menanggapi perkataan Om Jaka terus berjalan menyusuri koridor.
"Za, ini serius." Om Jaka coba menghentikan langkah Mirza. "Sofi mengalami sindrom yang bisa membahayakan kehamilannya."
Om Jaka memperlihatkan wajah yang sangat serius menatap Mirza yang tampak lesu.
"Entahlah Om, aku nggak bisa mikir." Mirza mengacak rambutnya sendiri.
Om Jaka mengerti kegelisahan yang dialami Mirza. Ia Tak tega untuk menahannya, bagaimanapun juga Mirza sempat berharap bahwa Sofi tidak benar-benar hamil tapi kenyataannya kini ternyata Sofi benar-benar hamil.
Om Jaka kemudian merogoh kunci mobil dari dalam saku celananya. "ini kuncinya, nanti kalau ada apa-apa dengan Sofi Om akan hubungin kamu."
Mirza hanya mengangguk lemah kemudian dia berjalan menuju parkiran. langkahnya tak lagi bersemangat, Mirza terdiam cukup lama di dalam mobil. Sofia hamil saja dia belum 100% percaya sekarang ditambah lagi Sofi menderita sindrom ... sindrom apa itu ... entahlah Mirza sendiri tadi kurang jelas dan kurang paham dengan apa yang dikatakan dokter. Mirza mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri dan berfikir apakah yang akan dia perbuat setelah ini.
Pelan-pelan Mirza melajukan mobilnya keluar dari area parkir klinik bersalin. Pikirannya tertuju pada Via kini. Mirza belum membalas chat Via sore tadi. Ah, harus bagaimana dia menjelaskan jika Via bertanya mengapa dirinya belum memberi kabar sedikitpun sesampainya di Jakarta. Dia harus mencari alasan yang tepat. Sementara dia belum mendapatkan alasan itu, Mirza memilih mematikan ponselnya dulu. Dia tak ingin Via menelponnya di saat dia belum siap.
di rumah Via,
Via baru saja selesai menunaikan salat Maghrib, agak terlambat memang karena Ica bangun tidurnya kesorean dan drama terlebih dahulu. Anak itu merengek minta dibikinkan telor ceplok mata sapi sebelum mandi.
"Ica nggak mau mandi kalo nggak ada telor mata sapi." Rujuk Ica manja.
"Iya nanti tante Via bikinin. Tapi sekarang mandi dulu ya." Bujuk Via.
"Nggak mau." Ica menggeleng kuat.
Via lantas menurutinya.
Tadaaa .... telor ceplok mata sapi sudah siap untuk Ica, aromanya pun wangi sedap. Tapi Ica malah melotot, "Kok bentuknya kayak gitu? Itu bukan telor mata sapi, tante ... ?"
Via memandangi telor ceplok buatannya, apa yang salah rupanya?
"Telornya kok kriting begitu? Ica nggak mau mandi pokoknya kalo telor mata sapi nggak ada! Tante coba tanya bunda dong cara bikin telor mata sapi yang bener."
Via cuma bengong , masa iya sih cuman mau bikin telor ceplok aja harus telpon mbak Tia dulu? Ada-ada aja deh si Ica kalo lagi kumat manjanya! Tapi iya juga sih telor mata sapinya terlalu matang dan ada garing-garingnya di pinggir-pinggirnya, itu tadi yang dibilang Ica telornya kriting!
"Oke, tante Via coba bikinin lagi ya?" Cetus Via tak patah semangat.
Meladeni anak kecil memang harus sabar kan? Itung-itung berlatih kalo nanti punya anak, begitu kira-kira pikir Via.
"Nah! Kalo begini udah bener kan, Ica?" Seru Via seraya meletakkan telor yang baru matang di depan Ica yang sudah duduk di kursi makan.
Ica senyum, "lumayan, tante."
Via lega. "Ayo cepet makannya, nanti mandinya kesorean dingin lho. Ica bisa masuk angin." Via menyendokkan nasi hangat ke piring Ica.
"Tambah kecap, tante." Pinta Ica.
Via mengambilkan kecap manis dan menuangkannya sedikit untuk Ica. Telor ceplok dan kecap memang lauk kesukaan Ica. Via duduk sambil tersenyum melihat keponakannya itu makan dengan lahapnya.
Alhasil acara mandi pun mepet dengan waktu shalat maghrib karena Ica main hujan-hujanan dulu di kamar mandi pakai shower. Belum lagi dia minta ditiupkan balon dari busa sampo di rambutnya. Via meladeninya dengan telaten.
Dan sekarang Ica tampak mengantuk.
Ting tong
bunyi bel dari luar. Ica sontak kaget tak jadi mengantuk.
"Biar Ica aja yang buka." Ica meloncat turun dari kasur keluar menuruni tangga meninggalkan Via yang masih melipat mukena.
"Tante ... , ada eyang Ndang ...!" Seru Ica dari lantai bawah.
Via segera turun untuk menyambut ibu mertuanya meskipun ia sedikit heran tumben ibu mertuanya itu kemari.
"Mirza mana?" Tanya Bu Een begitu Via datang.
"Lagi ke Jakarta, Bu."
"Ke Jakarta?" Bu Een seolah kaget tak percaya.
"Iya, Om Jaka yang minta Mas Mirza kesana. Katanya ada hal penting yang harus segera diselesaikan."
Bu Een tampak sekali heran campur bingung, tapi dia nggak mau tanya lebih lanjut sama Via. Dupukul-pukulkannya kipas lipat yang dipegangnya ke tangan kirinya. Ini orang emang nggak pernah ketinggalan sama yang namanya kipas tangan ya. Nggak panas, nggak hujan, nggak siang, nggak malam pokoknya kipas lover forever.
"Emangnya Mas Mirza nggak ngabarin ibu?" Tanya Via kemudian.
"Nggak." Sahut Bu Een cepat. "Ya udah, besok kamu aja yang ke kontrakan. Tadi saya di jalan telpon Mirza nggak aktif soalnya."
Hp Mas Mirza nggak aktif? Sore tadi masih aktif aku telpon. Tapi memang chatku belum dibalas. Kenapa ya Mas Mirza?
"Vi, kamu denger saya ngomong kan?" Ketus Bu Een yang melihat Via seperti melamun.
"Iya, kenapa Bu?" Via agak tergagap.
"Besok mau ada tukang pasang kanopi di kontrakan, karena Mirza nggak ada kamu aja yang urus. Awasin tukangnya, sama jangan lupa minta nota belanja bahan bangunannya."
"Iya, Bu."
Bu Een melangkah keluar tanpa kata-kata.
"Lho, Eyang Ndang udah mau pulang?" Tanya Ica cepat menyusul Bu Een.
"Iya. Eyang capek habis belanja tuh sama Mang Udin." Bu Een menunjuk Udin yang sedang duduk dibalik kemudi mobil pick up yang dibelakangnya penuh dengan barang-barang.
"Wah, belanja coklat sama permen ya, Yang?" Tanya Ica polos.
"Belanja sembako buat toko Eyang. Kenapa, Ica mau permen ya?" Bu Een bertanya lantas mengeluarkan dompetnya. "Karena Eyang nggak bawa permen sama coklat, Ica beli sendiri aja ya." Bu Een memberikan selembar uang pecahan 50 ribuan pada Ica.
Mata Ica langsung berbinar. Hadeh, mata duitan juga tuh anak!
"Yeee, makasih ya Yang ... " Ica bersorak riang.
Bu Een lantas pergi. Via menatap mobil mertuanya sampai hilang dari pandangannya. Dengan Ica mertuanya begitu baik hati dan ramah, tapi kenapa dengan dirinya ibu mertuanya itu selalu dingin. Apakah karena dirinya belum juga memberikan cucu seperti yang selama ini ibu mertuanya itu dambakan? Via menghela nafas panjang, membuang resahnya. Lantas teringat sesuatu.
Mas Mirza! Apa bener hpnya nggak aktif?
Via mencari ponselnya dan langsung melihat pesan whatsapp yang sore tadi dikirimnya.
"Belum dibaca juga. WA nya aktif dua jam yang lalu." Gumam Via lantas coba menghubungi Mirza dari panggilan telpon.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.". Hanya suara operator yang terdengar.
Via mengenggam gawainya erat, hatinya galau mengapa suaminya belum juga memberinya kabar.
Bersambung ☺️
___
___
*Hi, makasih ya udah baca terus tulisanku. semoga selalu setia ngikutin Terpaksa Selingkuh ❤️
like, komen, rate dan votenya jangan lupa kakak 🙏❤️*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 299 Episodes
Comments
Sakurahma
Crsytal Edelweis mampir
semangat kak 😍
2021-02-11
0
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
lanjut kasih like lagi
mampir juga yuk😉
2020-12-28
1
Zia Azizah
Hadi lagi kakkk
2020-12-24
1