"Mas, ayok!" Ajak Via pada Mirza yang masih males-malesan di sofa depan TV.
Via yang sudah rapi dan menyiapkan berbagai oleh-oleh untuk semua keluarga menghampiri Mirza. Tak lupa pula Via membawa kipas tangan Bu Een yang ia temukan di balik bantal sofa ruang tamu. kipas tangan lipat warna putih bermotif bunga sakura itu nggak tau juga kenapa bisa nyungsep di bawah bantal. Apakah tak sengaja atau memang sengaja ditinggalin pemiliknya. Seingat Via dia tak melihat Bu Een berkipas-kipas ria ala sosialita kemarin.
"Nggak bisa ya kita perginya besok aja? Atau besoknya lagi?" Rengek Mirza kayak bocah.
"Ih, kan Mas sendiri yang janji sama Ibu kalo hari ini mau ke sana? Mana janji mau pasang AC segala lagi." Via mengingatkan.
"Tapi kan bisa agak siangan perginya?" Rengek Mirza lagi. "Aku tuh masih pengen males-malesan sama kamu." Sekonyong-konyong Mirza menarik Via hingga menimpa tubuhnya dan langsung mendekapnya seolah takut kabur jauh.
Via berontak coba menolak suaminya halus. "Aku udah janjian sama Riri. Habis subuh tadi dia telpon minta kita sarapan di sana. Riri masak enak katanya."
Mirza berlagak kesal. "Anak itu ya kalo udah punya mau ... selalu saja ... "
"Ada Mbak Tia sama Mas Arya juga lho."
Mirza akhirnya bangun meski agak cemberut.
Via menggodanya sambil menjawil pipi Mirza. "Senyum dong biar gantengnya kelihatan."
Mirza malah menyeringai. Via terkekeh sendiri.
Perjalanan ke rumah Bu Suharni tidaklah jauh. Rumahnya masih satu kampung dengan rumah Mirza. Sekitar 7 menit sudah sampai setelah melewati persawahan yang hijau terhampar.
Bu Suhar langsung menyambut Via dan Mirza menantu kesayangannya dengan suka cita. Arya suami Tia tampak keki melihat Bu Suharni yang menurutnya terlalu lebay pada Mirza.
Tak ketinggalan Ica sendiri anak Tia dan Arya ikut heboh menyambut Mirza yang membawakannya banyak oleh-oleh. Ditambah pula Riri yang histeris dan gelendotan manja di lengan Mirza. Tia menangkap raut ketidaknyamanan pada wajah suaminya.
"Kenapa Mas, kok mukanya kayak gitu?" Bisik Tia ditengah anggota keluarga yang lagi bahagia dengan kedatangan Mirza.
"Muka mukaku sendiri, ya terserah aku dong." Sahut Arya ngeloyor cuek.
Arya memang kurang dibanggakan oleh Bu Suhar karena nggak punya pekerjaan tetap. Kadang jadi tukang ojeg, kadang bisnis MLM, kadang jadi marketing segala macem produk, kadang juga nggak ngapa-ngapain cuman di rumah sampe berhari-hari. Hal itu membuat Bu Suharni kesal karena mengetahui justru Tia lah yang lebih pontang panting mencari uang.
"Oya, ini ada oleh-oleh lho buat Mas Arya." Seru Via yang melihat Arya menjauh berharap dia balik lagi.
Arya udah kadung kesal. Dia pilih menikmati rokok di teras belakang. Tak dihiraukannya panggilan Riri yang melengking dari ruang makan.
"Mas Arya, ayo kita sarapan!"
Arya cuek, mengisap dalam rokok kreteknya dan mengepulkan asapnya ke udara seolah sedang membuang gundah hatinya.
"Mas." Tegur Tia yang menyusul suaminya ke teras belakang. "Kita sarapan, yuk."
"Duluan aja. Masih ngrokok." Sahut Arya tanpa menoleh.
Kalau sudah begitu Tia akan membiarkan suaminya sendirian. Tia tahu rokok hanya sebagai alasan, sudah sering Arya bersikap seperti itu. Tia sebenarnya kasihan melihat suaminya sering disepelekan oleh ibunya sendiri, karena bagaimana pun Arya adalah suaminya dan ayah dari anaknya.
Di meja makan terhidang menu sarapan yang lebih mirip menu prasmanan dalam acara hajatan. Riri yang lagi kursus masak sengaja bikin masakan banyak buat nyambut Mirza.
"Beneran ini semua kamu yang masak, Ri?" Tanya Mirza tak yakin.
"Bener lah, Mas. Tanya aja sama Ibu kalo nggak percaya."
Bu Suharni lalu menceritakan anak bungsunya yang emang lagi rajin ambil kursus masak dan menolak untuk kuliah. menurut Riri kuliah itu cuman buang-buang duit aja.
"Soalnya aku liat Mbak Tia sama Mbak Via ilmunya nggak kepake. Jadi percuma kan kuliah?" Potong Riri lugas.
"Ya asal nanti suatu hari kamu nggak protes aja kalo dari ketiga anak Ibu cuma kamu yang nggak jadi sarjana." Seloroh Bu Suhar.
"Nggak lah, Bu. mendingan uangnya buat buka usaha."
Mirza manggut-manggut mendengar penuturan Riri. Sebuah pemikiran yang cukup bijak bagi anak manja yang baru lulus SMA macam Riri, pikir Mirza.
"Kalo aku buka usaha, nanti Mbak Via sama Mbak Tia aku rekrut jadi karyawan." Ujar Riri dengan pedenya.
"Hah, siapa juga yang mau jadi karyawan kamu? Yang ada nanti malah nggak digaji!" Ledek Tia yang disambut tawa semua yang ada.
"Daripada Mbak Tia sarjana pendidikan jadi guru honor yang gajinya horor, ya kan mending kerja sama aku?" Riri tak mau kalah.
"Sembarangan! Aku kan pengusaha online dan side job ku banyak!" Tia membela diri.
"Ya udah kalo gitu Mbak Via aja deh yang jadi karyawan aku. Biar ilmunya sedikit berguna Mbak. Sayang kan sarjana ekonomi kok nganggur?" Celoteh Riri.
semuanya kembali tergelak dengan cita-cita mulia Riri itu.
"Ngobrol terus dari tadi, kapan makannya dong?" Protes Ica menyadarkan semuanya dan langsung bersemangat sarapan.
Via hendak meraih piring sambal goreng kentang yang agak jauh darinya.
"Sini biar aku ambilin, sayang." Mirza mengambilkan untuk Via.
"Jangan banyak-banyak, Mas."
"Nggak papa. Nih, tambah ini juga ya? Sekalian sama bakwan jagungnya." Mirza menyendokkan kuah soto untuk Via. "Aku suapin ya, sotonya enak lho. Aaa ... " Mirza mengasongkan sendok ke dekat mulut Via.
"Ciyee ..., romantis bener. Jadi baper ... " Celetuk Riri.
Via cuma senyum.
"Itu baru namanya suami idaman. Udah ganteng, sholeh, baik, perhatian sama istri, pinter cari duit lagi." Puji Bu Suhar bertubi-tubi bersamaan dengan Arya yang datang dan bergabung di meja makan.
"Makanya kamu kalo cari suami harus yang begitu, Ri. Biar nggak capek jadi istri." Lanjut Bu Suhar sambil melirik sekilas pada Arya.
Arya hanya diam pura-pura tak mendengar dan cuek mengambil nasi.
Suasana kaku untuk beberapa detik. Mirza lantas menggoda Ica untuk mencairkan suasana.
"Eh, Ica kok sekarang tambah gendut ya? Om Mirza sampe pangling."
"Iya dong, kan Ica makannya banyak."
"Wah, hebat! Itu baru anak pinter. Nanti mau ikut Om nggak ke rumahnya Eyang Ndang?"
"Mau ... mau ... mau ... " Ica mengangguk-angguk sampe kepang ekor kudanya bergoyang-goyang.
Ica memang sudah akrab dengan Bu Endang karena cukup sering diajak main ke sana. Sampai-sampai anak usia empat tahun itu punya panggilan sendiri buat ibunya Mirza, yaitu Eyang Ndang.
Selesai sarapan, Arya berniat segera pulang karena tak mau berlama-lama di rumah mertuanya.
"Kita pulang sekarang." Ajak Arya penuh penekanan pada Tia.
"Sebentar dong, Mas. Aku bantuin Riri sama Ibu beres-beres dulu."
"Pulang sama aku atau kamu aku tinggal." Ancam Arya setengah berbisik lantas bergegas ke halaman depan.
Tia yang sedang membawa tumpukan piring kotor, langsung meletakkannya kembali di atas meja makan dan menyusul suaminya setelah membereskan barang bawaannya. Via yang memperhatikan dari tadi jadi heran dan ikut nyusul ke depan.
Arya segera menghampiri Ica yang lagi main di dalam mobil dengan Mirza. Ica memang suka sekali kalo liat mobil. Nggak peduli mobil itu jalan atau nggak yang penting dia harus ada di dalam, entah itu cuman duduk-duduk atau dengerin lagu yang sama sekali dia nggak paham maknanya. Yah, maklum lah orang tua Ica kan nggak punya mobil. boro-boro mobil, motor pun butut.
"Ca, kita pulang yuk." Arya menghampiri mobil Mirza yang terbuka.
"Ah, Ayah ... Ica kan mau ikut Om Mirza."
"Lain kali aja ya? Sekarang kita pulang dulu."
"Nggak mau!" Ica memalingkan wajahnya sambil cemberut.
"Ica ... "
"Nggak papa, Mas. Nanti aku sama Via anterin Ica pulang."
Arya mendengus, menarik nafas panjang berusaha menahan perasaannya. Mirza turun menghampiri Arya.
"Mas, aku tau perasaan Mas Arya. Tapi tolong jangan kecewakan Ica. Dia cuman anak-anak nggak ngerti apa-apa."
"Tau apa kamu? Nggak usah sok bijak seolah membelaku, sudah jelas-jelas Ibu selalu banggain kamu. Aku ini nggak pernah dianggap." Arya mulai meradang.
"Memang begitu kan sifat Ibu? Mas Arya pasti lebih hafal karena lebih dulu jadi menantu ibu. Nggak usah diambil hati lah, Mas."
"Enak aja kalo ngomong. Lalu dikemanakan harga diriku sebagai laki-laki?"
"Mas, ayo kita pulang, Mas ..." Tia datang tergopoh-gopoh penuh kekhawatiran karena melihat wajah suaminya yang tegang.
"Kamu di sini aja, aku mau pulang sendiri." Tandas Arya tak mempedulikan Tia, lalu pergi menggeber motor bututnya.
"Mbak Tia nggak papa?" Tanya Via yang melihat raut kesedihan pada wajah kakaknya.
Tia menggeleng pelan lalu masuk ke dalam.
_berrrsambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 299 Episodes
Comments
Senajudifa
ngambek tuh si arya
2022-08-26
0
Yukity
hai Thor...
Salken ya..
Mampir yuk ke novelku
GADIS TIGA KARAKTER
2021-10-03
0
Mommy Gyo
4 like hadir thor
2021-09-22
0