___
Mirza menghampiri Sofi, sorot matanya dipenuhi amarah, tak dihiraukannya Sofi yang begitu bahagia melihatnya.
"Aku tau kamu pasti datang, Za." Sofi beringsut ke tepi ranjangnya.
"Dengarkan aku baik-baik." Ucap Mirza dingin tanpa basa basi. "Semua ini kamu yang memulai, dan kita kembali pada kesepakatan awal. Lupakan semuanya!" Lanjut Mirza tegas.
Sofi menggeleng kuat, ditutupnya mulut dengan telapak tangannya sendiri seolah ingin menahan agar tangisnya tak pecah meski air mata mulai merembes dari kedua sudut matanya.
"Aku akan pulang dan kembali pada istriku. Kamu kembalilah pada kehidupanmu. Apa yang terjadi diantara kita hanya sebuah ketidaksengajaan."
"Kamu egois, Za." Lirih Sofi dalam tangisnya.
Sofi kini tak lagi meledak-ledak, agaknya dia sadar keberadaannya sekarang dimana.
"Aku nggak mau dicampakkan sampai dua kali. Tolong kasihani aku, Za ... " Sofi menangkupkan kedua telapak tangannya. "Aku nggak peduli jika harus mengemis padamu." Lanjut Sofi dengan parau.
Mirza masih berdiri mematung. Hatinya tak terketuk sedikitpun. Sofi di depannya semakin frustasi. Dalam isak tangisnya yang tertahan Sofi menceritakan kehidupan pribadinya seperti yang pernah dia ceritakannya pada Om Jaka. Mirza mendengarkan tanpa ekspresi.
Sofi juga mengaku kalau dirinya sudah didiagnosa terkena sindrom fibromyalgia sebelum pelayarannya terakhir yang mempertemukannya dengan Mirza. Hanya saja memang keadaannya tak separah ini.
"Jadi pacarmu sudah tau kalau kau sakit?" Tanya Mirza datar.
Sofi mengangguk, air matanya kembali meleleh. "Itu sebabnya dia meninggalkan aku." Ucapnya getir. "Hari itu kami bertengkar hebat, karena aku pikir dengan aku mengatakan yang sebenarnya Hanson akan memaklumi keadaanku."
Mirza ingat hari itu ketika Hanson mengatakan tentang kondisi kesehatan Sofi pada dokter Steve. Hanson yang bahasa inggrisnya blepotan itu bilang kalau Sofi punya sakit vertigo, mag kronis dan diabetes. Ternyata itu hanya cerita rekaan Hanson semata. Sebenarnya agak ganjil juga perasaan Mirza waktu kenapa orang dengan penyakit serius seperti itu bisa diijinkan berlayar.
"Aku mengejarnya memohon agar tak meninggalkanku." Sofi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, hatinya hancur. Meski hubungannya dengan Hanson hanya sebatas kesenangan saja tapi Sofi tidak mau ditinggalkan dalam keadaan seperti ini.
Mirza tersenyum sinis. "Jika pacarmu saja yang sudah dua tahun bersamamu bisa pergi begitu saja, apalagi aku yang hanya baru mengenalmu beberapa hari?"
Sofi terperanjat, dia memburu Mirza dengan dayanya yang masih tersisa. "Tapi aku hamil anakmu. Dan lebih dari itu, aku mencintaimu." Ucap Sofi penuh perasaan sambil mencoba meraih tangan Mirza.
Mirza cepat menepisnya. "Kamu sakit jiwa! Aku laki-laki beristri, lupakan aku! Diantara kita tak pernah terjadi apa-apa, jangan ganggu hidupku lagi!" Mirza tak mampu menguasai dirinya.
Mirza bergegas meninggalkan ruangan rawat tak peduli Sofi yang berusaha mengejarnya sampai jatuh terduduk di lantai meratapi kerterpurukan nasibnya.
Suster yang membawa baki makan siang untuk Sofi hampir saja ditabrak Mirza yang berjalan cepat keluar dari kamar Sofi dengan wajah geram.
"Hati-hati dong Mas, kalau jalan. Matanya jangan ditaroh di kaki!" Semprot suster galak.
Tapi Mirza tak peduli, dia terus berjalan. Sementara dari arah lorong yang lain Om Jaka nampak baru memasuki klinik menuju ruang rawat Sofia.
"Ya ampun, Mbak!" Pekik suster yang mendapati Sofia sudah ngelesot dilantai. "Mbak ini lagi ngepel atau apa? Bangun, Mbak." Suster itu membantu Sofia berdiri setelah meletakkan nampannya. "Mbak harus tenang, harus bisa jaga emosi biar keadaan Mbak nggak semakin buruk." Suster menasehati sambil merapihkan bantal untuk Sofi dan membaringkan Sofi perlahan.
"Suster, tolong tinggalkan saya. Saya mau sendirian" Pinta Sofi.
Suster langsung pasang muka keki. Ih, nih orang nyebelin banget sih! Udah ditolongin bukannya bilang makasih malah nyuruh pergi!
Suster langsung meninggalkan Sofi dengan wajah bete. Om Jaka masuk tepat ketika suster akan membuka pintu.
"Sus, gimana keadaan dia?" Tanya Om Jaka berbasa-basi.
"Bapak liat aja sendiri!" Ketus suster sambil lalu.
Om Jaka kontan saja heran.
Itu suster lagi PMS apa gimana ya, judes amat timbang ditanya gitu doang? Om Jaka membatin.
Sofi nampak menghapus air mata dipipinya.
"Gimana keadaan kamu, Sof? apa sudah merasa baikan?" Om Jaka menghampiri.
"Mirza baru saja dari sini, Om." Tutur Sofi pelan.
"Terus?"
"Aku udah cerita semuanya."
"Dia bilang apa?"
"Dia tetep nggak mau tanggung jawab."
Om Jaka cepat mengeluarkan ponselnya untuk menelpon Mirza.
Mirza baru saja masuk mobil ketika Om Jaka menelponnya.
"Halo." Sapa Mirza dengan nada kesal.
"Di mana kamu?"
"Kenapa emangnya?"
"Apa masih di klinik?"
"Di parkiran udah mau pulang."
"Tunggu di situ." Perintah Om Jaka yang lantas menyusul Mirza ke parkiran.
Setelah celingukan sebentar akhirnya Om Jaka menemukan mobilnya yang terparkir di pojok lapangan parkir.
Tok tok tok
Om Jaka mengetuk kaca mobil dan Mirza langsung membukanya.
"keluar!" Perintah Om Jaka. "Biar Om yang bawa."
"Emangnya tadi Om ke sini naik apa? Aku mau jalan dulu, suntuk!"
"Jalan kaki." Jawab Om Jaka asal. "Udah cepetan keluar!" Perintah Om Jaka lagi.
Mau tak mau Mirza keluar juga dan pindah di jok samping sopir. Om Jaka mulai melajukan mobilnya, hampir 10 menit belum ada sepatah katapun yang mereka ucapkan.
"Sebenarnya kita mau ke mana sih?" Mirza buka suara juga akhirnya.
"Katanya kamu suntuk pengen jalan? Ya ini kita jalan-jalan dulu." Sahut Om Jaka sekenanya.
Mirza melirik Omnya dengan tatapan kesal.
Huh! Dasar duda nggak jelas! Dari tadi cuman mutar-muter nggak ada tujuan. Ya nggak gini juga kali jalan-jalannya!
"Balik aja deh kalo gitu!" Putus Mirza sambil membuang pandangannya keluar jendela kesal.
___
Di rumah Bu Atun, Via yang baru saja selesai numpang sholat dzuhur tiba-tiba merasa ngantuk. Bosan juga dia nggak ada kerjaan yang berarti.
"Mbak Via, kalo mau istirahat di kamar aja, Mbak. Nggak papa." Ujar Bu Atun yang tau-tau nongol saat Via lagi menguap.
"Eh, nggak usah, Bu."
"Ya udah kalo gitu saya ambilin bantal aja ya." Bu Atun masuk dan kembali dengan satu bantal empuk.
"Nggak usah, Bu. Ini juga ada bantal kok." Via mengambil bantal sofa di dekatnya.
"Biar tambah nyaman, pake ini aja." Bu Atun memberikan bantalnya. "Lagian Mbak Via mau aja dikerjain ibu mertuanya." Seloroh Bu Atun.
Via cuma senyum lantas menyamankan dirinya dengan posisi paling enak menurutnya. "Nggak papa kok, Bu. Saya juga sekalian jemput adik saya nanti sore."
"Ya udah, santai aja dulu kalau gitu, Mbak. Saya mau lanjutin nyetrika dulu ya. "
Bu Atun kemudian berlalu ke belakang. Via membuka ponselnya mengecek sosial medianya, schrool terus ... terus ... terus ... lama-lama matanya mulai terasa berat, dan bagai dihipnotis via langsung bobo siang cantik. Beruntung Bu Atun hanya tinggal dengan anak perempuannya, suami Bu Atun kerja di luar kota, jadi Via merasa tak sungkan di sana.
___
Sreeet!
Mobil Om Jaka sudah sampai di rumah. Mirza langsung keluar mobil masih dengan tampang yang ditekuk.
"Za, duduk dulu!" Seru Om Jaka yang melihat Mirza langsung menuju kamar.
"Ada apa Om?" Tanya Mirza malas.
Om Jaka tak menyahut, dia menuju dapur membuat dua cangkir kopi hitam lantas menuju teras samping yang terhubung melalui ruang tengah.
"Kita ngobrol di sini, Za." Panggil Om Jaka yang sudah duduk di sana.
Teras samping rumah Om Jaka cukup nyaman. Ada beberapa bunga anggrek bulan yang digantung di dekat pohon mangga yang mulai berbuah. Halamannya yang tak begitu luas dipenuhi rumput jepang yang hijau. Meskipun seorang duda Om Jaka termasuk orang yang telaten dalam mengurus tanaman.
"Ngopi dulu, biar otakmu cerdas!" Ucap Om Jaka dengan gaya cueknya sambil menghirup aroma harum kopi hitamnya.
Mirza duduk masih dengan ekspresi yang sama.
"Mau ngomongin apaan lagi si Om?" Mirza tak berminat sedikitpun menyentuh kopinya.
"Nggak mau ngomongin apa-apa, cuma mau ngajak kamu minum kopi aja." Sahut Om Jaka setelah menyeruput kopinya.
Mirza jengah, dia merasa Omnya sedang mempermainkan perasaannya, padahal Om Jaka pasti tahu seperti apa suasana hati Mirza saat ini.
"Kalau saja Om Jaka nggak minta aku ke sini, mungkin nggak akan kayak gini jadinya." Mirza berkata lirih seperti sedang berujar pada dirinya sendiri.
Om Jaka meletakkan gelas kopinya. "Sebelumnya Sofi sudah dua kali datang ke sini. Om nggak mungkin terus mengacuhkannya. Apalagi dia kalau ke sini malam-malam, ya Om nggak enak lah sama tetangga. Bisa hancur dong reputasi Om sebagai duda perlente di komplek ini kalo Om nggak nurutin permintaan dia buat ketemu kamu."
"Kalo gitu kenapa nggak sekalian aja Om nikahin si Sofi?" Celetuk Mirza cuek.
"Wah, nggak waras kamu ini!" Om Jaka nyengir lantas kembali menyeruput kopinya. "Kami yang hamilin, masa Om yang nikahin?"
"Udah aku bilang, itu bukan anakku Om!" Tegas Mirza kesal.
"Santai aja dong, nggak usah nyolot gitu, Za!" Ledek Om Jaka.
Mirza tak menyahut, Omnya kadang terlihat berpihak padanya tapi juga kadang menyudutkannya.
"Kalo Om nikahin Sofi, Om dapet paket komplit. Dapet istri juga dapet anak." seloroh Mirza sebal.
"Sofi bukan selera Om! "
"Apa lagi aku!" Mirza tak mau kalah.
"Terus kenapa kamu sampai bisa melakukan hubungan terlarang dengannya?"
"Om itu sedang bertanya atau sedang introgasi sih? "
"Dua-duanya." Sahut Om Jaka enteng. "Om masih penasaran, kenapa kamu yang cuma sekali melakukannya bisa bikin Sofia hamil? Sedangkan pacarnya yang 2 tahun berhubungan dengan dia yang mungkin sudah puluhan atau ratusan kali melakukan itu dengan Sofi tapi ternyata Sofi tidak hamil?"
"Tanyakan itu pada Sofi, jangan sama aku!"
"Kamu kan orang kesehatan, wajar dong Om tanya sama kamu."
"Aku nggak mau bahas itu om." Mirza berpaling.
"Kira-kira kemungkinannya berapa persen ya saat hubungan dilakukan dengan menggunakan pengaman itu bisa 100% aman tidak bocor?"
"Udah aku bilang Om, aku nggak mau bahas itu!" Mirza menaikkan volume suaranya.
"Tapi ini demi kamu juga, Za." Kamu harus bisa mencerna apa yang terjadi pada Sofi dan pacarnya, pada hubungan mereka yang terdahulu."
"Aku nggak mau tahu, aku nggak perduli! Aku lelah, Om. Aku nggak bisa berpikir dengan jernih!"
Mirza sudah diambang frustasi, dia menyambar gelas kopinya.
Glek glek glek
Mirza menenggak kopi hitamnya yang mulai dingin dengan sukses dan hanya meninggalkan ampasnya saja.
"Za, itu kopi lho bukan jamu yang harus habis dalam sekali minum!" Ujar om Jaka heran demi melihat kelakuan keponakannya.
"Aku mau berkemas, aku akan pulang sekarang juga Om! " Mirza tak mempedulikan perkataan Omnya, dia bangkit hendak menuju kamar.
"Kamu nggak bisa pulang dalam keadaan kacau seperti itu!" Om Jaka coba menahan Mirza.
"Om jangan coba-coba menghalangi aku lagi! "
"Om nggak menahanmu. Om hanya khawatir keadaannya akan lebih buruk daripada ini kalau kamu pulang sekarang!"
"Terus aku harus di sini sampai kapan menurut Om?"
"Sampai Sofi ... "
Tlelot ... tlelot ... tlelot lot ...
Ponsel Om Jaka tiba-tiba berbunyi. sebuah panggilan dari nomor yang belum tersimpan di phonebook Om Jaka. Om Jaka menerima panggilan tersebut.
"Ya, halo." Sambut Om Jaka. " "Iya betul saya sendiri." Lanjut Om Jaka dengan raut serius setelah mendengarkan suara orang di seberang. "Apa? Sofi kabur dari klinik?" Seru Om Jaka dengan ekspresi kaget luar biasa.
____
____
berrrsambung ☺️
Terima kasih sudah membaca tulisanku. jangan lupa tinggalkan jejakmu di sini 🙏😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 299 Episodes
Comments
Lienshop
aneh om nya tu gak waras .ponakan di suruh hancur thor ko yng bener aja lah
2021-06-26
0
angga bule
om jaka duda idaman para istri orang
2021-06-25
0
iefat
sofi nyusahin bgt
2021-04-16
0