Mirza tak punya cukup keberanian hanya untuk sekedar membuka pesan dari Via. Dia menatap nanar gawainya, berbagai pikiran berkecamuk di benaknya.
Bagaimana nanti kalau Via sampai tau permasalahan ini? Seorang perempuan tiba-tiba mengaku hamil oleh aku? Apakah Via akan mempercayainya ataukah meragukannya sama sepertiku? Lalu bagaimana nanti rumah tanggaku dengan Via?
Mirza terus saja berkutat dengan berbagai macam kecemasan sementara Sofi pun masih diam-diam memperhatikan Mirza.
"Kenapa cuma diliatin aja hpnya?" Sofi akhirnya buka suara.
Mirza langsung berpaling menatap Sofi tajam, raut wajahnya mengeras. Dari situ Sofi tau kalau barusan dia salah ucap.
"Bagaimana perasaanmu kalau kamu berada di posisi istriku?" Tanya Mirza dingin.
Sofi sedikit kaget, tapi coba bersikap sewajar mungkin. "Aku rasa ... aku akan introspeksi diri." Sahutnya agak ragu.
Mirza tak sedikit pun mengurangi ketegangan pada roman wajahnya dan itu semakin membuat Sofi serba salah, tapi dia tak ingin disalahkan dalam kasus ini. Bagaimanapun juga yang terjadi pada dirinya akibat perbuatan Mirza.
Ya, Mirza yang mencuri simpatinya sejak pertama mereka bertemu di ruang perawatan rumah sakit Delta Cruise. Saat itu pelayaran menuju Brazil, dua hari sebelum mereka sampai, Sofi diantar seorang pria bule dalam keadaan pingsan dan luka di dahi. Mirza yang sedang berjaga langsung melakukan pertolongan. Terlebih lagi ketika dia mengetahui pasiennya berkewarganegaraan Indonesia, Mirza merasa harus melakukan lebih baik lagi tugasnya.
Saat itu pria bule yang membawa Sofi menceritakan pada dokter Steve bahwa Sofi punya riwayat vertigo, mag kronis dan diabetes. Mirza mencatat semua itu dan merasa prihatin, masih muda kenapa banyak sekali penyakitnya?
Pria bule itu menambahkan, kemungkinan Sofi salah mengkonsumsi makanan atau pun terlalu banyak minum minuman beralkohol sehingga mungkin bisa menyebabkan salah satu penyakit Sofi kambuh dan dia terjatuh hingga kepalanya membentur ujung meja.
Penjelasan yang sepertinya cukup meyakinkan, karena dokter Steve tak lagi bertanya apa pun.
"Don't worry too much. She will be better soon." Tandas dokter Steve memastikan.
Lalu pria bule itu pergi dan Mirza yang ditugaskan dokter Steve memantau perkembangan kesehatan Sofi tak lagi melihat pria bule itu, bahkan sampai keesokan harinya ketika Sofi sudah diperbolehkan kembali ke kamarnya di lantai 4 Delta Cruise.
"Apa dia udah baikan?" Tanya Mirza pada Fani teman sesama perawatnya yang bertugas pagi itu.
"Iya, tapi cuma mau makan sedikit."
"Obatnya?"
"Udah diminum semua sih."
"Ada tapinya nggak?" Kejar Mirza.
Fani melihat Mirza dengan pandangan menyelidik. "Kamu kok segitunya sama pasien? Tumben?"
Mirza tersenyum. "Bukan begitu, dia ternyata orang Indonesia. Aku cuma khawatir aja."
Fani mengangkat alis kanannya.
"Kamu jangan mikir macam-macam, ya! Aku ini tipe laki-laki setia!" Tegas Mirza yang sepertinya tau isi kepala Fani.
Fani melengos. "Yah, semoga saja." Ujarnya acuh lantas pergi begitu saja.
Mirza sebel bukan main dibuatnya. Ingin rasanya Mirza narik rambut kritingnya Fani biar jadi lurus semua karena saking sebelnya. Fani, rekan kerja Mirza yang sudah dua kali pelayaran ini bertugas bersama memang punya sifat agak unik. Dia selalu sinis kalau ada teman yang menurutnya punya gelagat mencurigakan.
"Tugas kita kan disini sebagai tenaga medis, bukan untuk senang-senang. Apalagi berharap dan berniat kencan sama kaum jetset disini, jangan deh. Inget pasangan kalian di rumah!" Begitu biasanya Fani memberikan tausyiahnya pada teman-teman kerjanya yang sesama dari Indonesia.
Prang!
Terdengar suara benda jatuh dari dalam ruang perawatan. Mirza yang lagi sebel sama Fani langsung menuju ruangan tempat suara itu berasal.
Mirza mendapati Sofi tengah berusaha turun dari bednya dalam keadaan selang infus terlepas.
"Jangan turun!" Mirza segera menghampiri.
Mirza membersihkan tangan Sofi bekas jarum infus yang mengeluarkan sedikit darah.
"Tidak usah dipasang lagi." Pinta Sofi yang melihat Mirza memeriksa botol cairan infus yang masih tersisa sedikit lagi. "Aku tadi mau ambil minum tapi lupa kalau sedang diinfus."
"Kamu merasa sudah lebih baik?"
"Ya." Sofi mengangguk pelan.
Mirza mengambil pecahan gelas dan membuangnya di tempat sampah pojok ruangan.
"Maafin ya, gelasnya jadi pecah." Sofi jadi tak enak hati.
"Sebentar aku ambilkan minum lagi untukmu." Mirza mengambilkan segelas air dari dispenser di samping pintu masuk ruangan. "Ini obatnya sekalian diminum?"
"Aku udah minum dibantu suster pagi tadi."
"Ok. Kamu sudah boleh bersenang-senang lagi kok. Dokter Steve sebentar lagi akan melakukan pemeriksaan terakhir, setelah itu kamu bisa melanjutkan pelayaran yang menyenangkan ini."
Sofi tersenyum, tapi terlihat dipaksakan.
"Kenapa?" Tanya Mirza heran karena Sofi malah termenung.
"Apa kamu senang dengan tugasmu ini?" Tanya Sofi kemudian.
"Iya, aku senang berada di sini meskipun harus jauh dari istriku."
"Kamu sudah menikah?"
Mirza tersenyum. "Sudah hampir 5 tahun."
Sofi terdiam sambil memandangi Mirza yang saat itu belum begitu dikenalnya. Laki-laki tegap dan tampan di hadapannya sepertinya laki-laki baik. Dia ramah, sopan, berdedikasi tinggi terhadap pekerjaannya dan mencintai istrinya. Begitulah setidaknya penilaian Sofi pada Mirza.
"Kamu sendiri ... "
Kreek ...
Terdengar suara pintu dibuka. Mirza menoleh tak melanjutkan kalimatnya. Dokter Steve muncul dengan senyum ramahnya.
"Hello... are you feeling better enough today, Miss Husein?" Sapa Dokter Steve yang lantas mengeluarkan perkakas tempurnya tanpa menunggu jawaban Sofi, dan Sofi pun hanya tersenyum karena tahu dokter tak membutuhkan jawabannya.
"Well, everything is good." Ujar dokter Steve setelah selesai memastikan kondisi Sofi baik. "Don't forget to take your medicine if you don't want your health getting worse." Lanjut dokter Steve mengingatkan.
"Sure, thank you." Ucap Sofi.
"Enjoy your trip, Brazil has been waiting, dear." Pungkas dokter Steve sambil mengedipkan sebelah matanya. "See you."
Ah, dokter berusia hampir setengah baya itu memang terlalu friendly. Bahkan mungkin terkesan agak genit bagi orang yang salah menafsirkan keramahannya. Mirza sendiri baru kali ini bekerja bersama dokter Steve yang asli Australia itu. Bagi Mirza sangat menyenangkan bisa bekerja dengan orang seperti dokter Steve.
Setelah hari itu Mirza dan Sofi tak bertemu lagi, bahkan sampai beberapa hari keberadaan mereka di Brazil pun tak pernah bertemu. Barulah ketika hari terakhir ketika sore harinya akan melanjutkan pelayaran, mereka bertemu di coffee shop.
Sofi yang melihat Mirza lebih dulu langsung menyapa Mirza yang tengah duduk bersama teman-temannya.
Mirza agak terkejut juga ketemu Sofi di sana. "Aku belum sempat bilang terima kasih waktu itu." Sofi membuka obrolan.
teman-teman Mirza merasa perlu meninggalkan Mirza dengan perempuan cantik itu, maka mereka pun pergi setelah terlebih dulu meledek Mirza.
Mirza cuma senyum. Mereka lantas ngobrol dan bercerita selama di Brazil sudah melakukan apa saja. Sofi sesekali menanyakan kehidupan pribadi Mirza. Mirza bersikap biasa saja. Dia mengatakan hanya sedikit tentang keluarganya.
Sofi terlihat seperti teman yang menyenangkan bagi Mirza saat itu. Apalagi ketika dia bilang dia juga dulu pernah tinggal di kawasan Kebon Kacang semasa kecil tempat Om Jaka tinggal sekarang, Sofi antusias menceritakan masa kecilnya.
Tapi itu beberapa waktu yang lalu sebelum kejadian yang sangat mengejutkan ini datang tanpa tanda-tanda.
Mirza kini memandang Sofi sebagai orang yang dapat menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya. Pandangan Mirza yang dulu bersahabat, kini berubah kecurigaan.
"Istriku tak punya kekurangan apapun, dia mendekati sempurna buatku. Introspeksi hanya untuk orang yang merasa punya kekurangan." Tegas Mirza membuat Sofi terdiam kembali.
Sofi bingung harus mengutarakan kalimat apa agar Mirza tak bersikap dingin padanya. Isak Sofi kembali lirih terdengar. Hidung mancungnya memerah.
"Kamu bilang kamu butuh bantuanku dan hanya aku yang bisa membantumu." Ujar Mirza tak peduli isak tangis Sofi. "Bukankah kita sudah sepakat untuk melupakan kejadian itu?"
"Tapi kenyataannya berbeda sekarang!" Sofi mulai jengkel. "Kamu pikir jika bukan kamu yang harus membantuku, lalu siapa?"
"Jangan membebaniku dengan urusanmu, rumah tanggaku bisa hancur karena ulahmu ini." Mirza geram.
"Kamu nggak peduliin perasaanku?" Tangis Sofi benar-benar pecah. "Tega kamu memblokir nomorku dan mau cuci tangan dari semua ini, hah?"
"Memangnya siapa yang memulai? Kamu! Sudah jelas-jelas kamu tau aku punya istri, kenapa kamu mendekatiku?" Mirza berang.
"Dasar gila! Kamu laki-laki gila, laki-laki pengecut!"
"Ya, aku gila. Aku memang pengecut! Apa yang kamu harapkan dari orang gila yang pengecut ini, hah?" Mirza sudah habis kesabaran.
"Lalu kau ingin aku apakan janin ini?" Sofi menunjuk perutnya yang masih rata.
"Terserah! Terserah kamu! Karena aku tidak yakin itu benar-benar anakku!"
Tangis Sofi semakin menjadi. "Tega, kamu ... "
Mirza bangun, berdiri tepat di depan Sofi. Menatap Sofi dengan mata berangnya. "Sekarang coba katakan, apa cuma sama aku kamu melakukan perbuatan menjijikan itu?"
____
JENGJRENG!!!
(kalo boleh ditambahin ilustrasi musik tegang 🤭)
Eehh, lain kali aja yaa...
sekarang BERSAMBUNG dulu ,☺️
ikuti kelanjutannya di episode selanjutnya ya ...
Terima kasih yang sudah setia baca dan kasih banyak hadiah berupa like, komen, rate ... vote juga dong... 🙏🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 299 Episodes
Comments
Pertiwi Tiwi
kasian de Lo mirza.istri cantik muda.sehat.eee malah dapat perampuan ygpenyakitan.makaya di jaga ibu batangan.jg suka celup sana sini
2021-07-28
0
Penulis Jelata
Kerjaan di kapal itu emg banyak godaannya, kuat2 iman ya Mirza
2021-06-26
0
Uswatun Khasanah
kasih obat ga sadar mirza y supaya ga sadar pura hami ank mirza. sengaja jebak mirza minta tanggung jawab padahal hamil org lain. sofia cwek bebas. gregetan, kesell. kasihan via istri y za. empettt sumpah.
2021-06-10
0