Mirza terhenyak mendengarkan perkataan Om Jaka. Dirinya memang tidak menyangkal pernah melakukan perbuatan keji itu bersama Sofi namun dia juga menolak untuk bertanggung jawab sepenuhnya.
"Om tolong mengertilah keadaanku. Aku nggak bisa bertanggung jawab atas semua ini. Ada laki-laki lain sebelum aku, dan Om harus tahu itu! "
Om Jaka menghampiri Mirza. Pandangan Om Jaka mulai melunak, disentuhnya bahu keponakannya itu untuk memberinya kekuatan.
"Om sudah tau. Sofi menceritakannya semalam."
"Kalo gitu kenapa Om masih memintaku untuk menemuinya?"
"Kamu harus dengar sendiri penjelasan Sofi."
"Nggak. Bagiku dia sudah mau mengaku sama Om saja sudah cukup. Pokoknya aku mau pulang!" Mirza menyambar handuk hendak menuju kamar mandi.
"Kamu tidak bisa meninggalkannya begitu saja, Za." Cegat Om Jaka.
"Om hubungi aja keluarganya. Dia tak mungkin kan di klinik tanpa didampingi keluarganya?" Mirza masih kekeh.
Om Jaka menghela nafas dalam. dia teringat pembicaraan dengan Sofi semalam.
"Jadi keluargamu belum tahu soal masalah ini?" Tanya Om Jaka pada Sofi yang terbaring lemah di ruang perawatan.
Sofi hanya menggeleng. Om Jaka memandangnya iba.
"Om pulang saja, aku tidak apa-apa di sini sendirian" Ucap Sofi karena melihat wajah lelah Om Jaka.
"Saya nggak mungkin ninggalin kamu sendirian. Kamu harus menelpon keluargamu biar ada yang menjagamu di sini." Saran Om Jaka.
Pandangan Sofi lurus ke depan, menatap tembok putih rumah sakit yang terasa beku. Perlahan Sofi mulai menceritakan tentang keluarganya.
Sebagaimana adat yang terus dijalankan oleh keluarga Sofi yang berdarah campuran timur tengah, Sofi pun sebenarnya telah dijodohkan dengan seorang lelaki kaya raya yang juga berdarah timur tengah. Ramzi nama calon suami Sofi itu. Dan perjodohan itu sudah direncanakan sejak mereka masih kecil.
Sofia yang keras kepala ketika beranjak belia mulai mencari cara untuk menolak perjodohan itu. Dia tak ingin hidup bersama orang yang tak dicintainya meskipun kedua orang tuanya meyakinkan bahwa mereka juga menikah bukan atas dasar cinta pada awalnya, tapi nyatanya pernikahan mereka bisa awet juga.
Sofi sadar semakin ia berusaha menolak perjodohan itu, semakin sulit untuk mewujudkannya. Maka dia coba mencari alasan pada keluarganya. Dia ingin menyelesaikan kuliahnya dan mempunyai karir sebelum menikah. Kedua keluarga besar itu menyetujuinya meskipun tampak sekali Ramzi sudah tak sabar ingin memperistri Sofi yang cantik. Namun demi cintanya, dia rela menunggu.
Ramzi berusia 10 tahun lebih tua dari Sofi. Dia laki-laki tinggi besar dengan tubuh agak gempal dengan wajah brewokan khas kebanyakan laki-laki timur tengah, dan anehnya itu sama sekali bukan selera Sofi. Dia lebih menyukai laki-laki yang berbadan atletis, berwajah tampan dan klimis.
Sofi semakin didesak untuk menikah setelah usaha garmen ayahnya bangkrut akibat kebakaran dan keluarganya terpuruk secara finansial. Namun Sofi kembali meminta waktu. Sofi merasa memang tak ada gunanya menolak, dia hanya ingin mengulur waktu menghabiskan masa kebebasannya sebelum nanti menikah.
Sofi adalah perempuan muda cerdas yang menguasai keterampilan 4 bahasa; Inggris, Prancis, Jerman dan Mandarin. Dengan kemampuannya itu dia melanglang buana sebagai tour guide. Pekerjaannya itu yang dijadikan alasan untuk menunda pernikahannya. Dan pekerjaan itu pula yang membawanya bertemu dengan seorang laki-laki yang bernama Hanson, pria kekar berkewarganegaraan Jerman yang sudah menjadi pacarnya selama 2 tahun ini.
Hanson mempekerjakan Sofi sebagai tour guide dengan bayaran profesional. Hanson mengajak Sofi berpesiar bersamanya. Sofi yang menyadari dirinya sudah dijodohkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya dan mengetahui Hanson adalah tipikal orang yang hanya senang berfoya-foya, lantas membuat kesepakatan bahwa hubungan mereka hanya sebatas untuk senang-senang saja.
"Jadi laki-laki bule yang mengantarmu ke klinik di Delta Cruise yang dikatakan Mirza itu adalah pacarmu?" Om Jaka bertanya tak sabaran menyela cerita Sofi malam itu.
Sofi mengangguk pelan, pandangannya kini kosong.
"Seberapa yakin kamu kalau anak yang dikandungmu adalah anak Mirza?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulut Om Jaka.
Sofi berpaling pada Om Jaka yang kini sedang menatapnya meminta kejujuran. Sofi sebenarnya yakin Om Jaka orang yang bisa dipercaya. Tapi lidahnya serasa kelu untuk menceritakan semuanya.
"Pantas saja Mirza menyangkalnya." Lirih Om Jaka.
Sofi menggeleng kuat, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kami melakukannya dengan pengaman." Gumam Sofi.
Om Jaka memicingkan matanya. "Selama dua tahun?"
"Ya, tak pernah sekalipun tanpa pengaman. Karena kami sama-sama sadar hubungan kami hanya untuk kesenangan."
Om Jaka tak habis pikir, perempuan muda, pintar dan cantik seperti Sofi bisa berbuat seperti itu.
"Tapi kemudian Hanson meminta mengakhiri hubungan kami saat aku bilang aku kena Fibromyalgia." Lanjut Sofi getir. Kini air matanya luruh membasahi pipinya yang mulus.
"Jadi kamu sudah tau kalau kamu kena sindrom itu?" Om Jaka kaget.
Sofi kembali mengangguk, air matanya masih mengalir.
"Kamu harus ceritakan sendiri pada Mirza tentang semua ini." Putus Om Jaka berat.
Menjelang subuh setelah Sofi tertidur, Om Jaka pulang dengan taksi online. Dan pagi ini ketika mengetahui Mirza sudah bangun, dia meminta Mirza menemui Sofi untuk mendengarkan sendiri penjelasan Sofi.
"Aku pinjam charger ." Cetus Mirza tak menanggapi perkataan Om Jaka.
Mirza keluar mencari charger di ruang tengah, lantas kembali ke kamar dan mengecas ponselnya. Om Jaka hanya memperhatikannya. Mirza cuek melangkah ke kamar mandi tanpa kata. Om Jaka memberinya waktu. Kali aja di kamar mandi si Mirza dapet hidayah, terus jadi mau ketemu Sofi, begitu kira-kira pikir Om Jaka. Meskipun agak aneh juga ya, dapet hidayah kok di kamar mandi?
Om Jaka sendiri kemudian bersiap karena hari ini ada pertemuan dengan client penting, maklumlah bisnis properti yang digeluti Om Jaka beberapa tahun belakangan memang sedang berkembang pesat.
Sementara itu di rumah kontrakan, Via coba menghubungi Mirza mumpung Bu Atun yang kepo tingkat dewa dewi itu lagi ke belakang menuntaskan cuciannya yang tertunda.
Terdengar nada sambung beberapa kali, lantas terputus sendiri karena tak kunjung diangkat. Pikiran Via mulai tak karuan, karena tak biasanya Mirza seperti itu, bahkan di tengah lautan sekalipun Mirza tak pernah lupa menghubunginya setiap hari, entah itu hanya lewat chat iseng sekedar menanyakan perihal yang remeh temeh.
Kecemasan hampir mengusai hati Via. Sekali lagi dia coba menelpon Mirza namun tetap tak ada jawaban.
Pasti ada sesuatu yang terjadi sama kamu, Mas. Nggak biasanya kamu kayak gini. Apa aku telpon Om Jaka aja ya? Tapi nggak enak, takut dikira nggak percayaan. Kamu kan ke sana buat bantu nyelesein urusannya Om Jaka, Mas.
Via berdialog dalam hati sendiri menimbang-nimbang apa hal yang akan dia perbuat.
Di rumah Om Jaka, Mirza baru keluar dari kamar mandi. Dia lekas meraih gawainya, rupanya selama di kamar mandi pun cuma Via yang ada dalam pikirannya.
"Hah? Panggilan tak terjawab Via dua kali?" Mirza syok sendiri.
Cepat-cepat Mirza video call istrinya tanpa sempat pakai baju dulu. Via sendiri langsung sumringah begitu ada panggilan video call dari Mirza. Tapi disetelnya raut wajah cemberut karena kekesalan yang sudah disimpannya sejak kemarin.
"Ya, ada apa Mas pake video call segala?" Sambut Via dengan wajah ngambek.
"Ciye ..., istri Mas ngambek nih ceritanya?" Mirza malah menggoda Via.
"Ciya ciye apaan? Nggak lucu!" Ketus Via masih ngambek.
"Maafin Mas ya, sayang. Jangan ngambek dong, nanti cantiknya berkurang." Mirza pasang senyum jahil. "Mas bener-bener minta maaf ya, sayangku cintaku kekasih pujaan hatiku Indonesia rayaku." Lanjut Mirza memulai rayuan pulau kelapanya.
"Emangnya Mas punya salah kok minta maaf?" Via masih ketus.
"Iya, Mas punya salah sayang. Mas belum hubungin kamu dari kemarin." Mirza kali ini serius. "Soalnya begitu tiba disini Mas langsung ... " Mirza diam sebentar.
"Langsung apa, Mas?" Kejar Via.
"Langsung tidur, sayang. Mas ngantuk banget soalnya di kereta nggak bisa tidur." Mirza merasa menemukan alasan yang tepat, tak mungkin dia bilang langsung ketemu Sofi.
"Oh ... " Via mengerti alasan Mirza.
"Terus malemnya diajakin Om Jaka ketemu sama beberapa calon clien penting." Mirza melanjutkan drama kebohongannya.
"Emang ada urusan apa sama Mas? Kok sampe disuruh ikutan segala? Kirain mau ngurus tanah sengketa almarhum istrinya Om Jaka." Via mulai reda, lupa sama pura-pura ngambeknya.
"Jadi gini sayang, bisnis properti Om Jaka lagi maju pesat. Dan Mas diajak untuk ikut invest di sana, makanya Mas semalam ikutan nemuin beberapa calon clien Om Jaka itu."
"Wah bagus dong, Mas! Biar Mas juga punya aset di Jakarta." Via bersemangat, tak terbesit sedikit pun curiga dalam pikirannya.
"Iya, sayang. Ini semua demi masa depan kita. Itu sebabnya Mas nggak sempet balas chat atau nerima telpon kamu. Kan nggak enak lagi ngobrol sama orang penting. Malamnya sampai rumah hp Mas mah mati, ini baru sempat dicas." Mirza memperlihatkan kabel yang tersambung di ponselnya.
"Iya, nggak papa. Aku cuman khawatir aja Mas kenapa-napa." Via tersenyum, reda sudah semua kekhawatirannya.
"Makasih ya, sayang. Kamu memang istri yang paling baik dan pengertian." Puji Mirza. "Ngomong-ngomong kamu mau dicas juga nggak, sayang? Tunggu Mas pulang ya?" Mirza mulai lagi dengan kejahilannya.
Via sontak tersenyum malu-malu gitu. "Apaan sih, Mas? Ada-ada aja deh!"
Mirza malah terbahak melihat ekspresi istrinya yang begitu menggemaskan baginya.
"Udah ah, lagi di rumah kontrakan nih tempat Bu Atun." Via mengedarkan layar ponselnya memperlihatkan ruang tamu tempatnya duduk. "Aku disuruh Ibu ngawasin tukang yang lagi pasang kanopi di sini."
"Ya udah, Mas juga mau pakai baju dulu nih terus sarapan. kamu hati-hati di sana ya sayang."
"Za!" Panggil Om Jaka dari ambang pintu kamar. "Siapa Yang telepon? Via ya?"
Om Jaka mendekat, Mirza mulai tegang, raut wajahnya khawatir.
"Iya." Sahut Mirza dengan wajah horor.
"Mas?" Panggil Via. "Ada apa?"
Om Jaka mengambil ponsel Mirza. Mirza menahannya dengan tatapan memohon.
Slap!
Ponsel berhasil diambil Om Jaka dari tangan Via.
"Halo, Vi. Apa kabar kamu?" Sapa Om Jaka.
"Baik. Om sendiri gimana?" Balas Via ramah seperti biasa.
"Baik juga. Vi, dengerin Om. Om mau bicara serius sama kamu." Ujar Om Jaka sambil melirik pada Mirza.
Deg!
Jantung Mirza seolah berhenti mendadak, nafasnya sesak, wajahnya pucat seketika. Inikah awal dari kehancuran rumah tangga yang sudah sekian lama ia bina bersama Livia, seorang istri yang begitu dicintainya.
____
____
bersambung, 😉
terima kasih sudah membaca, jangan lupa like, komen, rate dan votenya ya 🙏❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 299 Episodes
Comments
Pertiwi Tiwi
apa katamu mirza.istri yg km cintai
yatYa km senang senang sama 0erempuan lain
2021-07-28
0
Eti Alifa
sofi sama om jaka aja thor kan duda🤭
2021-03-03
0
Afrina Wirda
Waowww
2021-01-13
0