Sofi mendongak balas menatap Mirza sengit. "Menjijikkan katamu? Setelah semuanya jadi begini kau bilang perbuatan itu menjijikkan? Dasar laki-laki egois!"
"Jangan mengalihkan pembicaraan, jawab aku! Jawab!" Bentak Mirza.
Sosok Mirza yang lembut dan penyayang hilang sudah, berganti dengan Mirza yang dikuasi emosi. Tangan kiri Mirza mengepal kuat. Jika saja dia mau menghantam satu benda sebagai pelampiasan, satu pukulan saja pasti hancur berkeping-keping. Tapi Mirza tetap berusaha menjaga kewarasannya.
"Kamu nggak bisa jawab?" Sindir Mirza dengan senyum sinis. "Oke, aku bantu mengingatkan." Dada Mirza turun naik menahan emosi yang siap meledak lagi. "Kemana perginya laki-laki bule yang mengantarmu ke rumah sakit saat di Delta Cruise? Kenapa dia tak datang lagi sampai kamu sembuh?"
"Itu bukan urusanmu!"
"Jelas itu menjadi urusanku! Dan aku harus tau karena dia pasti lebih dulu mengenalmu daripada aku."
Sofi menghapus air matanya kasar dengan tangannya. "Kamu mau lempar tanggung jawab? Aku dan dia sudah selesai, puas kamu?"
"Oh, jadi kalian pernah ada hubungan?" Mirza masih sinis namun kali ini merasa sedikit menang.
"Jangan mengungkit masalahku, aku datang kesini bukan memintamu untuk itu!"
"Tapi itu menjadi masalahku, karena kamu yang menyeretku untuk ikut terlibat padahal sudah jelas ada orang lain sebelum aku! Sekarang semuanya sudah jelas, aku bukan orang yang tepat untuk kau mintai pertanggung jawaban." Tandas Mirza yakin penuh kemenangan.
Sofi kaget, berdiri menyusul Mirza yang hendak meninggalkannya dan mencegat langkah Mirza. "Apa maksudmu?"
"Kamu Jangan pura-pura bodoh!" Mirza menunjuk muka Sofi sengit. "Pertama, kamu tidak mau jawab dengan siapa lagi kau melakukan perbuatan menjijikkan itu selain denganku. Kedua, kamu nggak mau terus terang siapa laki-laki bule itu?"
Sofi mulai menangis lagi. "Keterlaluan kamu! Aku pikir kamu laki-laki baik yang bertanggungjawab, ternyata aku salah. Aku salah besar menilaimu!" Sofi memukuli Mirza dengan tangannya.
"Satu lagi, siapa laki-laki yang keluar dari kamarmu pada saat kamu bilang tak enak badan waktu aku mengajakmu ikut ke pesta ulang tahun temanku?"
Duarr!
Sofi benar-benar kaget, wajah cantikknya seketika pias.
Mirza tertawa, sinis dan tajam pada Sofi hang sudah tak lagi patut mendapatkan simpatinya. "Kamu tidak bisa jawab lagi?" Mirza berjalan memgambil tas slempang Sofi di kursi tamu dan menyurukkannya pada Sofi. "Aku nggak mau berurusan lagi denganmu. Pergi kamu sekarang juga, pergi!" Usir Mirza mendorong Sofi.
"Kamu ngusir aku?" Tanya Sofi disela-sela tangisnya.
"Iya! Aku nggak mau lihat kamu lagi, dasar perempuan licik!" Umpat Mirza penuh kebencian.
"Nggak, aku nggak mau pergi sebelum kamu bertanggung jawab atas janin ini!" Sofi kekeh.
"Baik, kalau begitu kamu minta diperlakukan dengan kasar rupanya." Mirza membuka pintu lebar-lebar lantas menyeret Sofi paksa.
"Mirza, lepasin. Kamu udah keterlaluan." Sofi menangis makin keras, dia berontak tak terima diperlakukan seperti itu oleh Mirza.
"Pergi, kataku!" Mirza kembali mendorong tubuh Sofi.
Braak!
Sofi jatuh terdungkur membentur pintu. Tepat saat itu Om Jaka datang dan kaget bukan main.
"Mirza, apa-apaan ini?" Om Jaka coba membantu Sofi bangun.
Sofi memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa berat.
"Nggak usah dibantu, Om. Dia pantas diperlakukan seperti itu!"
Om Jaka berdiri,
PLAK!
Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Mirza. Mirza kaget tak menyangka mendapat hadiah tamparan dari Omnya.
"Om tidak pernah mengajarkan bersikap kasar sama perempuan! Apalagi dia sedang hamil anakmu!"
Mirza mengelus pipi kanannya yang terasa panas, lantas tersenyum sinis sambil melihat Sofi yang masih terduduk sambil memegangi kepalanya.
"Dia tidak hamil anakku, Om!"
"Apa maksudmu?" Om Jaka kaget campur heran. "Benar seperti itu, Sofia?" Om Jaka ganti bertanya pada Sofi yang kini tengah mendesis menahan sakit di kepalanya.
"Om nggak usah tanya sama dia. Dia nggak bakalan ngaku. Yang jelas dia melakukannya nggak cuma sama aku, dan dia sengaja ngaku hamil anak aku hanya untuk menjebakku, Om!" Papar Mirza.
Sofi menggeleng kuat sambil terisak tertahan, rambut pirangnya berantakan karena dia jambaki sendiri untuk mengurangi rasa sakit di kepalanya yang semakin menjadi. "Aku bersumpah ini anak Mirza, ini anak Mirza ... " Lirih Sofi sebelum akhirnya terkulai di lantai.
"Mirza, dia pingsan!" Om Jaka panik.
Mirza cuek seolah tak terjadi apa-apa.
Om Jaka segera memeriksa keadaan Sofi yang penuh keringat dingin.
"Mirza, dia benar-benar pingsan bukan sedang acting!" Om Jaka gemas karena Mirza cuma berdiri acuh.
"Ya, terus?"
"Kamu jangan bodoh! Kalau ada apa-apa sama dia kita pasti disalahkan. Om nggak mau terseret, Om masih mau nikah lagi. Om bosan jadi duda! Om juga ingin hidup bahagia!" Om Jaka jadi histeris sendiri.
"Ya udah panggil ambulan aja." Mirza mau nelpon ambulan.
"Jangan!" Cegah Om Jaka. "Kita bawa saja sendiri. Cepat angkat dia, Om akan keluarkan mobil!" Om Jaka bergegas menuju garasi.
Mirza mengumpat sendiri. "Sial!"
Tapi diangkatnya juga tubuh Sofi yang lemas masuk ke mobil Om Jaka.
Om Jaka mengemudikan mobilnya menuju sebuah klinik dengan penuh kekhawatiran. Tapi Mirza hanya duduk santai di samping Om Jaka. Sofia dibaringkan di jok tengah.
"Lho, Om? Kok kesini sih? Ini kan klinik bersalin?" Mirza heran ketika mobil Om Jaka memasuki halaman parkir sebuah klinik dengan plang besar bertuliskan "KLINIK BERSALIN CAHAYA HATI BUNDA"
Sreet!
Om Jaka sudah memarkir mobilnya. "Ini yang paling deket dengan rumah. Lebih cepat dia dapat pertolongan kan lebih baik?"
"Terserah Om saja."
"Ya udah cepetan bawa Sofi turun!" Perintah Om Jaka.
Mirza tampak sekali enggan, dia membuka pintu mobil dan bergegas menuju IGD untuk memanggil suster.
"Za! Mau kemana? Mirza!" Om Jaka berseru seraya membuka pintu mengira Mirza akan meninggalkannya.
Tak berapa lama dua orang perawat datang mendorong brangkar dan membuat Om Jaka lega.
"Aku nggak mau menyentuhnya." Mirza melirik pada Sofi yang sudah dipindahkan ke atas brangkar.
"Sebentar lagi kita akan tahu dia hamil betulan atau nggak?" Ucap Om Jaka sambil menepuk bahu Mirza lantas mengikuti langkah cepat para perawat menuju IGD.
Mirza tertegun.
Benar juga kata Om Jaka. Bisa saja kan Sofi hanya mengaku-ngaku hamil? Alat test pack itu bisa jadi dia pungut dari tempat sampah atau entah dari mana sengaja dia ingin membodohiku?
Mirza merasa punya kekuatan kini, pikirannya berangsur tenang. Saat dokter memeriksa keadaan Sofi, dia berniat akan meminta dokter mengecek kehamilan Sofi juga.
Dengan langkah lebar Mirza menyusul Om Jaka ke IGD. Om Jaka nampak sedang berdiri di depan pintu IGD.
"Sofi sedang ditangani. Kita belum diperbolehkan masuk." Tutur Om Jaka sebelum Mirza sempat bertanya apapun.
"Baguslah. Semoga dia tidak benar-benar hamil." Gumam Mirza lirih seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Om juga sudah minta dokter melakukan pemeriksaan pada janin Sofi. Om bilang dia sedang hamil muda."
"Om Jaka benar-benat cerdas." Puji Mirza, tapi Om Jaka tak bereaksi sama sekali. Dia kelihatan tegang dengan kedua tangan disilangkan di dada dan pandangan menunjuk ke lantai kramik klinik. Mirza sendiri sudah lebih relax sekarang dan tak ambil pusing dengan sikap Om Jaka yang sudah seperti sedang menunggui istrinya melahirkan saja.
Beberapa lama kemudian dokter yang memeriksa Sofi ke luar dan disambut rasa kekhawatiran yang penuh oleh Om Jaka.
"Gimana keadaannya, dok?" Om Jaka sedikit gugup.
"Anda suami pasien?" Tanya dokter pada Om Jaka.
"Bukan, saya ... pamannya."
"Anda?" Dokter melihat pada Mirza.
"Oh, bukan juga." Mirza mengangkat kedua telapak tangannya. "Saya ... " Mirza mikir sebentar. Jika dia mengaku bukan siapa-siapanya Sofia, kemungkinan tak diijinkan ikut masuk ke ruangan dokter untuk mendengarkan sendiri penjelasan dokter tentang Sofi.
"Saya kakak sepupunya." Lanjut Mirza setelah menemukan kata yang pas.
"Baik, yang penting ada perwakilan dari keluarga pasien. Silahkan ikut saya ke ruangan sekarang." Pinta dokter berkacamata itu tegas.
Mirza dan Om Jaka tengah duduk berhadapan dengan dokter perempuan yang berwajah tegas itu.
"Jadi bagaimana keadaan dia, dok?" Ulang Om Jaka masih dengan rasa gugup dan bercampur kepo saat ini.
Dokter itu menatap Muirza dan Om Jaka bergantian.
"Pasien mengalami kelelahan. Mungkin dia sedang berada dalam tekanan, sehingga kurang istirahat dan banyak pikiran."
"Lalu bagaimana dengan kandungannya, dok? Mirza memburu tak sabar.
"Dia ... " Dokter berhenti sejenak tak langsung melanjutkan kalimatnya.
Dokter setengah bawa lebih berambut abu-abu itu malah melihat Mirza dengan tatapan sulit diartikan dan membuat Mirza grogi.
Mirza menunggu kalimat yang akan diucapkan dokter selanjutnya,
___
___
berrrsambung lagi ya ☺️
yuk, like ... komen ... rate dan vote biar aku tambah semangat nulisnya.
Terima kasih 🙏😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 299 Episodes
Comments
Nilaaa🍒
hadir kakak
semangat selalu
salam dari This Our Love
2021-07-12
0
Penulis Jelata
Sofi fitnah ah, ga mgkn itu anaknya Mirza😐
2021-06-26
0
iefat
lanjutt
2021-04-16
0