Dan ...
Tluing ... tluing ... tluing ... wing ...
Tluing ... tluing ... tluing ... wing wing ...
Gawai Mirza tiba-tiba berbunyi nyaring dari atas kasur. Kontan saja itu membuat Mirza menghentikan niatannya dan menyambar gawai yang resek mengganggunya. Mirza sedikit kesal, tapi dam-diam Via bernafas lega.
Huuft! untung hpnya Mas Mirza bunyi, jadi masih bisa mengulur waktu deh.
Ini sebenarnya bukan hal baru bagi Via. Tiap kali Mirza pulang dari berlayar dan berniat menumpahkan semua hasrat terpendamnya, Via seperti canggung dan malu. Entah mengapa bisa seperti itu, apakah ini dialami juga oleh semua istri yang pernah ditinggal lama suaminya? Tapi itu biasanya hanya diawal-awal saja, selanjutnya sih lancar jaya.
"Ya halo, Bu." Sapa Mirza tetap tenang meski lagi kesal karena yang telpon adalah Bu Een.
"Za, kipas tangan ibu kayaknya ketinggalan di rumah kamu. Soalnya ini di rumah nggak ada." Papar Bu Een dari seberang.
"Iya, nanti Mirza cariin, Bu."
"Anterin sekalian kalo udah ketemu ya."
what? Ada-ada aja deh Ibu. Masa udah lagi on gini suruh nyariin kipas tangan? bisa mulai dari nol lagi nih kayak di SPBU.
"Za? Kamu denger ibu nggak sih?" Panggil Bu Een menyadarkan Mirza yang lagi ngudumel dalam hati.
"Iya nanti besok Mirza anterin, Bu." Jawab Mirza dengan suara yang disabar-sabarkan sambil melirik ke arah Via yang menghampirinya.
"Kok besok sih? sekarang dong!" Protes Bu Een. "Ibu udah kegerahan ini. Mana kipas di toko mati lagi. Ibu nggak tahan, Za. Panas banget ini ..." Ocehan Bu Een semakin menjadi.
Sama, Bu. Aku juga udah nggak tahan. Mirza membatin sambil matanya tak lepas dari Via yang kini duduk di sampingnya ingin tau apa yang dibicarakan suami dan ibu mertuanya.
"Ini kan udah sore, Bu. Mendingan Ibu tutup aja deh tokonya. Besok Mirza langsung pasang AC di toko ya?" Bujuk Mirza.
"Kok gitu sih?"
"Ya lagian ibu ada-ada aja. Mirza kan baru pulang, baru ketemu Via. Mirza mau istirahat dulu sambil lepas kangen sama Via. Besok Mirza pasti ke sana."
Nut ... nut ... nut ... nut ...
Sambungan terputus. Bu Een rupanya langsung mematikan ponselnya begitu tak berhasil menganggu Mirza.
Bu Een sejak dulu memang tak pernah sepenuh hati menerima Via sebagai menantunya. Bahkan sedari Mirza dan Via saling dekat sebelum mereka menikah.
Menurut Bu Een, Mirza bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih segalanya dari Via. Padahal Via juga bukan berasal dari kalangan bawah-bawah amat. Dia sarjana dan berasal dari keluarga berpendidikan. Memang sih sawah yang dimiliki keluarga Via tak seluas sawah punya Bu Een. Karena tolok ukur kekayaan di desa memang rata-rata diukur dari luas sawah seseorang.
Tapi sebenarnya bukan itu alasan utama Bu Een. Dia lebih kepada merasa cemburu jika Mirza anak semata wayangnya nanti setelah menikah akan mengabaikannya. Apalagi dia kini seorang janda sejak suaminya meninggal sepuluh tahun lalu.
Via sendiri tak pernah berhenti bersikap baik dan manis pada Bu Een meski ibu mertuanya itu kadang suka nyinyir dan asal kalo ngomong. Baginya dengan tulus menyayangi Bu Een seperti ibu kandungnya sendiri akan membuat Mirza bahagia dan makin mencintainya.
"Kok mati?" Tanya Via.
Mirza cuman menggedikkan bahunya. Mirza menonaktifkan ponselnya dan merasa inilah saatnya untuk memulainya lagi dari awal.
Via masih dengan senyumnya yang malu-malu, dan itu makin membuat Mirza gemas.
Disentuhnya pipi Via dengan lembut coba memantikkan gairah Via yang jantungnya kini kembali bertalu kencang. Saat-saat seperti ini rasanya hampir sama seperti malam pertama bagi Via. Mendebarkan.
Mirza merebahkan tubuh Via perlahan. Posisi mereka kini saling berhadapan. Wajah mereka sangat dekat. Ahh, Mirza terlihat makin ganteng dan lebih bersih. Ternyata Via baru menyadarinya.
Aroma wangi maskulin Mirza tercium nyata. Via memejamkan matanya seolah pasrah dan tak sanggup menatap segala kharisma wajah yang ada di hadapannya. Via pun sudah mulai relax dan menikmati sentuhan demi sentuhan suaminya. Baru saja Mirza akan mendaratkan bibirnya pada bibir istrinya yang begitu menggoda itu, tiba-tiba ...
Tlolet ... tlolet ... tlolet ... ting
Tlolet ... tlolet ... tlolet ... ting
kini ponsel Via yang berbunyi nyaring berulang kali dari atas dipan berukir Jepara.
Mereka berdua terkesiap.
Ya ampun! Siapa lagi sih? Mirza membatin kesal.
Via segera bangkit meraih ponselnya.
"Riri, Mas." Ucap Via memberi tahu. "Video call dia."
Via segera merapikan rambut dan kancing atas dressnya yang terbuka.
"Ya, Ri. Ada apa?" Sapa Via setelah yakin penampilannya beres.
"Katanya Mas Mirza udah pulang ya, Mbak?" Tanya Riri adik Via dengan wajah senang.
"Iya, baru datang tadi diantar Om Jaka."
"Oh. Tumben nggak naik kereta?"
"Katanya Om Jaka mau sekalian ada perlu."
"Oh, gitu."
Riri terus saja berceloteh. Anak ke tiga Bu Suharni ini memang lebih cerewet dari Via maupun Tia kakak pertamanya.
"Eh, sekarang mana Mas Mirzanya, Mbak? Ibu mau ngomong katanya." Riri mengalihkan layar ponsel pada ibunya yang duduk di sebelahnya.
"Hus! Kok bawa-bawa Ibu sih? Kan tadi kamu yang mau telpon?" Protes Bu Suharni.
Via melirik suaminya yang tampak masygul. Via mengerti benar betapa api yang tadi sudah berkobar kini harus redup lagi.
"Mas Mirza lagi tidur, Ri. Kecapekan perjalan dari Jakarta belum sempat istirahat soalnya tadi mampir rumah Ibu dulu." Via terpaksa berbohong.
"Tuh kan, udah matiin hpnya! Ganggu orang istirahat aja." Omel Bu Suharni.
"Nanti main sini ya, Mbak? Aku dapet oleh-oleh kan?" Rajuk Riri.
"Dapet. Semuanya kebagian kok. Besok nanti sama Mas Mirza ke sana."
"Asyiik. Yes!" Riri bersorak gembira.
Riri memang paling manja. Meski sudah lulus SMA tapi kadang masih suka kekanak-kanakan.
"Ya udah deh. Salam aja buat Mas Mirza, Mbak. Jangan lupa besok ke sini sambil bawa oleh-oleh yang banyak."
Klik!
Riri mengakhiri percakapannya. Mirza pun lega bukan main. Di raihnya tubuh Via untuk kembali rebah di sampingnya.
"Tunggu dulu, Mas." Ujar Via.
"Apa lagi sih, sayang? Kamu nggak liat dari tadi aku udah nahan ..."
"Aku matiin dulu hpku." Via lantas menekan mode non aktif ponsel.
Lalu tanpa aba-aba Mirza langsung melancarkan aksinya. Mirza nggak mau gagal lagi kali ini. Gerakannya kini lebih agresif, mungkin dia khawatir ada yang bakal mengganggunya lagi.
Selanjutnya mereka sudah sama-sama tak bisa membendung lagi segala apa yang ada pada diri mereka masing-masing. "Pertarungan" itu memang sangat sengit. Tempat tidur yang tadinya rapi kini morat marit. Sprei jadi selimut, selimut jadi sprei. Bantal dan guling berjatuhan. Ranjang mereka benar-benar telah porak poranda.
Lalu setelah lunas segala kerinduan itu terbayarkan, mereka saling melempar senyuman.
to be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 299 Episodes
Comments
Senajudifa
ngga bu een ngga riri ganggu aj
2022-08-26
0
Penulis Jelata
Wah kuat amat Mas Mirza, eh😄
2021-06-19
0
Uswatun Khasanah
🤣🤣🤣🤣😜😜😜 ranjang morat marettt bercinta rusuh. rindu segunung lg.
2021-06-11
0