Malam semakin mananjak, Bram mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, hembusan angin akibat kencangnya motor yang di bawa Bram, terasa menusuk dikulit Maya.
Jalanan masih terlihat padat, lalu lalang kendaraan seakan tak pernah usai. Maya merapatkan jaketnya, mencari sedikit kehangatan, sesekali anak rambutnya meriap menutupi wajahnya.
Bram yang terkadang sedikit nakal, mengerem motor secara mendadak, hingga membuat Maya tak terkendali dan menubruk belakang Bram. Dan Maya akan menghadiahkan cubitan kecil di pinggang Bram.
"Au.... sakit." teriak Bram.
"Hahaha..." Maya pun tertawa.
"Pegangan yang kuat, kalau tidak mau terjatuh" kata Bram sambil menaikkan gas motornya.
Dua puluh menit kemudian, Maya dan Bram sampai ke areal apartement Risma.
"Malam pak Satpam." sapa Maya begitu sampai ke apartement Risma.
"Malam non Maya." balasnya sambil tersenyum.
"Izin ke apartemen Risma pak, ada yang mau diambil." ujar Maya.
"Silahkan, Non!."
"Apa orang tua Risma, masih ada pak." tanya Maya.
"Tidak ada non, mereka langsung pulang ke kampung."
"Jadi orang tua Risma, sudah pulang pak." Maya bertanya lagi untuk meyakinkan.
"Iya, Non!."
Terima kasih pak." Maya dan Bram melangkah meninggalkan pak Satpam.
"Untung saja orang tua Risma." ujar Maya sambil memasukkan anak kunci ke pintu.
"Iya, kalau tidak, pasti kita repot mau nyari alasan, ngapain menggeledeh apartement Risma." ujar Bram.
Maya dan Bram masuk setelan pintu terbuka, ruangan gelap hanya ada bias lampu dari luar, membuat mereka tidak bisa melihat jelas, Bram mencari saklar lampu dan menghidupkan
Ada aura tak nyaman begitu Maya dan Bram melangkah ke ruang tengah, seketika meremang bulu kuduk, Maya melangkah pelan sambil menarik tangan Bram agar ikut masuk ke kamar. Bram hanya manut mengikuti langkah Maya.
Maya menyibak seprai yang menutupi pinggir tempat tidur, menarik laci, mengeluarkan kotak hitam kemudian membuka dan mengambil isinya. dia membuka ransel dan mengambil kotak keemasan itu, mencocokkan lubang kunci dengan kunci yang dipegangnya.
"Klik." kotaknya terbuka, benar saja di dalam ada susuk kantil berbalut dengan kain berwarna kuning. Maya mengeluarkan susuk kantil itu, tangannya gemetar, dia merasa ada kekuatan gaib dari susuk kantil itu.
"Keluarkan bambu kuning yang dari paman Prabu." ujar Bram sambil memegang tangan Maya yang merasa kepanasan.
"Bambunya di mobil Bram, cepat telpon Andreas." ucap Maya pelan. Bram meraih ponselnya. Dan menghubungi Andreas.
"Hallo, Andreas."
"Iya, Bram, aku dah sampai nih"
"Langsung ke atas, bawa bambu kuningnya." ujar Bram, sambil menutup panggilannya.
Maya kesakitan, susuk kantil itu seperti menyedot darah dari tangan Maya, Maya berusaha melepaskan dari genggamannya, tapi tak bisa, bahkan susuk kantil itu menusuk telapak tangannya. Bram menarik dan memaksa mengambil susuk kantil itu, tapi gagal.
Darah segar mengucur dari telapak tangan Maya, Maya semakin histris kesakitan, susuk kantil itu masuk ke dalam tapak tangan Maya. Maya semakin mengerang kesakitan, tusuk kantil itu semakin menancap bahkan hampir tenggalam.
"Auuu.... panas Bram." keluh Maya menggigil dan gemetar menahan sakit. Bram pun merasakan hawa panas yang mengalir dari tangan Maya.
Maya sudah tak kuat lagi menahan sakit, diapun terkulai dan tak sadarkan diri, di saat susuk kantil itu hampir terbenam di tangan Maya.
Andreas datang membawa bambu kuning dari Paman Prabu, dan mengarahkan ke susuk kantil. Susuk kantil itu tercabut dengan sendirinya dan masuk ke dalam bambu itu, Andreas pun menutupnya.
"Alhamdulillah, tepat pada waktunya." kata Bram sambil menangkupkan kedua tangan kewajahnya.
"Terlambat sedikit saja, Maya yang jadi korban." lanjut Bram sambil mengobati luka tusuk di tapak tangan Maya. Bram membalut luka Maya dengan sobekan bajunya, karena tidak ditemukannya perban di kotak obat.
"May... Maya... bangun." Andreas menepuk-nepuk pipi Maya. Tapi Maya tidak merenpon.
"Kita tak punya waktu mengurus Maya." ujar Andreas.
"Bagaimana Bram, kita tinggalkan saja Maya di sini." Andreas meminta pendapat Bram.
"Jangan, nanti terjadi apa-apa, kita yang disalahkan." ujar Bram.
"Kita bawa saja Maya ke mobil."
"Aduh!, siapa yang gendong."
"Kamu aja Dre." ujar Bram langsung melangkah keluar.
"Bram!... Bram." Andreas memanggil Bram, Bram terus saja melangkah, tak memperdulikan panggilan Andreas.
Dengan wajah cembrut, Andreas membopong tubuh Maya.
"Maya!... Maya... ngapain juga pakai pingsan, mana berat lagi." guman Andreas dalam hati.
"Kok cemberut gitu." ujar Bram tertawa sambil menggoda Andreas.
"Nih, cewek berat banget, Bram."
"Tapi suka kan?."
"Suka apaan."
"Itu... bisa meluk cewek cantik, hahaha." Bram tertawa ngakak.
"Kalau dia sadar, belum tahu mau kau gendong." ujar Bram lagi.
"Ah... sudah... jangan ngoceh terus, buka pintunya."
Bram membuka pintu belakang, Andreas meletakkan Maya di kursi belakang, untung pak satpam tidak berada di pos, kalau tidak pasti mereka disangka melakukan penculikan.
Mereka masuk ke mobil dan meluncur meninggalkan apartemen Risma.
Malam semakin larut, namun jalanan masih tetap ramai, lalu lalang kendaraan masih memenuhi jalan. walaupun tidak sepadan siang hari, mungkin sebagian penghuni ibu kota, sudah terlelap dengan mimpi indahnya.
"Waktu kita tinggal sepuluh menit." kata Bram sambil melihat jam di gawainya.
"Waduh... bisakah kita sampai tepat waktu." ujar Andreas sedikit cemas.
"Semoga tak terlambat." ujar Bram.
"Tancap Dre!." lanjutnya
"Sip, siap!, kita tancap." ujar Andreas memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Dan menyalip beberapa kendaraan di depannya.
Maya terbangun karena kencangnya goncangan mobil, kepalanya terasa pusing, dia mengingat kembali apa yang telah terjadi. Tangan kanannya berbalut dengan perban, ada bekas tetesan obat merah yang mulai mengering.
"Au..." Maya meringis, perih di telapak tangannya masih terasa sakit dan panas, dia mengibas-ngibaskan tangannya.
Andreas menambah kecepatan, hingga Maya terlonjak di belakang.
"Apa-apa nih, kok bawa mobilnya kayak kesetanan." ujar Maya menggerutuk. Andreas melirik Maya yang sedang memperbaiki duduknya.
"Sudah bangun, May." ujar Andreas sambil tersenyum melihat wajah kudut Maya.
"Andre!, pelanin dong." Maya sedikit berteriak. Namun Andreas tidak memperdulikan teriakan Maya. Dia malah semakin gila membawa mobil.
"Kita tak punya waktu banyak lagi May, tinggal tujuh menit lagi." ujar Bram.
"Hah!!." Maya melirik Arloji
"Astagfirullah, bagaimana ini." ujar Maya, sambil memperbaiki duduknya, dia menangkupkan kedua tangannya.
Maya menarik napas dalam, sambil menghitung detik perputaran jam di gawainya.
"Ya Allah, semoga semuanya baik-baik saja." bisik Maya dalam hati, dia tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi dengan Risma sahabatnya.
"Andreas!!, tinggal lima menit lagi." teriak Maya, wajahnya terlihat cemas.
"Ayukkk Andreas, sudah hampir sampai." ujar Bram, memberi semangat ke Andreas. Andreaspun memacu lebih tinggi.
"Cettt." tiba- tiba Andreas menginjak rem secara mendadak. Dia sangat terkejut ketika ada sesuatu berkelibat di depan.
"Astagfirullah." ujar Bram yang sedikit terpental ke samping.
"Hati-hati, Dre." ujar Bram setelah bisa meminimalisir detak jantungnya.
"Ada apa, Dre!." ujar Maya kaget. dan mengurut dadanya.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Fauzi Areski
ya Tuhan menegangkan
2021-09-24
2
Raini Sapitri
Duhh padahal aku dh tegang bgt nich baca nya, eee mlh kepotong bab nya
2021-04-03
0
Darmaiyah Amir
yuk mampir gaes di ceritaku
2020-10-25
1