#TUMBAL_PART12
Risma terbangun mendapati kamarnya yang sangat berantakan, dia merasa tubuhnya sangat lemah tak berdaya. dengan terhuyung-huyung dia bangun dan merapikan kembali kamarnya dan menyimpan alat ritual.
Hari ini dia hanya ingin tiduran sampai petang, menghilang lelah. sambil rebahan digapainya ponsel setelah mendengar ada getar pesan masuk.
[Ris, shoping yuk] chat watshaap dari Maya.
[Jemput ke apartement ya] balas Risma.
[Sekalian belikan sarapan] lanjut Risma.
[Okey, ada emoji jempolnya]
Risma yang masih dalam kondisi tidak stabil, karena ritual tadi malam masih sangat mengantuk, berkali-kali dia menguap, dan berusaha menahan kantuk tapi tak kuasa, dan akhirnya diapun terlelap.
Dua puluh menit Maya sampai ke apartemen, dia mengetuk pintu berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Maya memutar grendel pintu, tidak terkunci. dia pun masuk sampai ke ruang dapur tapi Risma tak ditemukannya. dia menuju ke kamar dan mendapati Risma masih terlelap.
"Astaga!." Maya menarik bantal yang menopong kepala Risma.
"Bangunnnn.... bangunnnn." teriakan Maya, mengagetkan Risma.
Risma terbangun karena teriakan Maya, dengan malas dibuka kedua matanya. Masih teresa sangat ngantuk, diapun bangkit terus menyambar handuk, dan pergi ke kamar mandi.
"May!. Aldi melamarku." kata Risma setelah selesai mengenakan pakaian.
"Bagus dong" Maya tidak melanjutkan kata-kata, ketika melihat wajah sedih sahabatnya itu, dia tahu apa yang sedang berkecamuk di hati Risma.
"Apa kita harus menemui embah Roro lagi, Ris." tatap maya penuh tanya. Risma hanya menggelengkan kepala.
Maya kaget melihat ada beberapa luka tusuk di tapak tangan dan pergelangan Risma, yang mulai memerah dan membengkak.
"Ini kenapa Ris." tanya Maya, sambil memegang tangan Risma yang penuh dengan luka gores.
"Ini akibat dari perjanjian itu May."
"Setiap kali aku ingin mengakhiri perjanjian itu, maka akan datang kekuatan gaib, yang haus darah, dan ini hasilnya, aku terpaksa menghisap darah ku sendiri." ujar Risma sambil memandangi telapak tangannya.
Maya merinding mendengar penjelasan Risma.
"Kita harus mencari orang pintar, untuk mengakhiri ini semua Ris."
"Ta-tapi May." ada bias keraguan di sudut mata Risma.
"Tapi kenapa?, kamu takut kehilangan Aldi."
Risma hanya mengangguk, dua bulir kristal bening tiba-tiba menggerimis. Maya memeluk sahabatnya itu. dia tidak ingin sahabatnya tersesat lebih jauh lagi.
"Ris, kehilangan nanti, akan lebih menyakitkan daripada kehilangan sekarang."
"Sadarlah Ris. Aldi tidak mencintaimu di alam nyata, jika dia tahu semua ini, dia pasti membencimu." lanjut Maya.
"Tidak May, aku tidak akan mengakhiri semua ini."
"Tapi Ris!." Maya coba membujuk Risma, namun tiba-tiba sinar mata Risma berubah ganas. Maya mundur beberapa langkah, apakah kekuatan gaib itu mulai merasukinya. pikir maya.
"Okey Ris, okey!, aku akan membantumu, mewujudkan apa yang kau inginkan." kata Maya sambil menenangkan Risma.
"Aku akan membantumu mendapatkan Aldi." lanjut Maya, Risma kembali seperti biasa, sinar matanya pun tidak setajam tadi.
Maya mengambil dua mangkok dan memasukkan bubur ayam yang dibelinya tadi, dan menyodorkannya satu mangkok ke Risma. mereka menyantap sarapannya dengan pikiran masing-masing tanpa berbicara sepatah kata pun.
Selesai sarapan Maya mengantar mangkok bekas makan ke ruang dapur, kembali lagi dengan membawa kotak obat. dia membalurkan obat merah ke luka Risma yang terlihat mulai memerah.
"Terima kasih ya May." ujar Risma setelah Maya mengobati tangannya.
"Iya!, semoga ini tidak terjadi lagi." kata Maya sambil memasukkan obat ke kotaknya.
Karena keadaan Risma yang kurang fit, mereka tak jadi pergi shoping, Mayapun memutuskan pulang dan membiarkan Risma istirahat untuk memulihkan kondisinya.
****
Maya melaju meluncurkan arah mobilnya ke desa tasik, dia harus menemui paman prabu yang terkenal pintar dan sakti. dia ingin paman prabu membebaskan Risma dari perjanjian itu. Maya tidak tega melihat sahabatnya itu menjadi budak embah Roro.
Satu jam perjalanan dia sampai ke desa tasik, Maya harus berjalan kaki sekitar lima ratus meter masuk kedalam, karena jalannya setapak, hanya bisa dilewat motor dan pejalan kaki.
Baru beberapa meter dia berjalan, ada bunyi suara motor disampingnya, dia menepi memberi jalan, tapi motor itu malah berhenti tepat di depannya.
"Hay!, Maya kan?." tanya lelaki gondrong di depannya, Maya memutar lagi memory lamanya, di mana dia pernah melihat lelaki ini, tapi gagal.
"Siapa ya?." tanya Maya, karena dia gagal mengingatnya, walaupun sebenarnya dia pernah melihat lelaki ini.. di mana ya.
"Belum ingat juga." kata lelaki itu sambil tersenyum.
"Kita pernah ketemu di hutan jati." lanjutnya.
Upss.. iya, Maya baru ingat, inikan lelaki gondrong yang menyebalkan itu.
"Bram!." tebak Maya. Bram mengacungkan jempol, bahwa tebakan Maya benar.
"Mau ke mana?." tanya Bram
"Ke rumah paman Prabu." jawab Maya sambil melangkah.
"Sudah pernah ke sana."
"Belum." kata Maya sambil menggeleng.
"Ayuk naik." Bram menawarkan boncengan.
"Tak usah, aku jalan kaki saja." tolak Maya.
"Masih jauh nih, rumah paman Prabu paling ujung di bawah lembah itu."
"Satu jam jalan kaki, baru sampai." lanjut Bram.
Seorang wanita paroh baya menjunjung sayuran lewat menyapa mereka.
"Mari tuan Bram." kata wanita itu sambil tersenyum.
"Si neng seperti orang baru ya." tanya wanita itu.
"Mau ke mana neng." lanjutnya.
"Ke rumah paman Prabu mbak." jawab Maya.
"Wah... masih jauh neng, bisa hitam kulit neng kalau jalan kaki, panas lagi." wanita itu memandangi Maya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Minta diantar sama tuan Bram aja neng, bisa ke buru malam nih neng." lanjut wanita itu sambil berlalu.
"Gimana, masih mau jalan." kata Bram sambil menstater motornya.
Maya naik ke motor Bram, berpegangan kuat di jaket Bram, dia tidak bisa membayangkan, kalau terpeleset sedikit saja, dia dan Bram akan jatuh ke sawah yang penuh lumpur.
"Pegangan yang kuat."
"Di bawah sana jalanan licin dan curam." teriak Bram di balik deru bisingnya suara motor.
Maya memeluk penggang Bram, dari pada dia terpelanting, karena Bram sedikitpun tidak memelankan laju motornya. langit yang cerah tadi, tiba-tiba mendung, bahkan gerimis mulai turun. Bram semakin meliuk-liuk membawa motornya mengikuti alur jalan.
Semakin ke ujung, jalanya semakin kecil dan licin, Bram seperti sudah hafal seluk beluk jalannya. sepertinya Bram bukan orang asing di kampung ini, karena setiap orang yang ditemuinya pasti menyapa dan di sapanya ramah.
Bram menghentikan motornya di sebuah rumah panggung. kedatangan mereka disambut seorang lelaki yang dipanggil Bram dengan sebutan Bopo. Bram menitipkan tas dan motornya. mereka berjalan kaki melanjutkan perjalanan turun kelembah.
"Sepatunya di buka saja May, tinggalkan disini."
"Di bawah sana jalannya sangat licin."
Maya mencopot sepatunya dan meninggalkan di rumah panggung itu, pertama kali dia menjejakkan kakinya tanpa alas, ada rasa perih seperti menusuk tapak kakinya, demi Risma dia rela melakukan ini.
Mareka melalui jalan licin di atas bebatuan di pinggir sungai, aliran air yang bening sangat menyejukkan. pemandangan yang alami dan sangat indah, sejenak menghilangkan rasa perih di tapak kaki Maya.
Bram menggenggam erat tangan Maya, sedikit saja terpeleset mereka akan jatuh ke sungai.
"Masih jauh ya."
"Sedikit lagi, tinggal beberapa puluh meter lagi."
"Berhenti sebentar ya, sakit." kata Maya sambil melihat tapak kakinya yang memerah.
"Kalau kita berhenti, takutnya keburu hujan May." ujar Bram.
Bram menyodorkan punggungnya membelakangi Maya.
"Naik." perintah Bram, dia akan mendukung Maya.
"Ta-tapi Bram." Maya terlihat ragu. dia mencoba menjejakkan kakinya, sangat sakit dan perih. dia sudah tidak sanggup lagi berjalan.
Dengan terpaksa Maya menerima tawaran Bram, Bram mendukungnya sampai ke rumah paman Prabu. di rumah paman Prabu kaki Maya diobati dengan beberapa ramuan.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Raini Sapitri
Itu knp medan nya sulit bgt yaaa, seperti nya mmg tinggal nya msh di pelosok dech alias desa terpencil
2021-04-02
2