Sore yang cerah membawa kecerahan hati Yuki karena sebuah ilmu telah dia dapatkan hari ini. Meski dia ingin sekali membeli peralatan yang ditawarkan sang penjual mixer dan oven untuk menunjang ilmunya, serta tawaran cicilan yang menggiurkan, tapi gadis itu tetap keukeuh untuk tidak menggunakan uang gajinya nanti untuk macam-macam demi tiga puluh juta yang harus dia kumpulkan dan persembahkan kepada papinya tercinta sebagai bukti kemandirian dan usahanya.
Rangga dan Bu Yayah berputar-putar di pusat kota. Beberapa tempat telah mereka jelajahi, tapi hasilnya nihil. Gadis yang mereka cari tidak ketemu.
"Apa kita perlu ke kantor polisi, Ngga?" tanya Bu Yayah saat membonceng dengan posisi duduk miring.
"Karena tadi nggak jadi ada kerusuhan dan demo bubar, kurasa kita jangan hubungi polisi dulu, Bi! Mungkin si Kiki udah di rumah. Coba kita periksa ke rumah dulu," tutur Rangga mencoba memberikan solusi.
"Ya udah, kamu benar. Kita pulang dulu aja! Nanti kalo dia nggak di rumah, baru kita hubungi kepolisian!" kata Bu Yayah pada akhirnya.
"Ya, Bi!"
Mereka berputar balik menuju ke jalan pulang ke rumah. Sepeda motor melaju dengan cukup kencang. Biasanya Bu Yayah protes jika yang diboncengi terlalu kencang, tapi sepertinya hari ini dia setuju jika Rangga mengendarai motor dengan cepat, karena kecemasannya akan keberadaan Yuki.
Motor telah memasuki gang menuju rumah, melewati jalan di gang rumah Bu Rina. Dari jauh mereka melihat seorang gadis keluar dari kerumunan para wanita yang akan memakai sandal untuk pulang ke rumah masing-masing dari rumah Bu Rina.
"Eh, itu kayaknya Kiki, Bi!" seru Rangga.
"Iya! Bener, Ngga! Ngapain dia keluar dari rumah Bu Rina? Bentar-bentar kita tanya dulu!" ujar Bu Yayah.
Rangga menghentikan laju sepeda motornya, menunggu Yuki berjalan. Gadis itu terlihat sumringah mendapati kedua orang yang begitu dikenalnya, sedang menunggu di tepi jalan.
"Hey, Kiki! Kamu dari mana aja??" tanya Bu Yayah kesal.
"Lho, Bu! Saya 'kan udah bilang kalo saya mau ikut demo masak di rumah Bu Rina!" ujar Kiki.
Bu Yayah menepuk jidatnya sendiri, menyadari kejadian pembubaran demo tadi olehnya hanya karena mencari pembantunya itu. Rangga menutup muka, lalu tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Yuki. Hanya Yuki yang bingung melihat keduanya sekarang.
"Oalah, Ki ... Ki!"
Bu Yayah menghela napas, lega. Setidaknya gadis itu tidak ikut-ikut demo yang tadi hampir saja mengakibatkan kerusuhan.
"Kenapa ya, Bu?" tanya Yuki.
"Nggak apa-apa, udah sekarang kamu pulang dulu sana!" titah Bu Yayah.
"Mm ... ya, Bu!"
Yuki segera berjalan menunduk, melewati motor Rangga yang masih berhenti menunggui bibinya.
"Apa mau bonceng tiga?" tawar Rangga.
Bonceng tiga? Aku boncengnya di depan trus hadap belakang, hahaha!
Yuki mengangkat kepalanya, menatap ke arah Rangga dengan tersenyum.
"Nggak usah, Mas Rangga. Makasih. Aku jalan aja, lagian deket juga," tolak Yuki halus.
"Mmm ... ya udah kalo gitu, kami duluan, ya?"
"Iya, Mas."
Rangga dan Bu Yayah mendahului Yuki.
"Ngga, maafin Bibi karena udah merepotkanmu. Pake bubarin kerusuhan lagi! Ternyata anaknya lagi ikut demo masak!" ujar Bu Yayah malu.
"Nggak apa-apa, Bi. Setidaknya Bibi udah berjasa membuat hal buruk tidak terjadi," timpal Rangga.
Bu Yayah menghela napasnya lagi mengingat peristiwa yang membuat keberaniannya berkobar hanya untuk mencari pembantunya.
Tak lama, mereka tiba di rumah. Suami Bu Yayah sudah berdiri di teras, menggendong anak ke-duanya yang sepertinya baru saja bangun tidur.
"Gimana, Bu! Ketemu anaknya??" sambut Pak Hendra.
"Ternyata dia ikut demo masak, Pak!" ujar Bu Yayah lemas.
Meledaklah tawa Pak Hendra saat itu.
"Hahaha, Ibu ini gimana sih? Jadi tadi kalian ikut demo?" tanya Pak Hendra di sela tertawanya.
"Bibi malah bubarin para pendemo pake serbet, Om!" ujar Rangga tertawa sambil berjalan masuk ke dalam rumah, disusul oleh pasangan suami istri tambun itu.
Mereka masuk dengan gelak tawa sang suami.
*
Satu bulan telah berlalu, Yuki semakin rajin dengan pekerjaannya di rumah Bu Yayah. Pagi dia kuliah, siang hingga sore dia bekerja, lalu malam hari dia belajar. Begitu terus aktivitasnya, diwarnai dengan perbincangan dengan Rangga atau hanya menatap lelaki yang sering berpapasan dengannya saat di rumah.
"Kiki!" panggil Bu Yayah malam itu, saat dia selesai menyetrika setumpuk baju orang serumah. Bau semerbak wangi bunga semprotan baju masih tercium di ruang setrika, sekaligus kamarnya.
Bu Yayah sudah berada di ambang pintu kamar Yuki.
"I-iya, Bu!" jawab gadis itu kaget. Tak biasanya Bu Yayah mendekati kamarnya, jika tidak ada yang penting.
"Ini, gajimu bulan lalu, ya? Sesuai perjanjian, gaji aku berikan di awal bulan!"
Wanita itu memberikan sebuah amplop berwarna putih pada Yuki. Meski galak, tapi Bu Yayah tipe orang yang konsisten. Dia selalu menepati janjinya.
Yuki merasa berdebar-debar menerima amplop putih. Dipandanginya Bu Yayah, lalu amplop yang dipegang wanita itu dengan berbinar. Dia merasakan hal yang luar biasa saat mendapatkan gaji pertamanya.
"Ini, buruan terima!" ujar Bu Yayah kesal karena gadis itu malah terharu, menutup sebagian wajahnya.
"Iya ... iya Bu!"
Yuki segera berdiri dan menerima amplop itu.
"Makasih ya, Bu!" ucapnya.
"Sama-sama!" jawab Bu Yayah meninggalkan kamar Yuki.
Yuki meraba-raba amplopnya. Menerka-nerka berapa lembar isi dari amplop itu.
Akhirnya pecah juga rasa penasaran gadis itu. Dibukanya amplop putih yang berisi beberapa lembar uang merah. Dihitungnya lembar demi lembar.
"Fyuh! Satu juta rupiah," gumamnya.
"Meski gaji ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan gaji asisten-asisten di rumahku sendiri, tapi ini hasil kerjaku. Jika aku musti mengumpulkannya, harus berapa bulan lagi aku bisa pulang membawa uang dan misiku terlaksana?" gumamnya lagi.
Kedua matanya merasa menghangat. Air mata menetes mengaliri kedua pipinya yang mulus.
"Kenapa sih harus tiga puluh juta? Susah sekali mendapat uang sejumlah itu dalam waktu singkat. Aku rindu papi dan mami ...." isaknya lirih.
Yuki memegang uang itu. Dia menghapus air matanya, berpikir sebentar. Masih ada harapan mendapatkan uang dari Pak Frans, dosennya. Baru kali ini dia merasa sangat menghargai uang yang dia dapat. Melingkari tanggal saat dia mendapat uang dan mencatat ke buku agendanya. Uang itu pun dia selipkan di dalam buku.
Dia merebahkan diri di kasurnya yang keras. Pikiran gadis itu melayang-layang, teringat akan janjinya untuk menraktir sahabatnya saat menerima gaji pertama. Sudah berkurang lagi jumlah uang itu.
Yuki menghela napasnya. "Ternyata susah sekali ya bekerja keras demi uang? Aku baru kali ini merasakan ingin menggenggam erat uang hasil jerih payahku dan mengatur pengeluarannya. Selama ini, kemana aja aku? Menghambur-hamburkan uang dengan mudahnya tanpa usaha untuk mendapatkannya."
Yuki terlarut dalam kekalutannya malam itu. Malam dimana hatinya bercampur aduk antara senang mendapat gaji pertama dan sedih dengan jumlahnya.
Akhirnya malam itu Yuki memejamkan mata. Buku yang biasa dia baca, terbengkalai malam itu. Dia memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya yang letih karena seharian bekerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Diah Susanti
harus kerja sampai 2,5 tahun baru terkumpul
2024-04-02
1
Rianti Dumai
sumpah baca novel ini hilang seketika duka dihati😂🤣😄soal'a kocak habizzz,,,heheee😄
2023-12-18
1
Memyr 67
1 bulan 1 juta. 30 juta brarti kerja 2,5 tahun. oalah. sabar aja kiki
2022-04-29
0