"Kikiii!!!"
Suara melengking Bu Yayah memanggil gadis itu sepulang kuliah. Yuki berlari tergopoh-gopoh memenuhi panggilan majikannya.
"Ada apa, Bu?" tanya gadis itu setelah mendekat.
"Kami mau menjemput keponakan! Dia pindah kemari untuk kuliah di kota ini! Kamu gantikan baju anak-anak! Cepat ya! Katanya udah sampai di bandara!"
"Kok, kuliah di sini? Baru masuk sekarang, Bu?" tanya Yuki heran.
"Kebanyakan tanya kamu! Dia mahasiswa transfer gitu, apalah namanya! Pokoknya dia mau kuliah di sini! Bukan urusanmu juga, 'kan?? Urusanmu ganti baju anak-anak itu!"
Wanita itu mengomel sambil meninggalkan Yuki dengan anak-anaknya. Gadis itu menghela napas. Dia memutar kepalanya ke arah kedua anak yang sudah berdiri di belakangnya sedari tadi.
"Mau pake baju princess," ujar Aurel yang berusia lima tahun.
"Oh, ya. Warna biru apa pink?" tanya Yuki sembari mendekat lalu berjongkok di hadapan gadis kecil itu.
"Pink," jawab gadis kecil itu singkat.
"Oke, tunggu ya, Kak Kiki ambilkan bajunya? Wildan, mau pake baju apa?" tanya Yuki. Bola matanya bergulir ke anak lelaki yang berdiri di sebelah adiknya.
"Baju warna merah," ujar anak lelaki itu sambil menunjuk baju yang digantung di lemari pakaiannya.
"Oh, oke. Kakak ambilin dulu, ya?"
Mereka berdua mengangguk.
Yuki berdiri dari jongkoknya, lalu berjalan ke lemari, mengambilkan baji ganti untuk mereka.
Sebentar kemudian, gadis itu telah membawakan baju ganti anak-anak.
"Sini, Wildan dulu."
"Aurel dulu!" ujar si anak perempuan kesal.
"Aku dulu!" ujar Wildan yang berusia tujuh tahun menyerobot.
"Jangan berebut!" seru Yuki.
Mereka berdua seketika diam, lalu menangis keras.
"Aduuh, diam dong .... Kalian jangan nangis gitu, mau ikut ibu, nggak?"
"Iya ...." ujar mereka serempak.
"Kikiii!! Jangan bikin mereka nangis!" teriak Bu Yayah tiba-tiba.
Ugh, apa-apa salahku, sih!
"Iya, Bu ...."
Yuki memandangi dua anak itu bergantian. Mereka masih terisak.
"Kalo nggak diem dan nggak mau gantian, nggak bisa ikut ibu!" ancam Yuki.
Kedua anak itu terdiam. Sepertinya ancaman Yuki mempan. Mereka mau bergantian untuk diganti pakaiannya.
Fyuh! Untung mereka mau diam. Kalo nggak, aku dikira menarik-narik lidah mereka karena nangis!
Gadis itu menggerutu.
"Nah, udah cantik dan tampan. Ayo sekarang duduk manis ya di kursi. Tunggu ayah sama ibu!" perintah Yuki.
Mereka berdua duduk dengan tenang.
"Kakak tinggal menjemur baju dulu, ya? Kalian jangan gerak sampe ayah sama ibu keluar dari kamar, oke?"
Kembali kedua anak itu mengangguk cepat, lucu jadinya. Ingin rasanya Yuki mencubit hidung keduanya. Namun, diurungkan niatnya karena pasti malah akan menimbulkan tangis yang berujung kemarahan ibunya.
Yuki melangkah ke kamar mandi. Di sana telah ada seember pakaian yang telah dia cuci kemudian dibawanya ke jemuran. Sedang asyik menjemur, Bu Yayah berteriak untuk berpamitan padanya.
"Ki!! Jaga rumah!! Awas kalo sampe ada maling masuk toko!"
"Iya, Bu!!"
Bunyi deru mobil meninggalkan rumah. Yuki segera menyelesaikan pekerjaannya, lalu keluar untuk menjaga toko.
Gadis itu menata letak toples maupun barang-barang di etalase sambil menunggu pembeli datang.
"Permisi!!"
Suara seorang ibu, sepertinya tetangga kampung bu Yayah, mengagetkan Yuki. Gadis itu menghentikan kegiatannya lalu menyapa wanita yang datang ke toko.
"Selamat siang, Bu. Silakan."
"Makasih, ramah sekali adik ini. Mm ... pembantunya Bu Yayah, ya?" tanya si ibu.
"Iya, Bu. Mau beli apa, Bu?
Yuki sengaja akan mengalihkan pembicaraan si ibu yang lagaknya ingin mengajaknya ngobrol. Benar saja, wanita itu mengajak Yuki berbincang.
"Mbak, bu Yayah itu galaknya melebihi herder. Apa Mbak betah kerja di sini?" Wanita itu berbicara sambil memiringkan wajah, tapi bola matanya tepat ke wajah Yuki.
Yuki akan tertawa mendengarnya, tapi dia menahannya. Takut dosa.
"Ya walau galak tapi kalo nasehatnya baik, saya nggak apa-apa kok, Bu!" jawab Yuki.
"Mmm ... begitu ya? Eh, pembantunya yang dulu katanya sampe melarikan diri ke kampungnya gara-gara nggak betah dibentak-bentak. Apa Mbak nggak ada niat melarikan diri?"
"Saya bukan tahanan, Bu. Jadi ya, nggak akan melarikan diri."
Yuki menyibukkan diri di depan meja kasir. Dia mengelap meja kasir yang berdebu dengan lap basah, lalu membersihkan keyboard komputer dengan kemoceng khusus. Tak digubrisnya serius si ibu, hingga ibu itu pun melihat barang yang ingin dia beli.
Setelah beberapa saat, wanita itu meminta sebungkus penyedap rasa pada Yuki.
"Beli penyedap rasa satu aja, Mbak."
"Oh ya, Bu." Yuki memotongkan satu bungkus penyedap rasa rentengan yang digantung lalu menyerahkan pada si ibu.
"Mbak nggak protes lho, biasanya bu Yayah protes kalo pembelinya hanya beli sedikit!"
Yuki hanya tersenyum.
Sebenarnya mau protes, tapi bau-baunya pasti kebalikannya yang protes akan diomeli habis-habisan sama ibu ini.
"Mbak cantik, boleh tau namanya? Saya punya anak laki-laki, kalo mau kenalan sama anak saya, ganteng kok! Kembang desa!"
Yuki menahan tawa.
Kembang desa? Nggak salah tuh? Kembang apa kumbang??
"Nama saya Kiki, tapi maaf Bu. Kalo anak ibu ingin kenalan ya sebatas teman aja. Saya mau fokus kerja dan kuliah."
"Ooh, kuliah juga, ya?"
Duh ... makin lama lah!
Untunglah ada seorang pembeli yang datang antre ingin membeli di belakang si ibu.
"Bu, maaf ada yang mau beli di belakang ibu," ujarnya sopan.
"Oh ya, ya, Mbak. Maaf. Eh Anak saya namanya Fikri ya, nanti kalo dia beli rokok, kenalan, ya?"
Yuki hanya tersenyum. Ibu itu pergi dari toko, kemudian berganti dengan bapak-bapak yang datang membeli telur.
"Bu Sari itu kenapa, Mbak? Mau menjodohkan Mbak sama anaknya? Jangan mau Mbak. Anaknya playboy kampung!"
"Eh, iya Pak. Nggak kok!"
"Ya udah, Mbak, makasih ya? Ini uangnya."
"Makasih, Pak," ujar Yuki.
Seketika Yuki menepuk jidatnya.
Alahmak! Si Ibu itu belum bayar! Huh lima ratus juga ngutang!
Dia menulis utang si ibu di kertas. Seorang lelaki datang.
"Permisi, Mbak Kiki ... mau beli rokok!"
Yuki berpikir mengingat sebentar, kenapa lelaki berkulit hitam ini tau namanya dan ... beli rokok?? Jangan-jangan ....
"Oh ya, mm ... darimana kamu tau nama saya??" tanya Yuki penasaran.
"Dari mama dong, yang tadi ke sini. Tuh rumahku kan di seberang jalan. Tadi aku lihat dari sana, kalian bercakap-cakap udah akrab, seperti mertua dan menantu lho! Ngomongin aku, ya?" Dia mengangkat-angkat alisnya. Pede.
"Oh iya. Kata si ibu, anaknya bujang lapuk. Harus dicuci di laut biar cepet dapet jodoh. Mau beli rokok apa?!" ujar Yuki kesal.
"Eh ... Rokok Gudang Gurem satu, Mbak Kiki!"
"Satu ... bungkus??" tanya Yuki.
"Eh ... satu batang ...." ujarnya malu.
Huh, mau pacaran gimana, beli rokok aja ngecer!
Yuki mengambilkan sebatang rokok lalu diberikannya pada lelaki itu.
"Sama penyedap rasa ibunya tadi, belum bayar!" tagih Yuki.
"Astaga dragon, mama belum bayar ya, Mbak? I-ini ...."
Yuki merebut uang dari tangan Fikri dengan mendengus. Anak sama emak ga jauh beda!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Keho
merk anti mainstream
2024-02-23
0
Dul...😇
kata nya di belakang kampus, kok jadi di kampung thor 🤔
2023-04-29
1
Rhara
bengek bacanya
2022-07-05
0