"Kamu kenapa Rangga?" tanya Bu Yayah.
Lelaki yang ditanya malah melirik pada Yuki yang langsung menunduk seperti tau apa yang terjadi.
"Sakit perut, Bi," jawabnya kemudian menatap ke bibinya.
"Duh, baru tiba tadi siang udah sakit perut aja, Bibi antar ke dokter, ya?" tawar wanita itu.
"Nggak usah, Bi. Paling besok sembuh," tolak Rangga halus.
"Iya, ke dokter aja, jangan menyepelekan penyakit!" kata Pak Hendra menambahi.
"Mm ... baiklah, Om. Nanti aku ke dokter, ditemeni sama Kiki."
Yuki membelalak mendengar apa yang dikatakan Rangga.
Kencan? Inikah yang dinamakan kencan??
"Kiki! Mau disuruh antar ke dokter tuh sama Rangga! Denger nggak, sih?" tanya Bu Yayah.
"E, eh, iya Bu. Denger."
Gadis itu salah tingkah.
Rangga kembali memegangi perutnya. Lalu berlari lagi ke toilet.
Bu Yayah menggelengkan kepala, "Anak jaman now, dikasih tau yang baik juga ngeyel aja."
Wanita itu kemudian memperhatikan suaminya yang terus mengunyah tiada henti.
"Suami jaman now, ketemu daging aja minta terus! Huh!"
Bu Yayah menarik mangkuk besar berisi opor ayam dari hadapan suaminya. Si suami akan protes, tapi melihat istrinya menunjukkan empat jari, dia pun tersadar akan jumlah porsi yang dia lahap.
"Kemajuan itu harus diperjuangkan, Bu!" ujarnya membela diri.
"Iya, tapi nggak kemajuan perut juga kali! Kiki, beresin ini meja!" titah Bu Yayah.
"Iya, Bu!"
Yuki segera membereskan piring-piring kotor di meja makan. Gadis itu telah terbiasa dengan pekerjaan rumah sekarang. Beberapa hari ini dia belajar keras dengan baik.
Gadis itu sekarang sedang mencuci piring di dapur. Mendadak hatinya berdesir mengingat sore ini dia akan 'kencan' dengan Mas Rangga-nya. Dia mempercepat cuci piringnya.
Benar saja, Bu Yayah sudah berteriak agar Yuki segera menyelesaikan pekerjaannya. Hari belum sore, tapi Bu Yayah mendesak Rangga agar segera pergi ke dokter sebelum dia terlalu banyak ke toilet.
"Kiki!! Cepetan!! Rangga udah nunggu! Perutnya makin sakit itu!"
"Eh, iya Bu!"
Dengan tergesa, dia berlari masuk ke kamar, lalu berganti pakaian dengan celana kain dan kaus biasa.
"Grrr ... bener-bener papi memberiku pakaian-pakaian yang nggak modis! Celana jeans aja nggak ada! Ah ... kencan apa ini??" keluhnya.
Dia cepat-cepat mengikat rambutnya lalu pergi keluar. Gadis itu mengatur napas dan hatinya dulu di ambang pintu. Seulas senyum tersungging di wajahnya, tapi dia tarik kembali agar wajahnya nampak biasa. Berusaha tak menunjukkan sumringahnya.
Yuki melangkah ke depan. Di sana, Rangga telah ada di dalam mobil tua Pak Hendra, di belakang kemudi sambil meringis.
Bu Yayah sedang mengajak Rangga bicara di samping mobil.
"Beneran kamu nggak minta dianterin Om aja? Kamu pucet gitu, lho!" ujarnya sekali lagi.
"Nggak, Bi. 'Kan udah ada Kiki. Nanti kalo ada apa-apa, dia yang bantu," ujar Rangga masih sambil meringis.
"Ya udah deh kalo gitu. Masuk sana, Ki! Buruan!" perintah wanita berdaster jumbo itu.
"Iya, Bu."
Yuki segera membuka pintu mobil. "Eh, bener kan aku duduk depan, Mas Rangga?" tanya dia ragu.
"Lha iya! Apa kamu mau duduk di belakang?? 'Ntar aku malah kayak supirmu!" ujar Rangga.
"Oh, iya!"
Yuki bergegas masuk dan duduk di sebelah Rangga. Lelaki itu menglakson Bu Yayah tanda berpamitan pergi.
"Hati-hati! Kiki, jagain Rangga, ya! Awas jangan ngebut-ngebut!"
Tak terdengar lagi rentetan pesan dari mulut wanita itu setelah mobil melaju ke jalanan.
Jantung Yuki berdetak cepat saat berada di samping Rangga. Inginnya menanyakan sesuatu pada lelaki tampan di sebelahnya, tapi ragu. Setelah beberapa saat untuk mengisi kekosongan pembicaraan, dia membuka mulutnya.
"Mas Rangga bener mau menyetir sendiri?" tanya Yuki.
"Iya. Apa kamu bisa nyetir?? Nggak, kan?"
Yuki terdiam.
Dia hanya ingin melindungiku sebagai perempuan. Aih ....
"Eh, ini bener kan arahnya ke sana?" tanya Rangga.
"Iya, Mas Rangga."
Suasana kembali hening di dalam mobil. Hanya suara mobil dan klakson yang memenuhi jalan.
Yuki kembali memberanikan diri bertanya.
"Emmm, Mas Rangga, kenapa mengajak Kiki ke dokter? Bukan yang lain? Pak Hendra atau Bu Yayah, maksudku."
"Kamu kan yang ngasih aku sambal banyak-banyak. Ya kamu yang tanggung jawab lah!" jawab Rangga dengan santai.
Yuki menghela napas, lalu mengarahkan pandangannya ke depan.
Berarti aku hanya diminta bertanggung jawab aja.
"Lagian, aku udah gede. Masa cuma sakit gini aja pake dianterin orang tua? Ya, nggak?" kerlingnya, membuat Yuki merona.
Yuki hanya mengangguk.
"Kayaknya kamu juga perlu periksa, dari tadi wajahmu merah. Mungkin kamu demam," lanjut Rangga.
"Eh, nggak kok, Mas Rangga! Aku nggak demam, beneran!"
Yuki menggelengkan kepalanya. Rangga mengernyitkan dahi.
"Beneran kamu nggak sakit?? Trus, kenapa kok wajahmu merah gitu??"
Pertanyaan itu sontak membuat Yuki kalang kabut.
"Emm ... mungkin karena cuaca panas," jawab Yuki sekenanya. Untunglah Rangga tak melanjutkan pertanyaannya.
Mobil berbelok ke pom bensin, lalu menuju ke depan toilet.
"Mau apa, Mas Rangga?" tanya Yuki.
"Mau ke toilet bentar, ya?" jawab Rangga kemudian berlari ke arah toilet seperti tak tertahankan.
"Aduh, maaf Mas Rangga. Gara-gara aku ni, Mas Rangga tersiksa begitu," gumamnya.
Yuki turun dari mobil lalu menunggu lelaki itu di depan toilet. Dia merasa cemas sekaligus bersalah.
Rangga keluar dari toilet dengan wajah agak lega. Dia mengelap tangannya dengan tissue yang diambilnya dari tempat tissue yang menempel di tembok depan toilet.
"Kenapa turun?" tanya Rangga setelah mengetahui bahwa Yuki telah berada di depan toilet.
"Eh, aku kuatir kalo Mas Rangga kenapa-kenapa."
Rangga tersenyum, lalu mengajaknya ke mobil lagi.
"Aku nggak apa-apa. Yuk, kita lanjut aja ke dokter. Masih jauh kah?" tanya Rangga.
"Nggak kok, Mas. Hanya setelah lampu merah itu."
"Oh, ya udah. Tadi aku nanya tempat dokter sama Bibi. Kupikir jauh, ternyata agak dekat juga."
Mereka melanjutkan perjalanan ke dokter.
Sesampainya di sana, ternyata antrian agak panjang. Sembari menunggu giliran diperiksa, Rangga telah tiga kali keluar-masuk kamar mandi klinik.
"Rasanya habis semua yang di dalam perutku!" keluhnya.
"Maafin aku ya, Mas Rangga!" sesal Yuki.
"Udah, nggak apa-apa!"
"Aditya Rangga!"
Seorang asisten dokter memanggil namanya. Rangga segera beranjak lalu masuk ke ruang dokter.
Namanya Aditya Rangga.
Yuki tersenyum-senyum mengetahui nama lengkap Rangga. Hanya nama lengkap aja udah membuatnya senang. Ah, orang jatuh cinta. Sesimple apapun, akan membuatnya bahagia.
Sebentar kemudian, Rangga keluar dari ruang periksa. Dia mengajak Yuki untuk berpindah ke apotek, mengambil obat.
"Kak Rangga, nggak minta suntik?" tanya Yuki.
"Takut," jawabnya singkat.
Aih, ganteng-ganteng takut suntik.
Usai menerima obat dan membayarnya, mereka menaiki mobil lagi, pulang ke rumah.
Kukira aku mau diajak kencan kemana lagi, ternyata emang cuma suruh nganter dia berobat. Huft!
Yuki sedikit agak kecewa. Namun, dia berpikir lagi tentang sakitnya Rangga.
Oh, iya, maklum lah Mas Rangga sakit. Lumayan lah bisa naik semobil sama cowok ganteng ini.
Lamunan Yuki terpecah ketika sebuah pertanyaan meluncur dari mulut lelaki itu.
"Kiki, apa kamu punya cowok?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Mhyla Nadha
kok jd cwek g malu..gmpn nksir lg hmmz
2022-10-14
0
Nafla Gege
aish
2021-10-21
0
Anggun Puspashari
astaga kenapa namo cowok aki kebalik nya harus nya Rangga Aditya putra tpi lucu juga nya jdi punya julukan aku untuk isengin dia hhh
2021-09-24
0